c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

27 Januari 2024

18:00 WIB

Mencegah Jakarta Tak Tenggelam

Idealnya, warga Jakarta harusnya sudah tidak menggunakan air tanah lagi. Sebagian besar air tanah telah tercemar bakteri Escherichia Coli (E Coli).

Penulis: James Fernando, Oktarina Paramitha Sandy, Aldiansyah Nurrahman

Editor: Leo Wisnu Susapto

Mencegah Jakarta Tak Tenggelam
Mencegah Jakarta Tak Tenggelam
Petugas Perumda Tirta Pakuan Kota Bogor melakukan proses pengolahan air bersih di Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Katulampa, Bogor, Jawa Barat, Jumat (25/8/2023). Antara Foto/Arif Firmansyah

JAKARTA – Ada beberapa prediksi akan tenggelamnya DKI Jakarta. Salah satu yang kondang adalah lontaran Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden pada 2021. Dia meramalkan Indonesia harus segera memindahkan ibu kota dari Jakarta, dalam 10 tahun ke depan karena ancaman tenggelam.

"Apa yang terjadi di Indonesia jika proyeksinya (kenaikan air laut) benar, bahwa dalam 10 tahun ke depan mereka mungkin harus memindahkan ibu kotanya karena mereka akan berada di bawah air," demikian pernyataan Joe Biden, dikutip dari laman Gedung Putih, pada akhir Januari 2021.

Setahun kemudian, Direktur Utama Perumda Air Minum (PAM) Jaya Arief Nasrudin mengatakan, sekitar 90% wilayah Jakarta diprediksi bakal tenggelam, khususnya bagian utara. Hal ini akan terjadi pada 2050.

Salah satu sebab penurunan muka tanah di Jakarta akibat pemanfaatan air tanah. Masalah ini tak pernah terselesaikan. 

Serangkaian upaya pun dilakukan untuk mengendalikan penggunaan air tanah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendata, tanah di Jakarta turun 0,04-6,30 cm per tahun selama periode 2015 hingga 2022.

Sebelumnya, pada 1997 hingga 2005 laju penurunan tanah tercatat antara 1-10 cm per tahun hingga 15-20 cm per tahun. Dari angka penurunan ini menunjukkan adanya pelandaian. Di sisi lain, menunjukkan penurunan masih terjadi dan ancaman Jakarta tenggelam belum hilang.

Langkah mitigasi dan antisipasi dilakukan. Kepala Balai Konservasi Air Tanah Kementerian ESDM Taat Setiawan mengatakan, pihaknya telah mengeluarkan dua Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM berkaitan dengan pengendalian air tanah.

Keputusan ini adalah Kepmen ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 tentang Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah. Lalu, Kepmen ESDM Nomor 259.K/GL.01/MEM.G/2022 tentang Standar Penyelenggaraan Izin Pengusahaan Air Tanah.

Tanpa Data
Taat menjelaskan, Kepmen 291 diperuntukkan untuk sektor rumah tangga atau nonpengusahaan. Meski begitu tidak semua rumah tangga yang terkena aturan Kepmen ESDM ini. Di beleid ini ditegaskan, hanya rumah tangga yang pemakaian air tanah dengan jumlah lebih dari 100 m3 per bulan yang mesti izin. Hitungan pemakaian setara 100.000 liter saban bulan.

Dia menyatakan bahwa aturan ini tidak hanya bertujuan untuk mengatasi penurunan permukaan tanah, tetapi juga untuk mencegah pencemaran air tanah, intrusi air laut, dan memastikan keberlanjutan sumber air tanah. Dengan demikian, hal ini diharapkan dapat melindungi akses air bagi masyarakat umumnya yang kurang mampu, sehingga keberlanjutan pasokan air tanah tetap terjamin

“Misalnya ada sebuah rumah orang kaya punya kolam renang dengan mengambil air tanah yang banyak. Tentunya ini masyarakat sekitar bisa jadi kekeringan,” jelasnya, Minggu (21/1).

Padahal, kata Taat, masyarakat kurang mampu dalam mengakses air tanah terbatas. Kedalamannya hanya bisa menggunakan sumur gali 10-20 meter. Masyarakat ini akan rentan terhadap proses kekeringan. Karena itu, air tanah perlu dibatasi.

Taat mengakui, belum ada data jumlah rumah tangga yang pemakaian air tanahnya di atas 100 m3. Sejak dikeluarkannya Kepmen 291 pun baru sekitar 10 rumah tangga yang melakukan pengajuan izin. Untuk itu, sosialisasi menjadi tantangan dalam menerapkan aturan ini.

Sementara untuk Kepmen 259 yang diperuntukan khusus sektor pengusahaan, cukup berbeda. Jika dibandingkan dengan daerah di sekitarnya, kepatuhan perusahaan di Jakarta bisa dikatakan lebih baik. 

Kepmen ini berlaku untuk semua sektor usaha, dari kelas mikro sampai atas. Mengingat Kepmen 259 lebih dulu dikeluarkan dari Kepmen 291, jumlah yang melakukan izin lebih banyak dari sektor rumah tangga.

”Banyak kantor-kantor yang tidak menggunakan air tanah lagi, mengajukan penutupan sumur bor itu banyak juga di Jakarta,” lanjut dia.

Dia mengungkapkan, sanksi untuk penerapan Kepmen 291 dan Kepmen 259 belum ada. “Itu nanti diatur terkait dengan sanksi, terutama untuk pengusahaan ini nanti ada sanksinya, sanksi administrasi. Sedang diatur,” tambah dia.

Selain sanksi,  Kementerian ESDM akan melakukan penataan air tanah. Terutama, adalah sumur bor yang tidak berizin. Permen terkait Penyelenggaraan Izin Pengusahaan Air Tanah dan Persetujuan Penggunaan Air Tanah juga akan diperbaharui.

Dari aspek kelembagaan, Kementerian ESDM sedang berupaya untuk membuat unit pelaksana teknis (UPT) di beberapa daerah di Indonesia. Tujuannya agar pengelolaan air tanah lebih efektif. Kemudian, Kementerian ESDM akan bekerja sama dengan pemda dalam hal pengawasan perizinan air tanah.

“Tak mungkin pemerintah pusat mengawasi laundry, cuci mobil, cuci motor. Itu kan kurang efektif sehingga nanti akan dibentuk suatu kerja sama dengan pemda selain membuat UPT-UPT pengelolaan air tanah,” sambung dia.

Solusi Perpipaan
Di pihak sama, Stafsus Menteri PUPR Bidang Sumber Daya Air, Firdaus Ali berpandangan, masalah penggunaan air tanah baru bisa diatasi jika suplai air perpipaan menjangkau masyarakat.

“Kalau air perpipaan tidak ada, orang sulit mendapatkannya. Yang terjadi orang mencuri air tanah. Dibikin tiga sumur, didaftarkan satu. Oknum manapun juga ingin jalan pintas, dapat uang kan,” jelasnya, Sabtu (20/1).

Berdasarkan data Kementerian ESDM yang bersumber dari PAM Jaya, pada 2023, cakupan layanan air perpipaan baru 65,85%. Panjang pipa 12.075 kilometer, jumlah pelanggan 913.913, tingkat kebocoran air atau non revenue water (NRW) 46,67%, dan kapasitas produksi 20.752 liter per detik.

Menurut dia, penyesuain tarif air tanah atau regulasi seperti apapun tak akan menyelesaikan masalah turunnya permukaan tanah. Kuncinya adalah gelontori setiap rumah tangga dan entitas bisnis dengan air perpipaan.

“Persoalannya sekarang tidak ada suplai air PAM atau harga mahal dan kualitasnya juga tidak baik, memicu masyarakat ambil jalan pintas memakai air tanah,” tegas dia.

Jakarta memiliki 13 sungai, 76 anak sungai, situ, bendung, dan waduk yang berpotensi jadi suplai air. Akan tetapi, karena sistem sanitasi yang buruk, badan air tersebut tidak layak jadi air baku.

Padahal, menurut dia, sudah ada teknologi yang mampu mengolah air baku apapun. Namun, persoalannya adalah komitmen dari pemda sebagai pihak yang berwenang, bukan dari pemerintah pusat.

Dia mengungkapkan, ada perbedaan pandangan terkait suplai air dengan Pemda DKI Jakarta. Ketika diundang Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dia menyampaikan untuk tidak membangun pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA) Buaran III di Kalimalang, karena di sekitarnya banyak aktivitas sehingga tidak menjamin keamanan suplai air.

Jika di area itu ada truk membawa bahan berbahaya dan beracun (B3) dan terjadi kecelakaan hingga tercebur ke Kalimalang, air di Jakarta bisa lumpuh. Kejadian buruk ini, dicontohkannya, pernah terjadi di China.

“Sudah ada inisiatif, misalkan SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Juanda, SPAM Jatiluhur, SPAM Karian, tapi Pemprov DKI Jakarta sampai hari ini juga belum settle. Masih ngotot mau bangun Buaran III,” ujar pakar lingkungan Universitas Indonesia ini.

Peran Kementerian PUPR sendiri untuk mengendalikan air tanah adalah dengan memastikan suplai air baku terjamin. Kementerian PUPR melakukannya dengan membangun SPAM Jatiluhur, SPAM Juanda, dan SPAM Karian untuk membantu Pemda DKI Jakarta.

Ke depannya, Firdaus berharap, Pemda DKI Jakarta serius mengatasi masalah suplai air perpipaan. Jika terus seperti ini, menurutnya, target Jakarta bebas air tanah di 2030, bahkan di 2050 tidak akan tercapai.

Senada dengan Firdaus, Executive Director Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE)-UNESCO C2C, Ignasius DA Sutapa mengatakan, akibat dari sambungan perpipaan belum sampai ke seluruh wilayah Jakarta. Karena itu, pengendalian air tanah masih menjadi pekerjaan rumah. 

“Kalau masyarakat tidak mendapatkan akses berarti cari sendiri, diantaranya lewat air tanah,” jelasnya, Jumat (19/1).

Solusi Selain Pipa
Selain membangun perpipaan, solusi lainnya perlu dipertimbangkan. Menurutnya, langkah pemerintah yang ingin memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan akan memberikan dampak yang baik terhadap air tanah di Jakarta.

Dia menyampaikan, per kepalanya masyarakat di kota metropolitan seperti di Jakarta menghabiskan 200-250 liter air per hari untuk berbagai aktivitasnya. Maka, masyarakat Jakarta yang pindah ke IKN, akan mengurangi beban lingkungan yang ditanggung Jakarta, termasuk penggunaan air tanah.

Ignas menerangkan, di Jakarta idealnya memang sudah tidak menggunakan air tanah lagi. Pasalnya, sebagian besar air tanah telah tercemar bakteri Escherichia Coli (E Coli) yang disebabkan septic tank rumah warga jaraknya dekat dengan sumur atau sumber air tanah.

Untuk menyelesaikan persoalan air tanah ini, perlu juga memerhatikan sisi kondisi ekonomi masyarakat. Mendapatkan layanan air perpipaan tidak gratis, sedangkan ekonomi sebagian masyarakat terbatas. .

Di sisi lain, keberpihakan pemerintah terhadap masalah air tanah dan ketersediaan air bersih perpipaan patut disorot. Mengacu kepada anggaran, Ignas menilai, masih terbilang minim dibanding yang lain. Terlebih jika melihat secara nasional, baru 30% yang terlayani PDAM.

Lebih lanjut, Ignas menambahkan, adanya ruang terbuka hijau (RTH) juga mempengaruhi keadaan air tanah untuk menjaga siklus hidrologinya. RTH di Jakarta semestinya mencapai 30%, namun kenyataannya belum sebesar itu.

Berdasarkan data Pemprov DKI Jakarta per 2023, DKI Jakarta memiliki RTH sebesar 33,33 juta m2. Luas ini setara 5,18% dari luas wilayah DKI Jakarta secara keseluruhan.

Senior Manager Corcomm PAM Jaya, Gatra Vaganza mengakui masih banyak tugas PAM Jaya untuk menghadirkan air perpipaan agar bisa menggantikan air tanah. 

Meski begitu, dia optimis 2030 Jakarta bebas air tanah. Mulai dari suplai hingga jaringan akan dikerjakan PAM Jaya untuk air perpipaan warga. Salah satunya lewat pembangunan SPAM Jatiluhur.

”Jatiluhur kita bisa mengoptimalisasi layanan. Wilayahnya belum semua memang, tapi sudah sebagian di Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Nanti juga ada lagi proyek lain,” jelasnya, Sabtu (20/1).

Dia meyakini,  sinergi pemerintah pusat dengan Pemda DKI Jakarta bisa mengejar kekurangan. Namun, untuk membangun infrastruktur perpipaan tidak mudah, karena semuanya tertanam di bawah tanah sehingga perlu pembongkaran jalanan trotoar.

Adapun daerah yang menjadi target layanan infrastruktur air perpipaan baru itu diantaranya adalah tujuh kecamatan di Jakarta Utara dan Jakarta Timur.

Selain masalah layanan, PAM Jaya sedang berupaya menekan persentase NRW.

Lalu, Pemda DKI Jakarta telah mengeluarkan Pergub DKI Jakarta Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah yang melarang gedung dengan luas 5.000 m2 atau lebih serta gedung delapan lantai atau lebih untuk menyedot air tanah di wilayah tertentu, perihal ini PAM Jaya intens berkoordinasi dengan Pemda DKI Jakarta dan Kementerian ESDM untuk implementasinya.

Adapun kondisinya, hingga kini di wilayah Zona Bebas Air Tanah itu, PAM Jaya melihat ada indikasi gedung-gedung di wilayah itu menggunakan air tanah atau air di luar PAM Jaya. Sejak aturan itu berlaku, belum ada dampak signifikan terhadap penggunaan air perpipaan PAM Jaya.

Padahal, jika gedung di wilayah itu ingin menggunakan air PAM Jaya, ditegaskannya, PAM Jaya siap menyediakan. Untuk itu, PAM Jaya sedang ‘jemput bola’ ke gedung-gedung di wilayah Zona Bebas Air Tanah agar kebutuhan airnya menggunakan air PAM Jaya.

Di sisi rumah tangga, Gatra mengatakan memang masih ada yang enggan pindah ke air perpipaan karena selama ini sudah menggunakan air tanah puluhan tahun dan merasa tubuhnya tetap sehat. Selain itu, faktor ekonomi masyarakat juga jadi tantangan.

Karena itu, pihak PAM Jaya gencar melakukan sosialisasi. Selain itu, melakukan promo, bahkan menggratiskan pemasangan air perpipaan.

Tetapi, harus diingat bahwa membuat masyarakat beralih tak menggunakan air tanah memang tidak mudah. Contohnya, Edi Gunawan (45) pemilik indekos di Tebet yang enggan memindahkan air tanah ke air perpipaan PAM Jaya karena biaya.

“Biaya pemasangan, bulanan, belum lagi harus menghitung pemakaian kira-kira tiap kamar berapa karena disini ada sekitar 25 kamar,” ujar dia, Selasa (23/1).

Jika pemerintah memberikan insentif, dia akan mempertimbangkan untuk menggunakan air dari PAM.

Anggota DPRD DKI Jakarta mengatakan untuk mengatasi air tanah. Pergub DKI Jakarta Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah, mesti ditegakkan.

“Jadi, seberapa besar PDAM atau Pemprov DKI melakukan razia dalam hal penggunaan air tanah. Sanksinya itu sudah ada di aturannya. Bila perlu sanksinya itu pencabutan izinnya,” ujar dia, Kamis (25/1). 

Namun, dia mengingatkan, PAM Jaya mesti memastikan ketersediaan air perpipaan. Dan, ini krusial. Karena pelarangan penggunaan air tanah tak bisa dilakukan, jika aksesnya tak tersedia. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar