c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

15 Maret 2024

21:00 WIB

Mendukung Anak Pemulung Merealisasikan Mimpi

Bagi anak-anak pemulung, sekolah adalah mimpi dan barang mewah. Kondisi ekonomi dan lainnya membuat mereka terperangkap dalam jebakan kemiskinan.

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Nofanolo Zagoto

<p>Mendukung Anak Pemulung Merealisasikan Mimpi</p>
<p>Mendukung Anak Pemulung Merealisasikan Mimpi</p>

Siti Salimah (kanan) bersama peserta rumah pohon. Instagram/shetysalamah

JAKARTA - Masa kecil LT tidaklah seperti anak-anak kebanyakan. Sejak bayi, perempuan kelahiran Indramayu ini sudah ikut orang tuanya bekerja. Namun, jangan bayangkan dia dan kedua orangtua berangkat ke kantor atau tempat usaha yang layak. Mereka memulung di jalanan.

Saban pagi, sejak pukul 08.00 atau 09.00 WIB, LT dan ibunya sudah berangkat dari rumahnya di lapak pemulung Anijaya, Kecamatan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten. 

Ayahnya melakukan hal sama di daerah berbeda. Baru menjelang siang mereka pulang ke rumah. Biasanya, mereka memilah hasil pulungan dan beristirahat sejenak. Lalu, memulung lagi pada sore hari hingga larut malam. 

Sudah sejak usia delapan tahun LT harus turun ke jalan membantu orang tua mencari nafkah. Kondisi ekonomi keluarga memaksanya demikian.

LT sebenarnya ingin sekali bersekolah seperti anak-anak lainnya. Namun, keinginan ini harus dipendam. Ekonomi keluarga sama sekali tak mendukung hasratnya bersekolah. Tak jarang LT menangis mendengar keributan di rumah karena masalah ekonomi.

Namun, belakangan pintu perubahan nasib terbuka. Dewi Fortuna menyambanginya. Peluang LT untuk bersekolah terbuka saat bertemu relawan Komunitas Rumah Pohon. LT langsung mau saat ditawari bersekolah secara gratis di Homeschooling Kak Seto. Sekolah nonformal ini memberikan para siswanya ijazah resmi yang diakui negara.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. LT tidak berlama-lama menimbang tawaran itu. Apalagi dia ditawarkan bisa bersekolah setiap Sabtu saja. Pada Senin sampai Jumat, aktivitasnya tetap seperti biasa, memulung membantu orang tua. Sedangkan pada hari Minggu, dia tetap bisa berjualan makanan ringan di sekitar rumahnya. 

Tak terasa, ini berjalan beberapa tahun. Kini  LT sudah memasuki jenjang SMP.

"Saat saya melihat rapornya, nilai LT ini tidak pernah C. Kebanyakan A dan B," ujar relawan Komunitas Rumah Pohon, Shandy, yang menyebut LT sebagai anak yang cerdas, Sabtu (9/3).

LT bukan satu-satunya anak pemulung yang bisa bersekolah gratis di Homeschooling Kak Seto. 

Shandy bercerita, kakak laki-laki LT yang putus sekolah di kelas 2 SD juga bersekolah di sana. Kini ia memasuki jenjang pendidikan SMA. Beberapa anak pemulung yang tinggal di sekitar rumah LT pun juga mengenyam pendidikan di tempat yang sama. 

Komunitas Rumah Pohon adalah komunitas yang digagas Siti Salamah pada 2015 silam. Mulanya, komunitas ini hanya mengadakan kegiatan Maghrib Mengaji untuk anak-anak pemulung yang tinggal di Jurang Mangu, Tangerang Selatan, Banten. Mereka membina lebih dari 15 lapak pemulung dengan jumlah anak lebih dari 100.

Seiring waktu, komunitas ini membantu anak-anak itu mengakses pendidikan. Pasalnya, banyak dari mereka putus sekolah atau tidak pernah bersekolah sama sekali. Alasannya beragam. Biasanya merentang mulai dari ekonomi, tidak ada dukungan keluarga, hingga tidak punya identitas sehingga tidak bisa mendaftar sekolah. Maklum saja, mayoritas orang tua mereka menikah siri dan tidak tercatat di dokumen catatan sipil.

Inisiatif mulia ini awalnya mendapat penolakan. Ajakan bersekolah disambut warga lapak pemulung dengan menyobek dokumen Siti. Dari banyak ajakan, hanya ada lima anak yang mau bersekolah di Homeschooling Kak Seto pada awalnya. 

"Mereka mikirnya ngapain sekolah mahal-mahal, sekolah tinggi-tinggi. Ngapain sekolah gratis, karena Kak Siti juga belum tentu ngasih duit dengan sekolah," tutur Siti, Sabtu (9/3).

Bagusnya, penolakan lambat laun mereda. Jumlah siswa Homeschooling Kak Seto terus bertambah. Banyak anak dan orangtua yang berminat, setelah informasi sekolah gratis ini menyebar luas ke anak-anak lainnya.

Kini, puluhan anak tercatat sudah lulus pendidikan setara SD, SMP, dan SMA dari Homeschooling Kak Seto. Siswa-siswi sekolah ini  juga tersebar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Nara Kreatif, Jakarta Timur, dan PKBM Salman Alfarizi, Tangerang Selatan.

Semangat belajar anak-anak ini juga terbilang tinggi. Ini bisa terlihat dari kerapnya mereka terlihat berjalan kaki menuju Homeschooling Kak Seto. Alasannya, untuk menghemat ongkos transportasi. Padahal, jarak yang ditempuh sekitar tujuh hingga delapan kilometer.  

Siti ingat betul, di awal komunitas ini bergerak ada seorang anak yang begitu semangat sekolah gratis. Anak berinisial I ini putus sekolah di kelas 5 SD. Sekarang dia berada di bangku kuliah.

"I itu pas sudah lulus sekolah dan mau kuliah, dia sekeluarga nyariin aku. Cuma mau bilang apa? Makasih ya, kalau enggak ada Kak Siti, mungkin aku enggak bisa sekolah sampai kayak gini," kenang Siti menirukan I.

Pernikahan Dini
Komunitas Rumah Pohon tidak hanya membukakan akses anak-anak pemulung kepada pendidikan nonformal. 

Komunitas ini juga mengadakan kelas mingguan yang diisi oleh relawan. Biasanya agenda mingguan ini berupa edukasi pengetahuan dasar seperti baca, tulis, dan hitung. Kadang, relawan menyelipkan edukasi lainnya seperti pencegahan pernikahan dini.

Bukan tanpa alasan, pernikahan dini banyak terjadi di kalangan anak-anak pemulung yang dibina komunitas. Siti menyebut, dari sekitar 100 anak, kurang lebih 40% di antaranya terjebak pernikahan dini. Mereka berusia remaja.

Penyebabnya pun cukup beragam. Sebagian merasa sudah tidak dipedulikan orang tua, sehingga lebih memilih hidup bersama pasangan. Sebagian lagi menikah karena ikut-ikutan, melihat teman-temannya melakukan hal yang sama. Ada juga yang menikah karena dipaksa orang tua dan tekanan ekonomi.

Pekerjaan pasangan mereka umumnya tidak jauh berbeda, misalnya pengamen. Pada akhirnya, kondisi ekonomi yang diharapkan membaik pun tidak terwujud. Mereka terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan.

"Tahun lalu kecolongan satu Si B. Dia nikah sama om-om, duda lagi. Kayaknya butuh kasih sayang. Bapaknya kasar, dia ngeliat emaknya sering dimarahin," tutur Siti.

Terhadap remaja-remaja ini, komunitas memberikan beragam imformasi efek menikah muda. Kalau diminta orang tua menikah, anak-anak ini juga diminta Siti berani bersikap tegas, menolak. Mereka juga dimotivasi dengan cerita anak-anak yang fokus sekolah, lalu sukses. 

Salah satu contoh ini adalah anak pemulung yang kini berhasil menjadi asisten chef di sebuah hotel selepas lulus SMK Pariwisata. Dia kini bisa menolong ekonomi keluarganya.

Siti menyebutkan anak-anak yang fokus sekolah memang tak lagi terjebak pernikahan dini. Mereka lebih fokus belajar agar mendapat pekerjaan yang lebih baik. Mereka tak ingin bernasib sama seperti orang tuanya.

"Yang pada lanjut sekolah ini kayaknya mereka sudah kebawa sama lingkungan yang baru. Jadi, enggak (terjebak pernikahan dini)," terangnya.

Negara Harus Hadir
Keikutsertaan warga dalam membangun ekonomi warga lainnya bukan hal baru. Di banyak negara hal sama juga ada. Pakar pendidikan dan pemerhati anak, Retno Listyarti menjelaskan, situasi yang dialami anak-anak Komunitas Rumah Pohon adalah realita yang umum terjadi. Sudah tak mengherankan anak-anak putus sekolah karena masalah ekonomi dan faktor budaya, terlebih pada anak perempuan.

Umumnya, mereka dianggap tidak perlu bersekolah tinggi. Toh, mereka akan jadi ibu rumah tangga. Kalau berasal dari keluarga miskin, desakan untuk menikah dini pun menguat. Harapannya, biaya hidup anak perempuan bisa ditanggung oleh suami. Padahal, sebagai anak mereka tak siap menjalani pernikahan. 

Ujung-ujungnya, mereka dianggap tidak cakap menjadi istri. Bisa ditebak, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan perceraian biasanya menjadi momok yang mengikuti.

Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) itu juga mengapresiasi Komunitas Rumah Pohon dan beragam komunitas sejenis yang membantu anak-anak putus sekolah kembali mendapatkan hak pendidikan. Apa yang dilakukan Komunitas Rumah Pohon adalah nyata membangun warga. 

Namun, dia mengingatkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab negara. Hal ini sebagaimana amanat Pasal 31 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Bagi anak-anak tidak mampu, lanjutnya, negara telah menyediakan program Wajib Belajar Sembilan Tahun secara gratis. Selain itu, ada program beasiswa seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) atau Kartu Jakarta Pintar (KJP).

Tak hanya itu, pemerintah dinilai Retno juga perlu membiayai pendidikan nonformal atau PKBM. 

PKBM ini kerap menjadi pilihan anak-anak putus sekolah untuk melanjutkan pendidikannya. Pembiayaan yang dimaksud bisa berupa membuat PKBM Negeri. Meski jarang ditemui, PKBM Negeri sudah dapat ditemukan di beberapa lokasi di Jakarta.

"Walaupun nonformal kan tetap ada biaya sekecil apa pun. Kalau nggak punya uang, maka ada alasan untuk tidak sekolah. Di sinilah negara harus hadir melalui misalnya PKBM Negeri," tutupnya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar