c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

07 Agustus 2025

18:45 WIB

Mengikis Pengaruh Roblox Dengan Egrang

Pemerintah belum satu sikap soal Roblox. Formula seperti permainan tradisional tak dipilih untuk mengimbangi kemajuan teknologi.

Penulis: James Fernando

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p id="isPasted">Mengikis Pengaruh Roblox Dengan Egrang</p>
<p id="isPasted">Mengikis Pengaruh Roblox Dengan Egrang</p>

Sejumlah anak bermain layangan di tanah kuburan yang dekat dengan pemuk warga di Jakarta, Rabu (6/8/2025). Permainan ini melatih kreatifitas, kesabaran, strategi, dan gerak tubuh. Validnews/Hasta Adhistra.  

JAKARTA – Roblox, sebuah platform besutan David Baszucki dan Erik Cassel kini jadi bahan perbincangan di tanah air. Sejumlah menteri di negeri ini membahasnya. Padahal, Roblox bukan barang baru. 

Platform yang ditemukan pada 2004 dan dirilis resmi mendunia pada 2006 itu menjadi polemik baru pejabat Indonesia. Kebanyakan mencemooh platform permainan yang digunakan pengguna dalam banyak genre, seperti permainan balap, permainan bermain-peran, simulasi dan kursus rintangan, bahkan bisa digunakan untuk mengetahui kontur gunung. Pasalnya, gim ini disebut-sebut kerap disalahgunakaan untuk mereka yang memang berpikiran negatif dan punya selera aneh secara seksual.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti terang melarang siswa sekolah memainkan platform game online tersebut. Unsur kekerasan, menurutnya sangat terlihat dari permainan itu. 

Namun, sayangnya pemerintah belum menawarkan formula untuk mengalihkan anak-anak dari gim tersebut.

"Banyak kekerasan di gim itu yang berpotensi mendorong anak melakukan tindak kekerasan dalam kehidupan sehari-sehari," kata Mu'ti setelah meninjau program Cek Kesehatan Gratis di SD Cideng 02 Pagi, Jakarta Pusat, Senin (4/8).

Menurut Mu’ti, potensi itu ada karena anak sekolah belum mampu membedakan antara sesuatu yang nyata dan rekayasa. Juga dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan pelajar, yakni membuat anak jadi mager (malas bergerak).

Jika mager, sensor motorik anak-anak menjadi kurang. Tak hanya itu, peredaran darah kurang lancar. Bahkan, jadi anak yang emosional. Termasuk menyebabkan kurangnya aktivitas sosial di dunia nyata yang seharusnya dijalani pelajar. Tak kalah mengkhawatirkan, beberapa gim itu ada yang mulai disusupi oleh judi online dan sebagainya.

Meski melarang, Mu’ti tak menawarkan strategi untuk menguatkan larangan itu. Tak tampak juga pemerintah satu suara akan hal ini. Seperti pernyataan Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafidz, belum ada rencana untuk blokir Roblox usai larangan Menteri Mu’ti.

"Sampai nanti ada kita lihat, kita evaluasi. Kan ada dirjen pengawasan ruang digital yang terus memantau. Belum ada penyampaian dari dirjen tersebut, nanti kita lihat," ungkap Menkomdigi di Istana Merdeka, Rabu (6/8).

Pembentuk Karakter
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifatul Choiri Fauzi turut berkomentar. Dia mengingatkan juga akan dampak lain dari game online, yakni merosotnya minat anak-anak pada permainan tradisional.

Menteri Arifatul lantas mengusulkan agar pemerintah mengembalikan kejayaan permainan tradisional untuk memperkuat karakter anak dan mengurangi ketergantungan anak pada gawai. 

“Yakni, dengan menjadikan permainan tradisional sebagai bagian dari kegiatan rutin di sekolah-sekolah,” kata Arifatul, kepada Validnews, Rabu (6/8).   

Permainan tradisional, menurut Arifatul, bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga warisan budaya yang memiliki peran besar dalam membentuk karakter anak-anak gen Z dan Alpha di Indonesia. Banyak nilai-nilai positif yang tertanam dalam permainan tradisional, mulai dari kejujuran, sportivitas, kedisiplinan, hingga toleransi. Bahkan, hampir di tiap permainannya, gim tradisional ini tidak pernah bermain individu.

Minimal butuh dua atau tiga orang anak untuk memainkan permainan ini. Secara tidak langsung permainan ini akan melatih anak-anak untuk belajar untuk antre, jujur, sportif dan saling menghargai antara satu dan lainnya.

Misalnya, saat memainkan permainan seperti gobak sodor, engklek, congklak, atau egrang, anak-anak harus kompak, bekerja sama dalam menyusun strategi untuk memenangkan permainan. Nah, hal ini tanpa disadari bisa memperkuat nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong pada anak.

Tak hanya itu saja, saat bermain anak-anak akan dilepaskan dari pertimbangan latar belakang sesama rekannya. Semua anak bisa bergabung dan tak ada diskriminasi dalam menjalankan permainan tradisional ini.

Secara alami, lanjut Menteri PPPA, permainan tradisional itu mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila, khususnya dalam membangun semangat persatuan di tengah keberagaman. Anak-anak pun belajar tentang toleransi dalam setiap bermain. Karena itu, Menteri PPA pun mendorong Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menyediakan ruang dan fasilitas permainan tradisional di setiap sekolah.

Wakil Menteri PPPA, Veronica Tan malah mendorong permainan tradisional dijadikan bagian dari kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.

Permainan Tradisional
Untuk usulan itu, lanjut Veronika, Kementerian PPPA berupaya menggerakkan anak-anak untuk memainkan permainan tradisional. Harapannya, anak-anak tidak terlena dengan permainan daring yang ada pada gawai mereka masing-masing.

“Akan lebih baik lagi jika di sekolah, permainan tradisional dijadikan bagian dari kegiatan ekstrakurikuler,” kata Veronica.  

Gagasan KPPPA didukung Komunitas Bermain. Komunitas ini aktif menghidupkan kembali permainan tradisional di Indonesia. 

Wakil Ketua Komunitas Bermain, Iqbal Rudiyarto menyayangkan, permainan tradisional ini merupakan warisan budaya bangsa Indonesia. Namun, saat ini mulai terlupakan karena perkembangan dan kecanggihan teknologi saat ini, terutama pada anak-anak di sekolah.

Komunitas ini lalu bekerja sama dengan beberapa PAUD dan SD. Lalu, mengenalkan beberapa jenis permainan tradisional kepada anak-anak. Seperti, permainan bentengan, gobak sodor, atau ular naga. Permainan ini dipilih karena tak akan didapati oleh anak-anak di telepon pintarnya. Serta, memerlukan kerja sama tim dan strategi.

Saat bermain, anak-anak pun antusias. Mereka lepaskan handphone lalu larut dengan permainan. Memainkannya dengan penuh riang dan tawa. Awas melihat lawan tanpa ingin menyakiti. Membangun komunikasi, bergerak dan bekerja sama menikmati permainan, bukan untuk sekadar menang. Pendek kata, semua nilai-nilai kehidupan tertuang dalam satu jenis permainan tradisional itu 

Karena itu, menurut Iqbal usulan soal pengaplikasian permainan tradisional di sekolah ini penting untuk menjadi perhatian pemerintah. Selain melestarikan permainan ini, pemerintah juga membantu anak untuk menghilangkan kecanduannya pada gadget.  

“Permainan tradisional ini kan bagian dari warisan budaya kita yang mulai terlupakan. Akan sangat baik kalau diajarkan di sekolah, minimal sebagai ekstrakurikuler, syukur-syukur bisa jadi pelajaran wajib, khususnya di tingkat SD,” kata Iqbal, saat berbincang dengan Validnews, di Kawasan Gelora Bung Karno, Rabu (6/8).

Iqbal mencontohkan, saat komunitas bermain melakukan kegiatan permainan tradisional ini, para anggotanya yang terdiri dari para remaja dan dewasa, mengabaikan telepon genggamnya dan membuat gim ini sebagai detoks dari kecanduan telepon pintar.

“Anak-anak sekarang lebih akrab dengan layar HP daripada teman main di lapangan. Padahal, permainan tradisional bisa bantu mereka membentuk karakter dan empati. Permainan ini penting untuk diadakan di sekolah-sekolah karena banyak manfaatnya,” imbuh Iqbal.  

Multi Manfaat
Mengutip Asep Ardiyanto dalam Jurnal Universitas PGRI Semarang, "Permainan Tradisional Sebagai Wujud Menanam Nilai Karakter Anak Usia Dini", permainan tradisional memiliki banyak manfaat.

Permainan ini melatih kreativitas anak usia dini karena anak-anak menggunakan peralatan tidak dalam bentuk jadi atau yang bisa dibeli di toko. 

Dengan permainan tradisional,  anak-anak menciptakan dan memodifikasi sendiri peralatan permainan yang digunakan untuk bermain. Seperti, membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali, membuat peralatan egrang dari bambu atau batok kelapa. Membuat senjata api mainan dari bambu atau batang daun pisang dan sebagainya. Cara ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan kreativitas dan menstimulasi imajinasi anak-anak.

Permainan tradisional juga mengembangkan kecerdasan sosial dan emosional anak usia dini. Umumnya, permainan tradisional dimainkan secara kolektif sehingga menjadi media pembelajaran bagi anak untuk bersosialisasi, berinteraksi bekerja sama, saling mendukung, saling percaya, saling menolong dan membangun kepercayaan diri.

Masih dalam jurnal milik Universitas PGRI Semarang ini juga menjelaskan manfaat lain permainan tradisional ini yakni pembelajaran nilai karakter. Permainan ini menuntut adanya cinta Tuhan dan alam semesta bersama isinya. Lalu, mengembangkan kemampuan keterampilan motorik dan kemampuan biomotorik anak usia dini. Permainan tradisional  sarat  dengan gerakan, seperti melompat, meloncat, berlari, berjalan, melompat, melempar dengan alat, gerakan tubuh atau gerakan tangan. 

Di saat sama, permainan juga  bermanfaat untuk kesehatan, mengoptimalkan kemampuan kognitif anak. Juga memberikan kegembiraan dan keceriaan. Salah satu karakteristik yang melekat pada permainan tradisional adalah bersifat rekreatif.  Permainan tradisional mampu memberikan kegembiraan dan keceriaan pada anak-anak saat bermain.

Pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina, Totok Amin Soefijanto menilai, soal penerapan permainan tradisional di sekolah-sekolah merupakan hal yang sangat baik. Keberhasilan kebijakan ini akan sangat tergantung pada pendekatan yang digunakan.

Pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan ini dari sisi permintaan. Apakah anak-anak akan menerima kemunculan kembali permainan tradisional ini?

Totok mengakui, permainan tradisional memang mengandung banyak nilai positif mulai dari kerja sama, strategi, hingga interaksi sosial. Namun, pemaksaan penerapannya tanpa mendengarkan suara anak-anak bisa menjadi bumerang.

“Anak-anak sekarang punya preferensi sendiri. Mereka tumbuh di era digital, jadi permainan yang kita anggap menyenangkan bisa jadi tidak menarik buat mereka,” kata Totok, kepada Validnews, Rabu (6/8).  

Totok mendorong pendekatan bottom-up atau dari bawah ke atas dalam pengembangan program permainan tradisional di sekolah. Oleh karena itu, pentingnya ada dialog antara sekolah, orang tua, dan siswa untuk merancang kegiatan yang sesuai dengan minat dan kondisi lokal. Misalnya, permainan tradisional di Jawa tentu berbeda dengan di Sumatra atau Kalimantan. Karena itu, penerapan ini tidak bisa disamaratakan. Jadi, yang tahu mengenai kebutuhan permainan ini Adalah anak-anak dan masyarakat sekitar, bukan hanya pemerintah saja.

Itu sebabnya, dia menyarankan agar sekolah memulai kegiatan ini dengan menyerap aspirasi siswa mengenai jenis permainan yang mereka sukai. Kemudian, mengembangkan kegiatan dari sana.

“Ajukan pilihan ke anak-anak. Jangan tiba-tiba tentukan. Misalnya hari ini kita main bentengan, tanpa tanya dulu mereka mau apa. Mereka bisa jadi punya ide menggabungkan permainan tradisional dengan yang mereka kenal,” tambah Totok.

Bila diterima di kalangan anak-anak, permainan tradisional ini memang bisa menjadi pengalihan perhatian anak pada permainan daring. Anak-anak bisa saja lepas dari kecanduan gadget. Akan tetapi, prosesnya tidak mudah. Terlebih, permainan daring menampilkan visual yang menarik. Mulai dari tampilan warna, visual dan memainkannya tanpa membutuhkan peralatan lainnya.

Kegiatan Reguler
Mengutip buku Let the Children Play karya Pasi Sahlberg dari Finlandia, Totok menjelaskan, anak-anak secara alami membutuhkan ruang untuk bermain fisik dibandingkan berdiam diri memainkan permainan online. Karena itu, permainan tradisional harus bisa dikemas menarik agar bisa menyaingi game online tersebut.

Dia menyarankan agar permainan ini tidak hanya dikaitkan dengan pelajaran jasmani atau ekstrakurikuler, tetapi juga diberikan porsi reguler dalam kegiatan belajar. Dia mengajak sekolah dan pemerintah agar tak sekadar melihat permainan tradisional sebagai warisan budaya yang harus dilestarikan, tetapi juga sebagai bagian integral dari pembentukan karakter dan kemampuan kognitif anak.

“Tapi keberhasilannya tidak terletak pada jenis permainannya semata, melainkan bagaimana kita mendekatkannya pada anak dengan cara yang mereka sukai dan mengerti,” tandas dia. 

Permainan tradisional menurut buku bertajuk Belajar Gerak Dasar Melalui Permainan Tradisional, memiliki sifat untuk mengisi waktu luang sebagai bentuk rekreasi.

Jika diamati dari kreativitas yang dilakukan anak dalam permainan tradisional mengandung unsur-unsur keterampilan, gerak, kecepatan, kekuatan tubuh, dan kecerdasan pikiran. 

Permainan tradisional cocok digunakan sebagai media pembelajaran olahraga karena dapat membentuk keterampilan, kecepatan, kekuatan, kelincahan, dan lain sebagainya, bila dilakukan dengan baik dan benar. 

Selain itu, permainan tradisional ialah aktivitas budaya dalam bentuk permainan dengan unsur-unsur gerak, seni, sosial dan budaya. 

Begitu banyaknya jenis permainan tradisional yang ada di Indonesia yang bisa dijadikan media ajar di sekolah dasar untuk membiasakan anak agar selalu bergerak.

Dari banyaknya sisi positif permainan tradisional, memang amat disayangkan jika ini tak dikembangkan. Permainan tradisional bukan lah semata permainan. Ada unsur budaya juga, biasanya ikut di dalamnya. Semestinya, revitalisasi kebudayaan dengan memperhatikan unsur permainan anak tradisional yang menanamkan karakter bangsa, juga perlu dilakukan. Apa yang dikatakan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, “Pendidikan tanpa karakter adalah salah satu dosa yang fatal,” harus lah kita terapkan.  

 



KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar