c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

22 Agustus 2024

20:30 WIB

Mendamba Idealnya Pelayanan Puskesmas

Pelayanan puskesmas kerap terhadang masalah kualitas tenaga kesehatan yang masih jadi pekerjaan rumah pemerintah.

Penulis: Oktarina Paramitha Sandy, Aldiansyah Nurrahman

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p id="isPasted">Mendamba Idealnya Pelayanan Puskesmas</p>
<p id="isPasted">Mendamba Idealnya Pelayanan Puskesmas</p>

Ilustrasi. Dokter melakukan pemeriksaan kesehatan terhadap pasien di Puskesmas Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa (22/8/2023). ValidNewsID/Fikhri Fathoni

JAKARTA – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menginisiasi enam transformasi di bidang kesehatan. Di urutan pertama adalah transformasi layanan primer, yaitu puskesmas dan posyandu sebagai garda terdepan mencegah penyakit di masyarakat.

Agar tujuan yang kini diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan itu tercapai, puskesmas membutuhkan tenaga medis (named) dan tenaga kesehatan (nakes) mumpuni. Namun, ada cukilan demi cukilan, peristiwa demi peristiwa yang merekam kualitas sumber daya manusia di puskesmas.

Salah satunya, peristiwa pada Juni 2024. Seorang bocah terpotong kemaluannya saat disunat oleh kepala puskesmas di Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. 

Sebelumnya, pada Mei 2024, bocah berusia 10 tahun diduga meninggal setelah menerima suntikan dari perawat di Puskesmas Sindangbarang, Cianjur, Jawa Barat. Sebelumnya, pada 2019, Puskesmas Kelurahan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara memberikan obat kedaluwarsa kepada seorang ibu hamil. 

Di luar kasus pelayanan yang berdampak pada warga, pada Mei 2024, dua dokter di Puskesmas Pasi Mali, Aceh Barat mengundurkan diri. Tindakan mereka membuat pelayanan puskesmas tutup. Alasan mereka mundur karena sudah tiga bulan tak digaji oleh pemerintah setempat. 

Sementara itu, empat nakes di Mimika, Papua, awal Agustus 2024, hampir kehilangan nyawa. Helikopter yang mereka tumpangi, diberondong tembakan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Pada peristiwa itu, pilot helikopter milik maskapai penerbangan sewa, Intan Angkasa Air Service, warga negara Selandia Baru bernama Glen Malcolm Conning (50) tewas dan transportasi udara itu dibakar pelaku penembakan.

Terkait perkembangan pelayanan puskesmas, Ketua Ombudsman, Mokhammad Najih menilai, ada berbagai aspek yang mesti dilihat dari peristiwa-peristiwa di puskesmas. Seperti, kelengkapan sumber daya manusia (SDM) puskesmas yang berpengaruh terhadap kompetensi mereka.

Dia memaparkan, pemerintah sudah membuat syarat. Idealnya, satu puskesmas harus diisi sembilan jenis tenaga kesehatan. Yakni, dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, nutrisionis, tenaga apoteker dan atau tenaga teknis kefarmasian, dan ahli teknologi laboratorium medis.

Akan tetapi, tak semua puskesmas lengkap sembilan jenis tenaga kesehatan ini. Hal itu yang menurut Ombudsman membuat masyarakat tidak terlayani dengan optimal. Pelayanan kesehatan tak sesuai kompetensinya yang melahirkan insiden atau malpraktik. 

“Walau, tenaga kesehatan itu berniat membantu masyarakat yang ingin berobat,” ungkap Najih, Kamis (15/8).

Najih mengungkapkan, ada dilema dari tenaga kesehatan. Niat ingin membantu masyarakat, namun kompetensinya tak sesuai.

Keterbatasan tenaga kesehatan itu, kata Najih, juga membuat penanganan pasien menjadi lama. Padahal, ada kondisi yang membutuhkan penanganan cepat.

Ombudsman sudah meminta pemerintah memperbaiki kekurangan pelayanan lewat rekrutmen tenaga kesehatan. Juga meminta pemerintah pusat, pemda, dan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan, agar lulusannya terserap ke sektor pelayanan publik seperti puskesmas.

SDM Puskesmas Belum Lengkap
Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes, Arianti Anaya memaparkan, sampai triwulan II 2024 jumlah puskesmas mencapai 10.195 puskesmas. Sebanyak 44% atau 4.441 puskesmas belum lengkap sembilan jenis tenaga kesehatan.

Lalu dari 4.441 puskesmas yang tidak lengkap itu, 62% terjadi di puskesmas Daerah Terpencil Perbatasan Kepulauan (DTPK). Jumlah total puskesmas di DTPK mencapai 2.462 puskesmas dan 7.733 puskesmas non-DTPK.

Kemudian, ada kekurangan 7.552 tenaga medis (named) dan tenaga kesehatan (nakes) di seluruh puskesmas di Indonesia.

Rincian kekurangan 7.552 itu adalah dokter gigi 2.752, tenaga kesehatan lingkungan 1.329, nutrisionis 874, tenaga kesehatan masyarakat 614, apoteker 556, dokter 370, bidan 47, perawat 18, dan ahli teknologi laboratorium medik 992.

Arianti menjelaskan, empat sebab kekosongan tenaga kesehatan di sejumlah puskesmas. Pertama, suplai tenaga medis terbatas khususnya dokter gigi, belum sesuai rasio kebutuhan.

Kedua, formasi CASN lewat Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang tersedia belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk mengisi kebutuhan prioritas. Di lain pihak formasi untuk puskesmas di DTPK kurang menarik minat named dan nakes untuk mendaftar.

“Ketiga, kurangnya jaminan perlindungan atau keamanan bagi named dan nakes di daerah rawan konflik. Keempat, redistribusi antar puskesmas dalam satu kabupaten/kota belum dilakukan pemda secara optimal,” katanya, kepada Validnews, Rabu (21/8).

Untuk strategi pemerataan tenaga kesehatan di puskesmas, Arianti mengungkapkan, strategi Kemenkes yang meningkatkan pemberian beasiswa bekerja sama dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPD) disertai ketentuan pelaksanaan wajib menjalankan masa bakti ke daerah yang sangat membutuhkan. Pada 2023, sebanyak 2.835 beasiswa telah diberikan. Diharap makin banyak nakes baru dari program ini. 

Kemudian dengan memberikan dukungan kepada pemda melalui penugasan khusus tenaga medis dan tenaga di puskesmas, pendayagunaan dokter spesialis dan residen tahap akhir di RSUD. Serta, pendayagunaan dokter spesialis yang sedang melaksanakan program adaptasi di rumah sakit. Tahun lalu, Kemenkes telah menempatkan 1.569 named dan nakes di 936 puskesmas.

Arianti mengakui keluhan kurang maksimalnya pelayanan di puskesmas. Untuk itu, Kemenkes berupaya memperbaiki kualitas layanan melalui peningkatan kualitas SDM kesehatan di puskesmas. Seperti, menyediakan pelatihan dan kegiatan peningkatan kompetensi secara gratis melalui sistem pembelajaran digital terintegrasi Plataran Sehat. Platform ini dapat diakses oleh named dan nakes di manapun dan kapanpun.

Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Mohammad Adib Khumaidi membenarkan ada masalah maldistribusi. Sejauh ini penyebarannya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan kota besar. Masalah lainnya adalah kurangnya fasilitas kesehatan dan pembiayaan untuk tenaga kesehatan.

Masalah tersebut berdampak pada disparitas kualitas antar puskesmas. Selain itu, berdampak terhadap kompetensi dokter di puskesmas. Contohnya jika tidak ada mitra, seperti perawat dan bidan, kemudian tidak didukung fasilitas seperti alat dan obat, dokter tak bisa bekerja maksimal.

“Padahal, dokter umum dia harus bisa memenuhi 144 diagnosis berdasarkan kompetensinya jika didukung oleh fasilitas,” kata Adib, Kamis (15/8).

Pada kesempatan itu, Adib mengungkapkan survei IDI soal penyebab dokter enggan bertugas di puskesmas. Hasil survei menunjukkan penyebabnya adalah sarana prasarana dan sarana yang terbatas, keterbatasan alat kesehatan dan obat, rendahnya insentif dan jenjang karier, daya dukung sosial, dan keamanan.

“Daya dukung sosial, seperti fasilitas sekolah untuk anak. Ini, jadi pertimbangan dokter,” lanjut Adib.

Oleh karena itu, agar tenaga kesehatan yang bertugas bekerja efektif, IDI minta pemda melakukan analisis tentang kebutuhan tenaga kesehatan sesuai masalah kesehatan yang terjadi di wilayahnya.

Sementara itu, Ketua Himpunan Seminar Farmasi Kesehatan Masyarakat, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Maria Ulfah mengatakan, sebetulnya jumlah apoteker di puskesmas mengalami peningkatan. Dari 3.500 apoteker di 2018 menjadi 6.700 di 2022.

Masih kosongnya apoteker di sejumlah puskesmas, menurut dia, disebabkan anggapan peran apoteker bisa dilakukan tenaga kesehatan lain. Padahal keberadaan peran apoteker krusial, tidak hanya berperan di pelayanan klinis, tapi juga di manajerial obat.

Ulfah menyampaikan, kompetensi apoteker di antaranya pengelolaan dana, pengelolaan obat, dan pengelolaan bahan medis habis pakai. Selain itu, berperan sebagai konseling atau pemberi informasi obat kepada pasien.

“Ini saja kalau dilakukan satu apoteker sudah lumayan jungkir balik sebenarnya,” jelasnya, Sabtu (17/8).

Jika peran-peran tersebut tidak dilakukan oleh apoteker, risikonya adalah pemborosan anggaran obat. Obat habis, padahal masyarakat butuh, obat yang tersedia obat kedaluwarsa, obat tertukar atau salah memberikan obat. Atau, tidak diberikannya informasi obat yang akurat kepada pasien.

Kemenkes menargetkan setidaknya satu puskesmas satu jenis tenaga kesehatan, termasuk apoteker. Untuk target apoteker itu menurutnya sudah baik, walau idealnya setidaknya ada dua orang. Bahkan jika perlu lebih di satu puskesmas untuk filterisasi obat. Jumlah apoteker sebaiknya menyesuaikan jumlah pasien yang berobat.

“Penerima resep sama yang menyerahkan obat harusnya tidak boleh sama. Untuk pengecekan berkali-kali,” jelas dia.

Terkait pemenuhan tenaga kesehatan, Ulfa mengutarakan ada lima cara yang bisa dilakukan. Melalui perekrutan CASN, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), puskesmas Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), dan Nusantara Sehat.

Ulfa mendorong puskesmas yang kurang SDM dijadikan puskesmas BLUD agar bisa mempunyai dana sendiri. Dengan demikian, puskesmas itu bisa merekrut tenaga kesehatan yang dibutuhkan, tanpa perlu menunggu seleksi CASN.

Perawat Ganti Dokter
Lalu,apa kata perawat? Ketua Departemen Bidang Pelayanan DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Sigit Mulyono mengatakan, perawat merupakan tulang punggung di puskesmas mengingat jumlahnya lebih banyak di daerah-daerah, bahkan daerah terpencil. Perannya juga kerap menggantikan kosongnya dokter di puskesmas.

“Cuma perawat itu tidak dihargai, tidak dikuatkan kompetensinya. Jarang diberi pelatihan,” keluh Sigit, Jumat (16/8).

Dia menyoroti fungsi keilmuan perawat puskesmas yang jarang dimunculkan, yakni terkait edukasi kesehatan ke masyarakat. Sayangnya, fungsi edukasi ini dibatasi di puskesmas. Padahal jika peran ini dilakukan bisa membuat masyarakat terhindar penyakit. Efeknya kunjungan orang sakit ke puskesmas pun bisa ditekan.

Selain itu, dia menyoroti, pelatihan untuk perawat puskesmas yang dibuat pemerintah dinilai keliru. Karena pelatihannya disamakan dengan bidan, padahal kompetensinya berbeda. Fungsi perawat pun jadi tidak maksimal.

Merespons upaya pemerataan tenaga kesehatan pemerintah, CEO and Founder Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih mengatakan, pemerintah memang telah menyediakan intervensi jangka pendek dan menengah. Seperti, menyediakan beasiswa bagi tenaga kesehatan atau melalui program Nusantara Sehat, yang menurut dia belum cukup.

Tenaga kesehatan juga mengalami tantangan infrastruktur komunikasi dan transportasi. Kesulitan yang dihadapi berpengaruh pada periode kerja singkat.

Oleh sebab itu, agar distribusi tenaga kesehatan rata, perlu reformasi struktural dari sisi penyediaan. Yakni, pertama, pemerintah perlu meningkatkan akses masyarakat pada pendidikan kesehatan yang mudah dan dapat diakses seluruh kalangan.

Kedua, pemerintah perlu memperbarui infrastruktur kesehatan di suatu wilayah. Sebab, tidak semua tenaga kesehatan bisa bekerja tanpa alat atau teknologi kesehatan tertentu. Ketiga, melaksanakan program atau intervensi kesehatan dengan melibatkan masyarakat luas.

“Implementasi yang cukup baik perihal ini adalah melalui program Nusantara Sehat yang dijalankan Kemenkes. Nusantara Sehat mengirimkan tenaga kesehatan profesional untuk melakukan intervensi di wilayah bermasalah kesehatan,” jelasnya, Rabu (21/8).

Keempat, pemerintah juga perlu memperbaiki aspek ketenagakerjaan dengan menjamin upah layak, kejelasan karier, hingga keamanan bagi tenaga kesehatan di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

Diah berharap, kinerja puskesmas juga bisa dinilai oleh pasien melalui sebuah sistem. Selain, ada audit internal layanan untuk memastikan layanan benar-benar berkualitas.

“WHO menegaskan, keselamatan pasien sebagai tiadanya risiko bahaya dan risiko kesehatan yang dapat diminimalisir lainnya dalam pelayanan kesehatan,” lanjut Diah.

Pengenalan terhadap prinsip keselamatan pasien, perlu dikenalkan ke peserta pendidikan kesehatan. Sehingga, mereka memahami risiko yang berpotensi timbul dari pelayanan yang kurang optimal.

Nakes Daerah 3T
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Ede Surya Darmawan mengaku miris dengan dengan tidak meratanya tenaga kesehatan, khususnya di daerah 3T. Padahal. pemerintah mengatakan akan melakukan transformasi kesehatan.

“Dari yang kami lihat memang untuk di daerah khususnya, bukan hanya jumlah SDM kurang, tetapi kualitas dari SDM yang di sana juga masih kurang,” katanya, Kamis (21/8).

Agar kualitas SDM di puskesmas meningkat, Ede meminta, peningkatan pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Lalu, pembaharuan kurikulum di sekolah dan institusi yang relevan dengan kebutuhan sistem kesehatan saat ini. 

Kemudian diikuti  peningkatan standar kompetensi tenaga kesehatan di puskesmas. Ini ditujukan untuk memastikan, mereka mendapat tugas sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Oleh karena itu, tidak ada lagi kesalahan dalam pelayanan yang berdampak pada keselamatan nyawa pasien.

Dia juga menyoroti kasus pungutan liar kepada orang yang ingin berobat di puskesmas. Agar itu bisa diatasi, pemerintah mesti menerapkan insentif dan dukungan sumber daya yang merata.

“Jangan sampai mereka mendapatkan yang lebih kecil atau gajinya telat. Intinya kesejahteraan para petugas kesehatan dan puskesmas juga harus dijamin sehingga tidak terjadi hal-hal seperti itu lagi,” serunya. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar