c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

20 Februari 2023

20:35 WIB

Mendukung Tuna Netra Memahami Dunia

Buku-buku braille dibagikan gratis lewat program wakaf ke seluruh Indonesia agar penyandang tunanetra tetap bisa membaca

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Nofanolo Zagoto

Mendukung Tuna Netra Memahami Dunia
Mendukung Tuna Netra Memahami Dunia
Seorang siswa melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan alat braille di Yayasan Raudlatul Makfuf in (Taman Tunanetra), Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, Senin (13/2/2023). ValidNewsID/Aldians

JAKARTA - Kalimat demi kalimat dapat dilafalkan sejumlah siswa tanpa terbata-bata. Sekilas tampak tak ada yang berbeda di kelas itu. Namun, jika diperhatikan dengan saksama, mereka tidak membaca dengan melihat. Semua siswa di ruang itu membaca dengan jari. 

Ya, mereka terlihat meraba-raba buku yang di hadapannya. Tangannya bergerak pelan dari kiri ke kanan, seiring bibir yang mengucapkan kata-kata.

Siswa-siswa itu adalah siswa tunanetra yang bersekolah dan menyantri di Sekolah dan Pesantren Tunanetra Yayasan Raudlatul Makfufin. Tempat ini dibangun memang untuk menjaga asa para tunanetra tetap bisa membaca buku. 

Buku tunanetra sendiri berbeda dengan buku biasanya. Kalau umumnya buku dibuat dengan tinta, buku untuk tunanetra dibuat dengan huruf braille. Huruf ini dituliskan, yakni huruf timbul berupa kombinasi enam titik, sehingga kemudian disebut buku braille.

Taufik Rahman yang duduk di bangku kelas 9 SMP mengaku senang bisa belajar di sekolah dan pesantren ini sejak tiga tahun lalu. Tempat ini membuatnya tetap bisa menuntut ilmu seusai mengalami kebutaan total pada 2018 lalu.

Taufik sendiri terlahir normal. Karenanya ketika SD, dia bisa bersekolah di SDN Cengkareng Timur 01 Jakarta Barat. Namun semua rutinitas sekolahnya terhambat, semenjak dia mengalami penurunan penglihatan drastis pada 2015. Lambat laun, penyakit glaukoma mendera mata kanannya. 

Tak lama, pada 2018, penyakit sama juga menyerang mata kirinya. Taufik yang sudah tidak bisa melihat sama sekali terpaksa harus cara alternatif untuk belajar.

Dia menyadari pentingnya menguasai huruf braille agar tetap bisa membaca buku. Setelah enam bulan mempelajarinya, dia akhirnya bisa membaca dan menulis huruf braille.

“Untuk awalan saya belajar braille sampai pengenalan itu agak sulit, karena awalnya kan yang diketahui tulisan biasa saja. Jadi, butuh penyesuaian untuk berpindah ke tulisan braille. Tapi lama kelamaan terbiasa dan alhamdulillah bisa,” katanya saat berbincang di Gedung Sekolah dan Pesantren Tunanetra Raudlatul Makfufin, Kademangan, Tangerang Selatan, Selasa (14/2).

Setelah menguasai huruf braille latin, Taufik mempelajari huruf braille Arab agar bisa membaca Al-Qur’an braille. 

Sampai sekarang Taufik masih mempelajari huruf braille Arab yang tidak sesederhana huruf latin. Bagaimana pun Taufik merasa senang tetap dapat membaca dan mendengarkan, termasuk novel-novel versi braille, yang juga telah dibuat audionya. 

Meski didera kehilangan penglihatan, Taufik punya cita-cita mulia. Dia berharap kelak bisa menjadi pengacara. Karenanya, dia sangat ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi setelah lulus SMA.

Lain lagi dengan dengan pengalaman Zahira yang menjadi penyandang tunanetra sejak lahir. Baru enam bulan belakangan dia duduk di bangku sekolah. Sebelum belajar di Raudlatul Makfufin, Zahira belum pernah sekolah. Namun, Zahira bisa langsung belajar di kelas 3 SD.

Bukan tanpa sebab Zahira langsung mengikuti pelajaran kelas 3. Dia memang tergolong cepat mempelajari huruf braille latin. Sementara untuk Arab braille, dia mampu membacanya, tapi belum untuk menulisnya. 

“Sekarang sudah bisa braille (latin) setelah empat bulan belajar. Kalau mengaji sudah bisa, menulisnya belum” katanya.

Perempuan yang kerap membaca buku cerita braille ini mempunyai mimpi yang mulia. Ia berharap bisa menjadi penghafal Al-Qur’an dan mempunyai rumah tahfiz. 

Produksi Sendiri
Adapun buku-buku braille yang ada di sekolah dan pesantren ini sebagian diproduksi langsung di percetakan yang dimiliki Yayasan Raudlatul Makfufin. Semua usaha ini dijalankan untuk mencukupi pengetahuan bagi para tunanetra.

Yayasan Raudlatul Makfufin memahami, mata bagi manusia berperan penting untuk memperoleh pengetahuan. 

Dalam jurnal Efektivitas Cepat Tensi (Cegah dan Pantau Hipertensi) Terhadap Peningkatan Pengetahuan dan Sikap Pada Wanita Menopause, pancaindra yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke otak adalah mata (75-87%), sedangkan 13 -25% pengetahuan manusia diperoleh atau disalurkan melalui indra lainnya (Yustisa, 2014).

Salah satu cara untuk mendapat pengetahuan adalah dengan membaca buku. Namun, para tunanetra, baik yang tidak bisa melihat atau yang lemah penglihatannya, akan kesulitan untuk membaca buku. Makanya, buku braille coba disiapkan Yayasan sebanyak mungkin untuk menjadi jembatan para tunanetra mendapatkan hak memperoleh pengetahuan. 

Di sisi lain, selama ini, buku braille tidak mudah didapatkan. Harganya juga terbilang jauh lebih tinggi dibandingkan buku cetak tinta.

Masalah ini disadari betul yayasan yang didirikan pada 1983 ini. Ketua Yayasan Raudlatul Makfufin, Diah Rahmawati mengatakan, pihaknya akhirnya mencoba mencetak beragam buku, mulai dari Al-Qur’an, buku islami, hingga umum.

Seorang pegawai mencetak kertas dengan mesin cetak braille di Yayasan Raudlatul Makfufin (Taman Tuna netra), Kecamatan Serpong, Tangerang Selatan, Senin (13/2/2023). ValidNewsID/Aldiansyah Nurrahman 

 

Inspirasi percetakan buku braille ini datang saat yayasan mengadakan kegiatan pengajian tunanetra dari rumah ke rumah. Saat pengajian digelar pada awal 2000-an tidak sedikit jemaah tunanetra yang mengeluhkan tidak memiliki Al-Qur’an braille.

Para tunanetra merasa resah karena tahu Al-Qur’an mengandung pedoman akidah, ibadah, hukum, dan ilmu pengetahuan bagi umat muslim. Mereka khawatir tidak kehilangan pedoman hidup bila tak memiliki Al-Qur’an.

Dari keresahan-keresahan itu pendiri yayasan, Halim Saleh, yang juga penyandang tunanetra, bersama para guru sekolah luar biasa memutuskan membuat file master Al-Qur’an untuk dikonversi jadi huruf braille. Mesin cetak dan biaya produksi Al-Qur’an braille ketika itu didapat dari donasi. 

Hasilnya, Al-Qur’an braille yang sudah jadi juga dibagikan kepada para tunanetra yang membutuhkan secara gratis.

Selain itu, dibangun juga kerja sama dengan Kementerian Agama (Kemenag) untuk mencetak 1.000 set Al-Qur’an braille. 

“Al-Qur'an braille itu kita kirimkan ke para tunanetra di daerah-daerah,” jelasnya di Kantor Yayasan Raudlatul Makfufin, Serpong, Tangerang Selatan, Senin (13/2).

Perempuan yang disapa Putri ini menerangkan, pembuatan Al-Qur’an braille berbeda dengan Al-Qur'an umumnya. Kalau Al-Qur’an umum satu buku terdiri dari 30 juz, dalam versi braille satu buku hanya satu juz. Artinya, untuk mencapai Al-Quran komplit dibutuhkan 30 Al-Qur’an braille.

Kertas buku braille memang lebih tebal dan ukuran tulisannya lebih besar ketimbang buku umum. Pemilihan jenis kertas ini disengaja, agar para tunanetra mudah mengenali tiap hurufnya ketika disentuh. Ukuran satu set sama dengan 30 buku ini lah yang digarap bareng Kemenag.

Seiring berjalannya waktu, mereka juga memproduksi Al-Qur’an braille dalam bentuk satu buku satu juz dengan terjemahan, satu buku dua juz, dan satu buku tiga juz. Produksi buku-buku braillenya juga menjadi lebih variatif dengan mulai mencetak buku pengetahuan islami, hadis, kitab kuning, dan umum. 

Khusus untuk buku umum, yayasan bekerja sama dengan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) mengonversi buku ke dalam bentuk braille. Hal ini coba dilakukan agar para tunanetra punya kesempatan membaca buku yang sama dengan mereka yang awas.

“Teman-teman tunanetra juga butuh melihat dunia. Kalau misalkan mereka tidak bisa baca buku karena tulisannya awas, ya, kita braille kan,” ucap perempuan yang kehilangan penglihatannya ketika usianya 17 tahun ini.

Buku Braille Gratis
Soal harga, Putri juga menyinggungnya. Contohnya, satu set Al-Qur’an braille satu juz satu terjemahan tembus Rp2,5 juta. Belum lagi ongkos kirimnya jika dikirim ke daerah-daerah, seperti dari Jawa ke Sulawesi ongkos kirimnya bisa Rp1,2 juta karena berat satu set Al-Qur’an sampai 27 kilogram. 

Harga itu sangat ketimpang dibandingkan Al-Qur’an dengan terjemahan umumnya yang tidak sampai Rp100 ribu. Al-Qur’an umum juga mudah didapatkan. 

Masalah buku braille juga sama. Misalnya, buku Tajwid braille yang harganya mencapai Rp150 ribu. Sedang buku Tajwid biasa hanya Rp3.500.

Persoalannya, tak semua tunanetra dalam kondisi berkecukupan. Terkadang untuk memenuhi kebutuhan makan saja mereka sudah kesulitan. Karena itulah, Raudlatul Makfufin membagikan buku-buku braille secara gratis lewat program wakaf ke seluruh Indonesia.

Untuk mendapatkannya, para tunanetra hanya perlu mendaftarkan diri lewat telepon 0811-8300-072. Para tunanetra yang sudah mengirimkan biodata pribadi dan buku braille apa yang diinginkan ke kontak tersebut, akan dimasukkan dalam daftar penerima wakaf. Bantuan ini bisa diajukan lembaga atau individu.

Bila Raudlatul Makfufin sudah menerima dana wakaf yang diberikan masyarakat, tunanetra yang sudah mendaftar akan mendapat buku braille yang diinginkan sesuai pesanan. 

Nantinya, tunanetra penerima bantuan diminta untuk mengirimkan video ucapan terima kasih saat bantuan sudah diterima. Video itu jadi bentuk laporan kepada pewakaf.

Yayasan yang mempunyai arti Taman Tunanetra ini utamanya mengandalkan donasi para donatur dalam kegiatannya. Putri sangat berterima kasih kepada para donatur yang membuat yayasan ini hidup, bahkan hingga mampu membuat yayasan membentuk pesantren dan sekolah tunanetra pada 2016.

