01 Februari 2025
17:00 WIB
Mengejar Pendidikan Unggul Ala Prabowo
Program prioritas sektor pendidikan dengan sekolah unggulan, dinilai tak menjawab kesenjangan pendidikan yang ada hinga saat ini.
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Leo Wisnu Susapto, Rikando Somba,
Siswa belajar di ruangan kelas yang rusak di MIS Al-Khaeriyah, Cisoka, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (23/7/2024). Antara Foto/Sulthony Hasanuddin.
JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto mulai mewujudkan janji-janji politiknya semasa kampanye usai dilantik pada Minggu, 20 Oktober 2024. Program prioritas dirancang untuk bisa diwujudkan di tahun pertama pemerintahannya, seperti di sektor pendidikan, yakni mendirikan Sekolah Unggulan Garuda dan Sekolah Rakyat.
Presiden menebar asa. Program prioritas tersebut untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Keduanya, masuk dalam pendidikan dasar yang seharusnya menjadi tanggung jawab Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Prabowo menetapkan tanggung jawab Sekolah Unggulan Garuda ke Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain dan Teknologi (Kemendiktisaintek). Sementara itu, Sekolah Rakyat, diampu oleh Kementerian Sosial (Kemensos).
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendiktisaintek, Khairul Munadi menguraikan pembelajaran di Sekolah Unggulan Garuda tak akan sama dengan sekolah tingkat SMA pada umumnya.
“Awalnya berada di Kemendikdasmen. Namun, karena pembelajarannya nanti fokus pada materi Science, Technology, Engineering, dan Mathematics (STEM) maka akan berada di bawah Kemendiktisaintek,” kata Khairul kepada Validnews, Jumat (24/1).
Dia melanjutkan, proses belajar dirancang mirip dengan pre-university atau program persiapan masuk perguruan tinggi. Mata pelajaran memadukan kurikulum nasional dan internasional. Agar, siswa di sekolah itu bisa masuk ke perguruan tinggi terbaik di dunia.
Oleh karena itu, guru yang mengajar juga diberi bekal pengetahuan tambahan dan pelatihan. Dengan demikian, mereka punya kompetensi seperti guru di sekolah internasional.
Lalu, jumlah siswa pun dibatasi. Satu kelas hanya akan berisi sekitar 20 siswa. Tujuannya, agar guru fokus pada setiap siswa dan proses belajar menjadi lebih efektif.
Pemerintah akan membuka seleksi untuk siswa di sekolah ini. Proses seleksi dibuat sangat ketat, namun terbuka. Serta jaminan, tidak akan ada kecurangan dalam proses seleksinya.
“Siswa mendapat beasiswa saat belajar dan beasiswa LPDP untuk studi mereka di kampus terbaik,” sebut Khairul.
Menurut rencana, urai Khairul, pemerintah akan membangun 40 sekolah, tersebar di seluruh provinsi di Indonesia hingga 2029 mendatang. Sebanyak 20 sekolah yang sudah ada lalu di upgrade, dan 20 sekolah unggulan yang dibangun sejak awal.
Pembangunan akan di mulai sejak awal tahun 2025. mulai dari menyiapkan sekolah unggulan yang sudah ada, yakni SMA Taruna Nusantara, SMA Pradita Dirgantara, dan SMAN Bali Mandara. Sementara itu, sekolah yang dibangun dari awal akan ada di Ibu Kota Nusantara (IKN), Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
“Pembangunan sekolah ini sudah kami konsepkan, ada beberapa daerah misalnya yang belum punya sekolah unggulan akan kami bangun dari awal, dengan demikian di tiap provinsi itu tiap anak punya kesempatan untuk masuk ke sekolah unggulan ini,” kata Khairul.
Selain akan fokus pada pada aspek akademik, sekolah unggulan ini juga mengutamakan pengembangan karakter dan nilai-nilai kebangsaan. Dengan demikian, siswa tidak hanya cerdas, tetapi juga berintegritas dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap bangsa.
Khairul menanggapi banyak tanggapan minus akan sekolah unggulan ini. Dia memastikan, hadirnya sekolah ini tidak akan menyebabkan dikotomi sekolah favorit maupun non-favorit.
Kehadiran sekolah unggulan ini merupakan bentuk upaya pemerintah dalam memberikan keadilan akses terhadap sains dan teknologi, yang memang membutuhkan akses khusus. Di mana, akses terhadap kedua hal ini tidak bisa diberikan kepada sekolah tingkat SMA biasa karena adanya keterbatasan siswa, guru, serta sarana dan prasarana yang tersedia.
“Kami akan pastikan hal ini tidak akan melahirkan kesenjangan dalam pendidikan, karena nantinya meski ada sekolah unggulan, kualitas pendidikan di sekolah umum juga akan terus ditingkatkan karena itu memang sudah jadi program pemerintah,” kata Khairul.

Sekolah Rakyat
Sementara itu, jenis sekolah lain yang juga akan dibangun oleh pemerintah adalah Sekolah Rakyat, yang berada di bawah Kemensos. Sekolah ini, akan dikhususkan untuk anak-anak kalangan ekonomi menengah ke bawah atau miskin ekstrem.
Dengan kata lain, sekolah ini dibangun tidak hanya untuk memberikan akses pendidikan kepada masyarakat miskin saja. Namun, juga untuk menjamin gizi anak-anak bisa terpenuhi sehingga mereka dapat tumbuh dengan sehat dan baik.
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Kemensos, Agus Zainal Arifin mengatakan saat ini sedang menyelesaikan konsep sekolah rakyat yang dinginkan oleh Presiden Prabowo. Kemensos telah membuat kajian terkait konsep yang tepat untuk sekolah rakyat bersama dengan Kemendikdasmen dan pakar pendidikan lainnya.
Proyek percontohan sekolah rakyat akan hadir di wilayah kantong kemiskinan di Jawa Barat, Jakarta, dan Banten. Bisa jadi, dengan memanfaatkan balai-balai sosial Kemensos untuk meghemat anggaran.
“Sedang kami matangkan konsepnya, sebab presiden ingin agar sekolah rakyat ini tidak hanya sebagai sekolah saja, tapi dia ingin anan-anak yang lulus dari sekolah ini bisa menjadi agen perubahan dan memutus mata rantai kemiskinan di keluarga mereka,” kata Agus kepada Validnews, Jumat (31/1).
Sejauh ini, salah satu rancangan yang sudah disetujui adalah, konsep boarding school atau sekolah asrama. Karena, pemerintah melihat banyak anak dari keluarga miskin yang tidak mendapatkan dukungan dari orang tua mereka untuk bersekolah. Bahkan, mereka harus putus sekolah karena masalah ekonomi.
Oleh karena itu, melalui boarding school ini, pemerintah ingin memberikan lingkungan yang mendukung bagi anak-anak dari keluarga miskin. Tidak hanya dari segi dukungan pendidikan, tetapi juga dari segi pemenuhan gizi untuk mendukung tumbuh kembang mereka. Kemudian, ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah.
“Karena memang jarang digunakan, jadi dialihfungsikan sebagai sekolah rakyat, karena pembiayaan untuk sekolah rakyat ini cukup besar,” kata Agus.
Kemensos juga merancang agar, siswa di sekolah itu tak hanya belajar pelajaran umum yang ada di sekolah saja. Ada pengetahuan tambahan yang bisa dimanfaatkan anak-anak ini untuk memperbaiki kondisi ekonomi mereka. Misalnya, pelajaran tambahan tentang wirausaha atau mengembangkan keterampilan yang sudah siswa miliki.
“Kemarin Mensos mengusulkan pendidikan tambahan sesuai kebutuhan di daerah masing-masing, misal pertanian modern dan berkelanjutan,” kata Agus.
Tantangan lain, adalah menjaga siswa tetap bisa menyelesaikan sekolah hingga tingkat SMA atau sederajat. Bahkan, bisa terjamin pendidikannya hingga jenjang perguruan tinggi. Terbersit, Kemensos mengajak Baznas dan pihak swasta untuk tujuan itu.
Diyakini, lulusan sekolah ini punya kompetensi dengan siswa sekolah. Dengan demikian, tak perlu khawatir akan label sekolah bagi warga miskin. Bahkan, mereka bisa jadi lebih unggul karena dibekali dengan kompetensi tambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan tenaga kerja di daerah mereka.
Kesenjangan
Rencana pembangunan dua jenis sekolah ini, dikhawatirkan memperluas kesenjangan pendidikan di Indonesia, baik antara yang pintar dan kurang pintar, serta yang miskin dan kaya.
Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menilai, pembangunan sekolah unggulan dan sekolah rakyat harus dipertimbangkan dengan matang. Sebab, FSGI khawatir tujuan utama untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan tidak bisa tercapai.
Dia juga heran akan gagasan ini. Pasalnya, masalah ketimpangan pendidikan di Indonesia tak jadi fokus utama pemerintah. Seperti kesenjangan kualitas pendidikan di kota besar dan di daerah terpencil. Keduanya bukanlah jawaban atas ketimpangan pendidikan.
Mengacu data International Education Database, pada tahun 2024, peringkat pendidikan Indonesia berada di urutan 67 dari 203 negara di dunia. Dengan masa harapan sekolah anak-anak Indonesia rata-rata 12,9 tahun.
Dari masa harapan sekolah itu, rata-rata siswa SD yang selesai masa belajarnya mencapai 100%. Namun, turun bagi siswa SMP, yakni 91,19%, dan kembali susut menjadi 83% bagi siswa SMA. Sementara itu, mahasiswa Indonesia yang menyelesaikan kuliahnya hanya 26%.
Menurut Retno, masih adanya kesenjangan akses pendidikan sejak di bangku SMP, hingga perguruan tinggi oleh anak-anak Indonesia.
Oleh sebab itu, menurut FSGI, penting bagi pemerintah untuk bisa menyediakan akses pendidikan hingga minimal di bangku SMA. Dengan demikian, tujuan pemerintah untuk melahirkan SDM unggul bisa tercapai.
“Dibanding membangun sekolah-sekolah baru dengan konsep tertentu, sebaiknya pemerintah fokus melakukan perbaikan mutu pendidikan, kualitas guru, model pembelajaran dan kurikulum, secara langsung ini akan memperbaiki kualitas pendidikan dan memeratakan pendidikan di Indonesia,” kata Retno.
FSGI juga mengkhawatirkan, konsep yang diusung Prabowo akan membuat sekolah menjadi lebih eksklusif. Akan berdampak pada sikap dan pendidikan anak-anak di Indonesia. Anak-anak yang kurang pintar dan berasal dari keluarga miskin akan terpinggirkan di dalam dunia pendidikan.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan tujuan UUD 1945 yang memberikan akses pendidikan secara merata tanpa diskriminasi. Sebagai contoh, diskriminasi yang pernah terjadi akibat penerapan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) beberapa tahun yang lalu.
Kehadiran RSBI di sejumlah sekolah ini dianggap diskriminatif dalam dunia pendidikan karena hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu saja. Selain itu, RSBI juga dianggap menimbulkan dualisme dan kasta dalam pendidikan.
“Karena banyaknya gugatan yang diajukan oleh orang tua dan pakar pendidikan, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan MK Nomor 5/PUU-X/2012 untuk menghapuskan RSBI, nah ini kami khawatir akan berujung seperti itu dan yang rugi anak-anak kita,” kata Retno.
Pemerataan Pendidikan
FSGI menyerukan, jika pemerintah memang ingin meningkatkan kualitas pendidikan dan melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia. Pemerintah sebaiknya fokus memperbaiki apa yang sudah ada.
Misalnya, memperbaiki sarana dan prasarana di sekolah, memperbaiki sistem pendidikan dengan kurikulum yang lebih tepat. Meningkatkan kualitas guru, serta memberikan lebih banyak bantuan pendidikan bagi masyarakat kurang mampu.
Dia juga menyarankan, jika memang untuk menyiapkan generasi unggul di bidang sains dan teknologi, pemerintah bisa membuat kurikulum di Indonesia fokus pada hal tersebut. Karena sebenarnya hal tersebut lebih mungkin dilakukan dibanding membuat sebuah sekolah dengan konsep baru.
Selain itu, dengan mengubah kurikulum dan meningkatkan kompetensi guru di sekolah, peningkatan kualitas pendidikan juga akan lebih merata. Tidak hanya berfokus pada satu sekolah tertentu saja. Pembangunan sekolah unggulan dan sekolah rakyat ini harus dipertimbangkan dengan bijaksana. Sebab, dia khawatir pembangunan ini hanya akan menyedot anggaran pemerintah.
Yang harus diingat juga, konsep pendidikan dan pembelajaran perlu didorong, ditentukan dengan tetap mempertimbangkan kondisi kesehatan dan mental anak. Jangan sampai, anak-anak merasa tertekan karena adanya tekanan dari orang tua agar mereka bisa menjadi lebih pintar dan harus masuk sekolah unggulan.
“Contohnya waktu ada RSBI, orang tua berlomba-lomba agar anaknya bisa masuk padahal anaknya tidak mampu, kasian kan dia jadi tertekan, ini harus jadi pertimbangan juga, mengingat ada banyak akses bunuh diri pada siswa,” kata Retno.