08 Mei 2025
19:17 WIB
Menunggu Hasil Bertambahnya Institusi Pengurus Pendidikan
Institusi yang mengurus pendidikan bertambah di Kabinet Merah Putih. Dampaknya jelas belum teruji. Akses warga untuk peroleh pendidikan, harus jadi yang utama
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Rikando Somba
Menteri Sosial Saifullah Yusuf (kiri) berbincang dengan Seskab Teddy Indra Wijaya (kanan) saat meninjau ruang kelas Sekolah Rakyat di Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL), Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (8/3/2025). AntaraFoto/Asprilla Dwi Adha.
JAKARTA – Salah satu visi Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam Asta Cita adalah memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, dan pendidikan. Fokus tersebut dikejar dengan berbagai strategi.
Persoalan pendidikan memang membuat Presiden Prabowo Subianto gundah. Terbaru, dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional Jumat, 2 Mei 2025, di Bogor, Jawa Barat, dia menyoroti besarnya anggaran pendidikan yang berbanding terbalik dengan realita infrastruktur pendidikan di Indonesia. Presiden Prabowo menyoroti masih banyak sekolah-sekolah yang rusak dan tidak memiliki fasilitas yang nyaman bagi para siswa.
Presiden mempertanyakan anggaran pendidikan yang ditengarai tidak tepat sasaran lantaran masih banyaknya fasilitas sarana dan prasarana sekolah yang tidak layak mulai dari ruang belajar hingga toilet.
Presiden menegaskan pemerintah akan terus melakukan revitalisasi sekolah dalam waktu secepat mungkin.
“Tidak kita mencari kesalahan siapapun, mari kita jujur kepada diri. Kita sendiri. Mari kita bertanya. Apakah anggaran pendidikan yang begitu besar sudah bertahun-tahun sampai atau tidak kepada alamat yang harusnya ditujukan?” kata Prabowo.
Di sisi anggaran, pemerintah dan DPR sepakat bahwa anggaran pendidikan 2025 mencapai Rp665 triliun dan per Februari sudah dimanfaatkan 10,6% senilai Rp76,4 triliun. Sementara anggaran Kemenag untuk fungsi pendidikan pada 2025 mencapai Rp65,92 triliun, naik Rp800 miliar dibanding tahun sebelumnya.
Ini dilakukan dengan mengeluarkan banyak kebijakan. Langkah awal dilakukan mulai dengan memecah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian. Yakni, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti), dan Kementerian Kebudayaan (Kemenbud).
Kemudian, ada pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak-anak sekolah. Juga, ibu hamil dan menyusui. Nah, yang sedang disiapkan kini adalah membuat program Sekolah Unggulan dan Sekolah Rakyat.
Di luar itu, anggaran untuk Sekolah Unggulan 2025, mencapai dua triliun rupiah. Anggaran tersebut untuk pembangunan saja. Sementara untuk Sekolah Rakyat, diperkirakan membutuhkan anggaran Rp100 miliar per unit.
Pada dua program baru terakhir terkait pendidikan dasar, yakni Sekolah Unggulan dan Sekolah Rakyat, Presiden tak memasrahkan pada Kemendikdasmen, melainkan pada Kemendikti untuk urus Sekolah Unggulan. Lalu, Sekolah Rakyat menjadi tugas baru Kementerian Sosial (Kemensos). Dengan demikian, untuk urusan pendidikan, terutama pendidikan dasar, makin banyak kementerian yang mengurusnya. Ditambah lagi, ada Kementerian Agama (Kemenag) yang sudah lama mengurus pendidikan dasar khusus sekolah agama, terutama yang beragama Islam.
Sedangkan, mengacu pada Pasal 1 angka 30 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tertulis, menteri adalah menteri yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan nasional. Beragam kebijakan ini menyebabkan sektor pendidikan di Tanah Air kini menjadi urusan empat kementerian.
Kebijakan menyebarkan urusan pendidikan pada banyak kementerian seperti saat ini memunculkan kekhawatiran buat sebagian kalangan pendidik Seperti, diutarakan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji. Dia menilai pembagian peran yang beragam ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih.
“Hal ini tentu dapat menyebabkan inefisiensi dalam penggunaan anggaran dan sumber daya,” ujar Ubaid kepada Validnews, Selasa (6/5).
Dia melanjutkan, berbagai kementerian ini bisa saja memiliki visi dan strategi yang kurang terpadu. Dampaknya, tujuan pendidikan nasional yang holistik menjadi sulit dicapai. Belum lagi jika setiap kementerian memiliki standar dan kurikulum yang berbeda, maka jurang kualitas pendidikan antar kelompok masyarakat akan semakin lebar.
Ubaid berkata, masyarakat terutama di tingkat daerah pun terdampak kebijakan ini. Mereka bisa kebingungan saat mengakses program pemerintah, karena ada terlalu banyak pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan.
Menurut dia, pemerintah sebaiknya mengelola sektor pendidikan dengan merumuskan visi yang jelas. Visi ini kemudian dijabarkan dalam program yang terintegrasi antar jenjang pendidikan dan lintas sektor. Dalam hal ini, Kemendikdasmen idealnya menjadi leading sector yang mengoordinasikan seluruh kebijakan dan program pendidikan, termasuk yang melibatkan kementerian lain.
“Peran kementerian lain sebaiknya lebih bersifat komplementer dan mendukung visi utama Kemendikdasmen,” tambah Ubaid.
Sayangnya, upaya Validnews untuk meminta penjelasan akan perubahan ini tak juga direspons Kemendikdasmen hingga tulisan ini tayang.
Cermin Pendidikan
Di sisi lain, meski kini banyak instansi yang mengurus pendidikan di Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bidang pendidikan belum menunjukkan kondisi bagus. Indeks pendidikan dalam pengukuran IPM meliputi beberapa komponen. Yakni, rata-rata lama sekolah (RLS) yang menggambarkan jumlah tahun rata-rata seseorang mengenyam pendidikan formal. Kemudian, harapan lama sekolah (HLS), yakni jumlah tahun pendidikan yang diharapkan bagi anak-anak yang baru memasuki dunia pendidikan.
Lalu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tertungkap, RLS mencapai 8,64 tahun, setara dengan kelas 2 SMP. Sedangkan, HLS sebesar 13,2 tahun, sedikit di bawah rata-rata internasional.
Nah, kualitas pendidikan di Indonesia juga bisa bercermin pada Programme for International Student Assessment (PISA) 2022. PISA merupakan penilaian untuk mengukur kemampuan matematika, sains, dan literasi siswa secara global. PISA telah berjalan sebanyak delapan siklus sejak 2000 dan dilakukan setiap tiga tahun sekali.
Pada PISA 2022, posisi Indonesia berada di peringkat ke 69 dari 80 negara yang terdaftar dalam penilaian PISA 2022 oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Peringkat Indonesia jauh dibanding atau posisi ke-12 terbawah dalam daftar dengan total skor 1.108.
Posisi pertama sendiri ditempati oleh Singapura dengan skor 1.679, disusul oleh China dengan 1.605 poin total. Sementara peringkat tiga diisi oleh dua negara yaitu Taiwan dan Jepang dengan 1.599 poin. Posisi kelima ditempati oleh Korea Selatan, yang sekaligus menegaskan dominasi negara Asia dalam penilaian PISA di 2022.
Menurut Kepala Bidang Penelitian dan Kebijakan Pendidikan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriyansyah mengatakan, akses pendidikan masih menjadi masalah klasik di Indonesia.
Ketika sektor pendidikan dikelola oleh banyak kementerian, maka seharusnya akses pendidikan pun bisa meningkat. Namun, jika sektor pendidikan hanya dijadikan bancakan bersama hal ini akan menimbulkan masalah.
“Jangan menambah pos-pos yang justru akan menambah jabatan, menambah birokrasi, tapi akses pendidikannya juga tidak bertambah,” ujar Feriyansyah kepada Validnews, Selasa (6/5).
Dia menjelaskan, pemerintah seharusnya mengumpulkan data-data pendukung terlebih dahulu, seperti Angka Partisipasi Sekolah (APS) dan pertumbuhan sekolah baru. Data itu digunakan untuk melihat efektivitas penyelenggaraan pendidikan selama ini. Ke depan, data ini juga menjadi patokan untuk mengetahui apakah pengelolaan pendidikan saat ini mampu meningkatkan akses.
Di samping itu, Feriyansyah mengingatkan pengelolaan sektor pendidikan yang terbagi ke banyak kementerian tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan dasar dan menengah, tapi juga di pendidikan tinggi. Hal ini terlihat dari adanya kementerian/lembaga di luar Kemendiktisaintek dan Kemenag yang menyelenggarakan perguruan tinggi.
Perguruan tinggi itu disebut dengan Perguruan Tinggi Kementerian/Lembaga Lain (PTKL). Berdasarkan data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) yang diakses per Kamis (8/6), jumlah PTKL mencapai 241.
Feriyansyah menyebutkan, pengelolaan PTKL tak boleh luput diperhatikan. Salah satu yang utama, anggaran negara untuk PTKL tidak boleh lebih besar dari anggaran untuk perguruan tinggi negeri (PTN) di bawah Kemendiktisaintek dan Kemenag. Pasalnya, selain tidak berimbang, PTN juga sudah mengalami tekanan finansial.
“Prinsip keadilan dalam anggaran pendidikan harus diperhatikan,” tegas Feriyansyah.
Institusi Pengelola
Peneliti Sosiologi Pendidikan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Anggi Afriansyah mengingatkan, pengelolaan sektor pendidikan harus disesuaikan dengan fungsi dan tugas negara. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Tahun 2024-2029, pendidikan dasar dan menengah merupakan kewenangan Kemendikdasmen. Sementara itu, pendidikan tinggi merupakan kewenangan Kemendikti.
Meski begitu, Anggi menyebut kolaborasi dapat dilakukan dengan mengoptimalkan peran masing-masing kementerian. Misalnya, komando Sekolah Rakyat seharusnya berada di tangan Kemendikdasmen, bukan Kementerian Sosial (Kemensos). Namun, Kemensos bisa membantu menyediakan data-data akurat terkait keluarga miskin. Pengelolaan pendidikan pun menjadi sangat diperhatikan karena ada perencanaan memadai, implementasi terukur, dan diakhiri dengan evaluasi yang presisi.
Dia mengatakan, negara dengan sistem pendidikan yang baik memiliki pengelolaan pendidikan yang berbeda-beda. Ada negara yang menyatukan pendidikan dan ketenagakerjaan dalam satu kementerian, sementara negara lain menyatukan pendidikan dan isu kepemudaan dalam satu kementerian. Sistem itu berbeda dengan Indonesia.
Walau demikian, Anggi menekankan hal terpenting dari pendidikan adalah bagaimana pendidikan menemani anak-anak dalam proses pengembangan fisik dan mental. Dalam hal ini, intervensi tidak bisa dilakukan hanya oleh sekolah atau perguruan tinggi, tapi juga melibatkan kerja sama lintas kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah.
“Tiga kementerian mungkin tidak apa-apa, tapi yang jadi persoalan adalah ketidaksinambungan dalam setiap kebijakan pendidikan, dari pendidikan dasar ke pendidikan tinggi hingga ke dunia pekerjaan,” terang Anggi kepada Validnews, Rabu (7/5).
Peneliti di Pusat Riset Kependudukan BRIN ini mengatakan, ketidaksinambungan itulah yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Penyebabnya adalah nomenklatur tugas dan fungsi kementerian pendidikan yang terus berubah, misalnya dari Kemendikbud, menjadi Kemendikbudristek, dan kini menjadi tiga kementerian terpisah.
“Persoalannya adalah bukan berapa kementeriannya, tapi bagaimana setiap kementerian difungsikan untuk memperbaiki kondisi pendidikan Indonesia,” tutup Anggi.