Diungkapkan Putri, permintaan buku beragam. Selain itu, tidak melulu tunanetra baru yang meminta donasi buku, ada juga tunanetra lama yang buku lamanya kebetulan rusak. Penerima donasi buku juga datang dari berbagai daerah. Salah satunya Papua. 

Daerah seperti Papua juga punya masalah lain, yakni masalah minimnya guru yang mengajar membaca braille. Yayasan ini kemudian membuat pelatihan untuk orang-orang agar bisa membaca braille. Mereka nantinya akan diarahkan menjadi guru yang mengajarkan huruf braille di daerah-daerah.

Cara lainnya, untuk memberantas buta huruf di antara tunanetra adalah dengan membuat buku cara baca huruf braille. Raudlatul Makfufin telah menciptakan buku Pandai Membaca Al-Qur'an Braille. Buku ini berisi cara membaca huruf braille Arab atau seperti buku Iqra bagi orang normal, namun sudah dimodifikasi, sehingga bisa cocok bagi para tunanetra.

Khawatir Typo
Dalam prosesnya, Kepala Percetakan Raudlatul Makfufin, Ahmad Wahyudi menjelaskan ada proses permulaan yang dilakukan setiap pagi dan siang hari, sebelum mulai mencetak buku braille. Mesin cetak akan mencetak beberapa kertas untuk mengetahui keadaan mesin. 

Kalau mesin tidak bagus, biasanya akan ada titik di kertas yang tidak timbul atau posisinya tidak benar. Tes itu diperlukan agar begitu buku dicetak tidak ada titik yang salah atau typo.

Wahyu mengaku takut bila sampai terjadi typo, terlebih bila itu terjadi di Al-Qur’an braille. Typo dalam Al-Qur’an membuat tulisannya dibaca berbeda, akan mengubah makna. Ini berbeda dengan buku umumnya yang bila ada typo, orang akan tetap mengetahui apa yang dibaca karena sudah menjadi bahasa sehari-hari.

“Pertanggungjawabannya bukan orang doang Al-Qur’an braille, dunia akhirat. Makanya dicek terus, jangan sampai sudah tahu rusak masih tetap dilanjut,” katanya, Senin (13/2).

Dia menambahkan, Al-Qur’an braille dibaca dari kiri ke kanan. Hal ini berbeda dengan Al-Qur’an mereka yang awas yang dari kanan ke kiri. Namun, untuk buku selain Al-Qur’an, buku braille dan yang bukan sama-sama dari kiri ke kanan.

Perbedaaan lainnya juga ada diletak terjemahan. Al-Qur’an tinta posisi terjemahan berada di satu halaman ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, untuk Al-Qur’an braille letaknya di halaman terpisah. Hal ini agar para tunanetra mudah membedakan tulisan latin dan Arab.

Pengurus Pesantren Tunanetra Raudlatul Makfufin, Rahman mengatakan, hal dasar untuk menguasai braille adalah dengan memahami konsep enam titik timbul. Setelah itu, barulah dikenalkan huruf A-Z, tanda baca, dan angka dengan membacanya hingga menulisnya.

Waktu yang diperlukan untuk menguasai braille ini beragam. Ada yang membutuhkan tiga bulan bahkan enam bulan. Mereka yang tunanetra dari lahir biasanya akan lebih memerlukan waktu untuk menguasainya. Sebab, mereka tidak mengenal huruf sejak lahir, tidak ada di bayangan mereka huruf itu seperti apa dan cara mengeja itu seperti apa.

“Sedangkan yang tunanetra tidak dari lahir biasanya akan lebih cepat, karena memori huruf sudah terekam di kepalanya. Hanya tinggal menyesuaikan konsep braille,” katanya, Selasa (14/2).

Di sekolah ini, setelah para tunanetra menguasai braille latin, barulah dikenalkan dengan braille Arab. Sama seperti belajar braille latin, bagi mereka yang sudah mengenal huruf Arab akan lebih cepat bisa membaca braille Arab.

Untuk tulisan, para tunanetra menggunakan alat bantu riglet. Alat ini juga yang digunakan siswa Raudlatul Makfufin untuk menulis.

Rahmad menjelaskan semua yang masuk di jajaran manajemen yayasan, sekolah, maupun para pesantren ini adalah para tunanetra. Sementara, untuk beberapa guru, ada yang dapat melihat. Begitu pula untuk posisi petugas kebersihan, dan yang memasak di kantin. 

“Sebetulnya tunanetra pun bisa masak. Hanya saja kan perlu masak banyak dan dalam waktu yang cepat, karena itu pekerjanya lebih baik orang yang awas,” ujar Rahmad.

Di sekolah dan pesantren murid-murid diajarkan berbagai hal layaknya sekolah dan pesantren umum. Upacara, kesenian, olahraga, matematika, komputer, bahasa Inggris, dan mengaji dilakukan di sekolah ini.

Untuk belajar komputer mereka diajarkan teknik 10 jari untuk mengetik. Lalu, mengecek tulisannya betul atau tidak menggunakan aplikasi. 

Kemudian, untuk olahraga, alat-alatnya diubah sedemikian rupa agar bisa nyaman dipakai tunanetra. Contohnya bola yang dibuat berbunyi, catur yang bolong di tiap kotaknya, dan tenis meja yang tiap sisinya dibuat dinding. 

Untuk kesenian, mereka diajarkan bernyanyi dan menguasai beberapa alat musik, seperti gitar, pianika, dan rebana.

Mereka diajarkan juga pijat sebagai modal keahlian mereka begitu lulus sekolah. Rahmad mengatakan, kemampuan pijat ini bisa menghidupi mereka ketika masuk perguruan tinggi. Para tunanetra ini jadi mandiri tidak tergantung pada orang tua.

Siswa juga diajarkan kekuatan mental dan bersikap ketika bersosialisasi di masyarakat. Karena begitu berada di lingkungan masyarakat sikap yang diberikan publik ke para tunanetra tak bisa dikontrol. Contohnya, ada anak kecil yang mengejek tunanetra, itu tidak boleh terbawa perasaan. Makanya, di sekolah-sekolah tunanetra, kata Rahman, kerap dilatih dengan kata-kata yang sedikit ‘pedas’. 

“Ini orang buta di kantin pada berisik-berisik banget ya,” ujarnya mencontohkan. 

Total ada 28 siswa yang di sekolah ini. Sebanyak 27 di antaranya mengikuti pesantren dan tinggal di asrama. Jam sekolah dari pagi hingga siang hari. Setelah beberapa jam istirahat, sore harinya dilanjutkan kegiatan pesantren.

Pengamat Pendidikan Islam, Tanenji mengatakan, membaca memang braille perlu diajarkan kepada para tunanetra karena akan memberikan stimulasi kognitif kepada para tunanetra. 

“Kalau dengan membaca huruf braille berarti mengeksplorasi, fungsi-fungsi otak juga terstimulasi,” katanya, Kamis (16/2).

Begitu juga dengan Al-Qur’an braille penting untuk dibaca mengingat tidak mudah melafalkan Al-Qur’an. Ada tanda-tanda baca yang perlu dipahami dengan membacanya langsung, tidak cukup mendengar saja. 

Dia menceritakan pengalaman mengajar seorang mahasiswa tunanetra di kelasnya. Tanejnji mengamati mahasiswa tersebut nyatanya bisa mengikuti pelajaran, meski tetap ada beberapa penyesuaian, misalnya file pelajaran perlu dikirim ke surel tunanetra ini. Begitu lulus, mahasiswa ini menjadi guru di sekolah reguler, bukan sekolah luar biasa. 

Terhadap kemampuan mereka yang netra. pengajar di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mengingatkan masyarakat untuk tidak meremehkan lulusan sekolah khusus, seperti Raudlatul Makfufin.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar