c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

28 November 2023

17:49 WIB

Menkes: 50 Tahun Intervensi DBD Gagal Tekan Kasus

Karena beragam metode intervensi gagal selama 50 tahun ini, Kemenkes yakin metode terbaru berupa inovasi nyamuk ber-Wolbachia dapat menurunkan replikasi virus dengue pada nyamuk Aedes Aegypti  

Menkes: 50 Tahun Intervensi DBD Gagal Tekan Kasus
Menkes: 50 Tahun Intervensi DBD Gagal Tekan Kasus
Petugas Dinas Kesehatan melakukan pengasapan (fogging) untuk membasmi nyamuk Aedes aegypti penyebab demam berdarah dengue (DBD) di Banda Aceh, Aceh, Rabu (5/10/2022). Antara Foto/Irwansyah Putra

JAKARTA - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengemukakan intervensi demam berdarah dengue (DBD) dalam 50 tahun terakhir di Indonesia, belum berhasil menekan angka kasus. Paling tidak, hingga ambang batas minimal frekuensi global.
 
"Penanggulangan selama 50 tahun terakhir, pemerintah sudah melakukan segala macam intervensi dan program, menghabiskan mungkin ratusan miliar sampai triliunan rupiah, tetapi kasus DBD tidak turun-turun," kata Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI terkait Wolbachia di Jakarta, Selasa (28/11).
 
Ia mengatakan, program yang dilakukan dalam kurun waktu tersebut meliputi intervensi lingkungan, vektor, dan manusia. Intervensi lingkungan dilakukan dengan cara mengurangi habitat larva seperti pembangunan pipa air, menguras, membersihkan, dan daur ulang wadah air.
 
Bentuk intervensi pada vektor dilakukan dengan cara penyemprotan zat kimia pembunuh larva, dan penggunaan zat kimia pembunuh nyamuk dewasa menggunakan pengasapan. Sedangkan intervensi pada manusia dilakukan dengan cara mengubah perilaku dan tempat tinggal manusia, hingga pemberian vaksinasi dengue.
 
Bentuk intervensi tersebut, kata Budi, belum berdampak optimal menekan angka kasus, hingga menyentuh standar insiden rate dengue atau frekuensi kesakitan sesuai panduan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebanyak 10 per 100 ribu kasus dari total populasi.
 
"Selama 50 tahun terakhir kita melakukan intervensi tetapi kenyataannya kasus tidak turun-turun. DBD kita tinggi banget dari batas WHO," serunya.
 
Budi mengatakan, frekuensi kesakitan DBD di Indonesia saat ini berada pada angka 28,5 per 100.000 populasi. Bahkan, angka tersebut di Yogyakarta bisa mencapai 300 sampai 400 per 100.000.
 
"Kita tidak pernah sentuh angka 10 per 100.000. Segala macam program yang sepuluh Menkes sebelumnya sudah lakukan, tetapi tidak menurunkan kasus," tuturnya.

Nyamuk Ber-Wolbachia
Karena itulah, dalam kesempatan itu, Budi memperkenalkan metode terbaru berupa inovasi nyamuk ber-Wolbachia yang dapat menurunkan replikasi virus dengue pada nyamuk Aedes Aegypti. Sehingga dapat mengurangi kapasitas nyamuk tersebut sebagai vektor dengue.

Untuk diketahui, Wolbachia adalah bakteri alami yang sangat umum hidup pada 50 persen spesies serangga, termasuk lalat buah, ngengat, capung, dan kupu-kupu. Bakteri ini dipastikan aman bagi manusia dan lingkungan.
 
Efektivitas teknologi nyamuk ber-Wolbachia di Indonesia telah diteliti sejak 2011 oleh World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta yang dipimpin Guru Besar FKKMK UGM Prof. dr. Adi Utarini sebagai peneliti utama, termasuk Donnie sebagai peneliti pendamping. WMP Yogyakarta mulanya bernama Eliminate Dengue Project (EDP) Yogyakarta.
 
Dalam inovasi itu, para peneliti WMP Yogyakarta mengambil bakteri Wolbachia yang secara alami hidup pada tubuh serangga, kemudian memasukkan ke dalam tubuh nyamuk. Hasilnya, keberadaan bakteri itu terbukti mampu menekan replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti.
 
Tak hanya menekan replikasi, bakteri itu juga melumpuhkan virus dengue dalam tubuh Aedes aegypti, sehingga nyamuk itu tak mampu menularkan virus tersebut ke tubuh manusia.
 
Setelah melalui serangkaian proses penelitian, pelepasan perdana telur nyamuk Aedes aegypti pembawa Wolbachia dilakukan pertama kali pada 2014 di empat padukuhan kecil di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul.
 
Pada 15 Agustus 2016, FK-KMK UGM bersama Monash University dan Yayasan Tahija kemudian melepaskan nyamuk ber-Wolbachia di Kota Yogyakarta. Tepatnya di Kecamatan Tegalrejo dan Wirobrajan sebagai percontohan penelitian pengendalian DBD.
 
Teknologi nyamuk ber-Wolbachia tersebut terbukti efektif mengurangi 77 % kasus DBD dan 86% rawat inap karena dengue, setelah inovasi teknologi nyamuk pembawa Wolbachia diterapkan di wilayah itu.
 
Kasus DBD terbukti menurun sejak program pelepasan nyamuk pembawa Wolbachia di Kota Yogyakarta dimulai pada 2016. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Yogyakata, jumlah kasus DBD di Kota Yogyakarta pada 2016 masih sangat tinggi, mencapai lebih dari 1.700 kasus. Hingga pertengahan November 2023, kasus DBD merosot tajam tercatat hanya di angka 67 atau terendah sepanjang sejarah di Kota Yogyakarta.

Pakar Entomologi Warsito Tantowijoyo menuturkan, pengendalian DBD cukup sulit dilakukan jika hanya mengandalkan program yang sudah ada. Dibutuhkan inovasi sebagai pelengkap program yang sudah berjalan. Salah satunya, inovasi penyebaran nyamuk ber-wolbachia.

Nyamuk berwolbachia, terangnya, dapat memblok penyebaran virus dengue. Ketika dilepaskan ke alam, nyamuk berwolbachia akan kawin dengan nyamuk normal dan menelurkan nyamuk ber-wolbachia. Populasi nyamuk normal pun berubah menjadi nyamuk ber-wolbachia.

"Ketika nyamuk (berwolbachia) itu menggigit orang sehat, dia hanya gatal, bengkak, tapi orang itu tidak tertular demam berdarah," tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar