07 Oktober 2023
17:14 WIB
Penulis: Gisesya Ranggawari, Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Minggu malam, 1 Oktober 2023, Istana Negara Jakarta berubah semarak batik. Pejabat negara, pejabat negara sahabat, serta sejumlah kalangan, memamerkan corak batik yang mereka kenakan dengan berbagai mode.
Hari itu, Istana Negara Jakarta menghelat peringatan Hari Batik Nasional, bertajuk 'Istana Berbatik'. Perayaan ini maju sehari jika mengacu pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2009 tentang Hari Batik Nasional. Keppres yang diteken Presiden RI keenam, Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan, Hari Batik Nasional diperingati tiap 2 Oktober.
Berganti hari, di pelbagai tempat menjadi panggung masyarakat merayakan Hari Batik Nasional 2023. Tema yang diangkat adalah ’Batik Bangkit’.
Tema ini menjadi ajakan pemerintah agar batik kembali bangkit dari gempuran modernisasi serta dampak dari pandemi covid-19.
Ya, adalah wajar jika pemerintah dan banyak pihak lainnya terlibat dalam kampanye besar ini. Berdasarkan data dari Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), pada 2020 diperkirakan jumlah perajin batik mencapai 151.565 orang. Namun saat ini, hanya tinggal 37.914 pengrajin saja yang masih berproduksi.
Kementerian Perindustrian mendata, sepanjang 2022, nilai ekspor batik dan produk batik mencapai US$64,56 juta. Jumlahnya meningkat 30,1% dibanding 2021.
Sementara itu, pada periode Januari-April 2023, nilai ekspor batik dan produk batik sebesar US$26,7 juta. Dan, nominal peraihannya ditargetkan dapat menyentuh hingga US$100 juta selama tahun 2023.
Meski diharapkan bangkit, ada dampak dari produksi batik yang masih belum tuntas, yakni masalah limbah. Ini terjadi terutama pada sungai-sungai di sekitar tempat produksi batik berada.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 46% sungai di Indonesia termasuk dalam keadaan tercemar berat. Adapun 32% sungai lainnya termasuk dalam keadaan tercemar sedang berat, 14% termasuk dalam tercemar sedang, dan delapan persen termasuk tercemar ringan.
Di Indonesia, total batang sungai tidak kurang dari 70.000 buah. Di Jawa Barat misalnya, merujuk data di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mencapai tidak kurang dari 2.000 batang sungai. Mulai dari induk sungai yang besar hingga anak-anak sungai yang kecil.
Namun, lebih dari separuh dari jumlah sungai tersebut dalam keadaan kritis. Kondisinya kering di musim kemarau dan banjir di musim hujan, serta tercemar oleh limbah.
Mengutip Supardiyono Sobirin, Anggota Tim Ahli PPK DAS Citarum dan Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda saat memeringati Hari Sungai Nasional 2022 pada Rabu (27/7/2022), karakter aliran sungai bersifat rentan, bervariasi dan berbeda untuk tiap wilayah.
Aliran sungai dipengaruhi oleh kondisi geohidrobiologi setempat, antara lain yaitu distribusi curah hujan, geologi, dan sosial budaya masyarakat.
Sehubungan karakternya yang rentan, intervensi manusia terhadap lingkungan sungai berdampak hilangnya daya dukung, daya tampung, dan keseimbangan alam sungai. Di antaranya penyempitan, pendangkalan, dan pencemaran.
Kasus-kasus pencemaran sungai akibat aktivitas batik terjadi di beberapa daerah. Salah satunya yang mengemuka belakangan ini adalah di Pamekasan, Jawa Timur.
Perajin batik tulis di Desa Klampar, Kecamatan Proppo, Pamekasan, membuang zat pewarna ke sungai. Pada Juli 2023, warga melihat sungai tempat mereka mandi, mencuci, berubah merah.
Kemudian, polisi setempat mendalami temuan warga. Penegak hukum pun memeriksa sejumlah perajin batik tulis.
Salah satu dasar hukum yang dipakai adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas PermenLHK Nomor 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah. Aturan ini mewajibkan industri tekstil memenuhi baku mutu air limbah yang ditentukan.
Guna mencegah proses hukum, akhirnya Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pamekasan membina perajin untuk mengolah limbah mereka.
Selanjutnya, ada juga pencemaran di Surakarta, Jawa Tengah, yang terkenal dengan Kampung Batik Laweyan dan Kampung Batik Kauman.
Berdasarkan studi yang dilakukan Elvis Umbu Lolo dan Yonathan Suryo Pambudi dari Universitas Kristen Surakarta (2020), Kampung Batik Laweyan memiliki banyak industri skala rumahan yang tak punya sistem pengolahan limbah cair yang baik.
Limbah pun dibuang begitu saja ke sungai Jenes. Terang, ini menyumbang pencemaran di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo. Padahal, sudah ada Perda Kota Surakarta Nomor 10 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Sebagian (limbah) juga dibuang ke sistem pengolahan yang dibangun pada tahun 2008. Tapi, sistem pengolahan IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) ini belum maksimal," tulis studi tersebut.
Kepala Bidang Penataan, Pengendalian, dan Pengelolaan Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Surakarta, Budiyono, mengakui hal itu. Dia menjelaskan, ada dua IPAL komunal di kecamatan Laweyan. Namun, keduanya belum mampu menampung keperluan pengolahan limbah seluruh industri batik skala kecil di kecamatan itu.
Dari 41 industri batik di sana, hanya 22 yang pengolahan limbahnya tercakup oleh IPAL. Jika ditotal, seluruh industri batik di Laweyan menghasilkan volume limbah sekitar 308 m3/hari.
Budi menyebut, kapasitas IPAL itu sebenarnya bisa mencakup lebih banyak industri. Namun, pihaknya terkendala masalah teknis. Beberapa industri berada di lahan yang lebih rendah dari posisi IPAL sehingga limbah cairnya tidak bisa dialirkan.
"Itu juga kami usulkan (ke pemerintah pusat.red) untuk upgrade yang di Laweyan. Maksud saya supaya bisa meng-cover yang lebih rendah tadi. Pakai tampungan mungkin kita pompakan," terang Budi kepada Validnews, Kamis (5/10).
Di kecamatan sentra batik lainnya, Pasir Kliwon, fasilitas IPAL komunal justru belum ada, alias belum dibangun. Otomatis, pembuangan limbah ke sungai lebih marak terjadi. Total terdapat 34 industri batik skala kecil di sana. Mereka menghasilkan limbah hingga sekitar 627 m3/hari.
Di Pasir Kliwon, pembangunan IPAL terkendala masalah lahan. Budi mengatakan, anggaran untuk pengadaan lahan sudah diajukan. Baik ke pemerintah pusat maupun melalui skema pendanaan lain seperti hibah. Namun, karena ada prioritas lain, anggaran itu mungkin baru dapat terlaksana pada 2030.

Penegakan Hukum
Industri batik yang mencemari sungai di Surakarta kebanyakan berskala kecil. Ini sejalan dengan data Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) pada 2021. Disebut, sebanyak 152 industri batik di Surakarta berskala kecil dan mikro. Sisanya, sembilan industri batik skala menengah dan enam industri batik skala besar.
Budi paham, industri kecil sulit didorong untuk menerapkan konsep ramah lingkungan. Pembuatan IPAL mandiri mahal sehingga harus difasilitasi pemerintah. Penggunaan bahan baku ramah lingkungan pun akan menaikkan modal usaha.
Ini juga yang membuat penegakan hukum sulit dilakukan. Dilema. Sebab jika industri dihentikan operasionalnya, banyak karyawan terancam kehilangan pekerjaan. Itu membuat para pemilik usaha keberatan.
"Saya itu sebetulnya hanya menghidupi karyawan, pak. Kalau bapak istilahnya bisa mencarikan pekerjaan bagi karyawan kami, paling tidak gajinya sama, syukur-syukur lebih, kami lebih baik tutup," ujar Budi menirukan pelaku usaha batik yang pernah ia temui.
Alhasil, saat ini Budi hanya bisa mengedukasi industri kecil untuk menampung limbah mereka. Supaya, konsentrasi zat kimia di dalamnya dapat mengendap. Penggunaan bahan-bahan ramah lingkungan pun dipromosikan sebagai upaya mitigasi.
Lain halnya jika berhadapan dengan industri besar, Budi mengakui bahwa penegakan hukum justru lebih mudah dilakukan. Ini karena mereka sudah memiliki persetujuan lingkungan. Pemda pun hanya perlu memperkuat pengawasan.
Jika pengelolaan limbah terbukti tak sesuai aturan, izin lingkungan mereka dapat dicabut. Dampaknya, izin usaha pun dibatalkan. Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Dampak Lingkungan
Pembuangan limbah batik secara sembarangan turut diamati oleh peneliti dari Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih (PRLTB), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aris Mukimin. Dia mengatakan, pembuangan limbah batik tanpa pengolahan punya dampak berbahaya bagi lingkungan.
Limbah padat seperti lilin cenderung akan menutup permukaan air dan tanah. Sementara itu, limbah cair mengandung polutan berbahaya dari zat pewarna yang digunakan. Polutan ini butuh waktu lama untuk terdegradasi secara alami.
"Sehingga, potensial masuk ke dalam ekosistem. Terutama di biota perairan. Besar pula kemungkinan masuk dalam tubuh manusia dan makhluk hidup lain," papar Aris kepada Validnews, Selasa (3/10).
Studi yang dilakukan Irssa Intan Fatiha dan Rony Irawanto yang terbit di Gunung Djati Conference Series (2021) bertendensi menyimpulkan sama. Keduanya menganalisa, limbah cair batik juga mengandung logam berat seperti Pb, Cu, Cr, dan senyawa organik lainnya. Jika kandungan logam ini terakumulasi dan masuk ke dalam siklus rantai makanan, berbagai penyakit bisa muncul.
Pada manusia, paparan logam dapat berdampak pada tekanan darah tinggi. Lalu, ada gangguan sistem saraf, fungsi ginjal, dan rusaknya sistem reproduksi. Selain itu, organ hati dapat rusak, fungsi lidah hilang, terjadi gangguan pencernaan, bahkan mengakibatkan kematian.
Dampak terhadap lingkungan juga tercermin dalam studi yang dilakukan Lilin Indrayani dari BBKB Kemenperin pada 2018.
Studi itu memperkirakan penggunaan air dalam proses produksi batik mencapai 25 hingga 50 m2 per meter kain batik. Sementara itu, data Kemenperin pada 2017 menyebut, rata-rata produksi batik Indonesia adalah 500 juta meter per tahun.
Artinya, sekitar 25 juta m3 air digunakan untuk proses produksi batik tiap tahun. Ini setara dengan kebutuhan air bersih untuk 2500 rumah tangga. Dari angka itu, hampir 85% air yang digunakan menjadi limbah berwarna pekat dan berbau menyengat.
Limbah ini memiliki tingkat keasaman, Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), dan Total Suspended olid (TSS) yang tinggi.
Dengan kondisi itu, menurut Aris, pengelolaan limbah batik tak bisa hanya dilakukan di hilir. Namun, pengelolaan ini harus dimulai sejak di hulu.
"Penerapan produksi bersih harus dilakukan di line produksi mereka sehingga terjadi penghematan bahan baku, energi, dan volume limbah," terangnya.

Batik Ramah Lingkungan
Senada dengan keinginan Aris, Kemenperin sejatinya tengah mendorong industri batik ramah lingkungan. Ini terlihat dari adanya Permenperin Nomor 10 Tahun 2023 tentang Standar Industri Hijau (SIH) Untuk Industri Batik.
Dalam aturan yang berlaku sejak Juli lalu itu, industri yang menerapkan SIH harus memenuhi sejumlah persyaratan teknis. Di antaranya, penggunaan bahan baku, air, kemasan, hingga pengolahan limbah yang sesuai aturan. Selanjutnya, ada beberapa persyaratan manajemen. Seperti perencanaan strategis, pelaksanaan, pemantauan, hingga ketenagakerjaan.
Direktur Industri Aneka dan Industri Kecil dan Menengah Kimia, Sandang, dan Kerajinan Kemenperin, Ni Nyoman Ambareny mengatakan, jumlah industri batik yang telah mengadopsi praktik ramah lingkungan sudah cukup banyak.
Angka pastinya masih dalam pendataan. Namun, umumnya industri batik baru menjalankan sebagian kaidah ramah lingkungan, belum secara utuh.
"Ini karena adopsi praktik-produk ramah lingkungan seringkali memerlukan investasi awal yang signifikan dan perubahan dalam proses produksi, yang mungkin tidak segera secara serentak dilakukan oleh semua produsen," jelas Ambar kepada Validnews, Kamis (5/10).
Dia juga menjelaskan, sebagian pelaku industri mungkin khawatir batik yang diproduksi secara ramah lingkungan akan lebih mahal. Ini bisa membuat mereka kesulitan bersaing di pasar yang sangat kompetitif. Belum lagi, beberapa pelaku industri bisa jadi kurang memiliki kesadaran lingkungan.
Mengatasi itu, Kemenperin berupaya meningkatkan kesadaran akan batik ramah lingkungan. Tak hanya kepada pelaku industri batik. Akan tetapi, juga kepada konsumen agar memahami pentingnya produk batik berkelanjutan.
Dikatakan Ambar, pemerintah pun dapat memberi bantuan teknis kepada industri untuk menerapkan konsep ramah lingkungan. Jika perlu, standar lingkungan yang lebih ketat dapat dikembangkan. Pengawasan rutin juga dilakukan agar industri batik patuh terhadap Permenperin Nomor 10 Tahun 2023.
"Pemerintah dapat memberlakukan sanksi yang tegas terhadap produsen yang melanggar regulasi lingkungan, sambil memberikan insentif kepada produsen yang mengadopsi praktik-produk ramah lingkungan," tutup Ambar.