25 Oktober 2025
10:00 WIB
Menteri ATR Terima 6.015 Kasus Pertanahan
Ribuan kasus pertanahan periode selama setahun hingga Oktober 2025 dan diupayakan tanpa melalui pengadilan.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi-Tersangka dan barang bukti berupa sertifikat tanah palsu di Polres Bogor, Jawa Barat, Senin (1/8/2022). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya.
JAKARTA - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mengatakan, periode Oktober 2024-Oktober 2025, menerima 6.015 kasus pertanahan. Sebanyak 3.019 kasus atau 50,02% telah diselesaikan melalui mediasi, verifikasi data, serta koordinasi dengan aparat penegak hukum (APH) dan pemerintah daerah (pemda).
“Sedangkan 3.006 kasus lainnya masih dalam proses penanganan melalui mekanisme non-litigasi dan jalur reforma agrarian,” jelas Nusron, dalam keterangannya, Jumat (24/10).
Dari penyelesaian kasus tersebut, tanah seluas 13.075,94 hektare (ha) berhasil diselamatkan, baik dari penguasaan tidak sah, tumpang tindih hak, maupun potensi penyalahgunaan aset.
Adapun nilai kerugian yang berhasil dicegah mencapai Rp9,67 triliun. Terdiri dari kerugian nyata yang berhasil dihentikan sebesar Rp6,72 triliun; kerugian potensial akibat sengketa sebesar Rp1,67 triliun; dan potensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp1,27 triliun.
Menurut Nusron, angka tersebut menunjukkan fungsi strategis Kementerian ATR/BPN sebagai penjaga aset negara dan hak masyarakat.
“Setiap konflik tanah yang berhasil diselesaikan berarti ada uang negara yang terselamatkan, ada keluarga masyarakat yang haknya dipulihkan, dan ada keadilan yang ditegakan,” papar dia.
Baca juga: Pura-Pura Reforma Agraria
Dia melanjutkan, penyelesaian konflik pertanahan bukan hanya soal kepastian hukum, tapi juga penyelamatan aset negara dan perlindungan hak masyarakat. Nusron menegaskan, tanah harus menjadi sumber kesejahteraan, bukan sumber masalah.
Nusron melanjutkan, penanganan konflik di eranya diarahkan tidak hanya untuk menyelesaikan sengketa, tapi juga membangun sistem pencegahan konflik secara berkelanjutan.
Politisi Partai Golkar ini menggunakan pendekatan pemetaan digital, perbaikan data spasial, peningkatan transparansi pelayanan, serta koordinasi aktif dengan lembaga, seperti Kejaksaan Agung, Polri, dan Komisi II DPR.
“Era baru penanganan konflik pertanahan harus kolaboratif dan berbasis data. Dengan sistem digital dan tata kelola yang terbuka, potensi konflik bisa dicegah sebelum terjadi,” ungkap Nusron.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kebijakan penyelesaian konflik pertanahan bukan sekadar agenda hukum, namun jadi bagian integral dari reforma agraria yang menempatkan rakyat sebagai penerima manfaat utama.
“Visi kami jelas, tanah tidak boleh lagi menjadi sumber sengketa, tapi menjadi sumber keadilan dan kesejahteraan. Itulah makna sebenarnya dari kehadiran negara di bidang agraria,” pungkas Nusron.