c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

NASIONAL

11 Oktober 2025

17:57 WIB

Mencegah Bencana Berulang Akibat Menyempitnya Sempadan Sungai

Sempadan sungai kian sempit luasnya, merosot pula manfaatnya yang hanya mendatangkan bencana. Mirisnya, banyak yang dikuasai individu dan perusahaan dengan basis legal yang jelas. 

Penulis: Gisesya Ranggawari, Aldiansyah Nurrahman

Editor: Rikando Somba

<p id="isPasted">Mencegah Bencana Berulang Akibat Menyempitnya Sempadan Sungai</p>
<p id="isPasted">Mencegah Bencana Berulang Akibat Menyempitnya Sempadan Sungai</p>

Warga berjalan di dekat bangunan rumah yang diterjang banjir di kawasan Jalan Bukit Barisan, Denpasar, Bali, Rabu (10/9/2025). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf.

JAKARTA - Banjir bandang menerjang Bali, 10 September 2025. Hujan deras dua hari meluluhlantakkan beberapa bagian Pulau Dewata. Tercatat, 18 orang meninggal akibat banjir. Debit air dari angkasa ini tak bisa ditampung dan dialiri sungai, gorong-gorong, hingga pori-pori bumi di negeri pusat pariwata Indonesia itu.  

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Bali mencatat, banjir menyebar pada 521 titik. Terbanyak, atau 279 titik di Kabupaten Karangasem, 81 titik di Kota Denpasar, 63 titik di Kabupaten Jembrana, 56 titik di Kabupaten Badung, 28 titik di Kabupaten Tabanan, 14 titik di Kabupaten Gianyar.

Karena banjir terbesar sepanjang sejarah di Pulau Dewata itulah, Sekretariat DPRD Provinsi Bali pada Kamis (9/10) mengunjungi Dinas Sumber Daya Air Jakarta. Tujuannya, untuk belajar tata kelola pencegahan dan pengelolaan banjir dari ibu kota. Sekretaris DPRD Bali, I Ketut Nayaka mengakui kalau Bali dan Jakarta memiliki topografi dan tipe banjir yang berbeda. Namun demikian, Bali perlu belajar penanganan banjir dari Jakarta.

"Apalagi, DKI Jakarta memiliki instansi tersendiri menangani banjir dengan sistem tata kelola yang berbasis digital," kata Nayaka   usai bertemu Kepala Pusat Data dan Informasi Sumber Daya Air, Dinas Sumber Daya Air Jakarta, Nugraharyadi di Jakarta, Kamis (9/10).

Nayaka menguraikan, penyebab banjir di Bali tak hanya karena intensitas hujan yang sangat tinggi. Tapi, ada faktor lain. Berkurangnya ruang tutupan kawasan hutan, hingga alih fungsi lahan menjadi sebab juga. Urbanisasi juga menjadi membuat hilangnya ruang-ruang terbuka hijau, kawasan hutan, penyempitan daerah aliran sungai pun berkontribusi.

Kepadatan penduduk membuat wilayah pemukiman meluas. Lalu, menghilangkan banyak tempat strategis untuk konservasi, daerah aliran sungai, dan ruang terbuka hijau.

Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengungkapkan senada Dia merincikan, tutupan hutan sepanjang daerah aliran sungai (DAS) di Bali berkurang akibat alih fungsi lahan sudah terjadi sejak 2015. Sejak 2015 sampai 2024, konversi lahan dari hutan menjadi non-hutan seluas 459 hektare (ha), urai dia usai rapat koordinasi banjir besar di Denpasar, Sabtu (13/9).

Dia memaparkan, daerah aliran sungai (DAS) Ayung yang di bawahnya terdapat aliran Tukad Badung, Tukad Mati, dan Tukad Singapadu yang total 49.500 ha, kini hanya tertutupi pohon sekitar 1.500 (ha). Atau, sekitar tiga persen, jauh dari ukuran ideal untuk DAS bisa menahan sungai di bawahnya dengan tutupan hutan setidaknya 30%.

Bungkusan Kresek dan Fungsi Sempadan Sungai
Wakil Wali Kota Denpasar, Kadek Agus Arya Wibawa akhir Agustus 2025 pernah menyoroti alih fungsi sempadan sungai yang diibaratkan sebagai tempat sampah. Dikutip dari Antara, dia mengungkapkan, setiap hari dinas kebersihan mengangkut 20 ton sampah dari bantaran sungai yang didominasi bungkusan kresek besar berisi sampah rumah tangga.

Ini terang menjadi masalah. Sungai  bukan lah tempat sampah. Terang, berdasarkan peraturan dan kebijakan terkait sungai yang diterbitkan Pusat Pengembangan Kompetensi Sumber Daya Air dan Pemukiman pada 2024, sempadan sungai sejatinya berfungsi sebagai ruang penyangga agar kegiatan masyarakat tidak mengganggu fungsi alami sungai dan sebaliknya.

Selain berfungsi sebagai tanggul untuk mengendalikan banjir, sempadan sungai juga berfungsi sebagai aset lingkungan hidup seperti flora dan fauna yang menjadi sumber kehidupan manusia dan ekosistem.  Fungsi lainnya itu sebagai filter alami terhadap polutan, sebagai penahan erosi dan penguat struktur tanah serta sebagai ruang hijau ekologis dan sosial.

Ironisnya, banyak sempadan sungai di wilayah perkotaan Bali yang beralih fungsi menjadi pemukiman, tempat usaha, bahkan area komersial yang mempersempit ruang alami air dan memperbesar risiko banjir.

Perubahan kondisi sempadan sungai di Bali hanya sebagian contoh kecil yang terjadi di Tanah Air. Setidaknya, ada 70 ribu batang sungai di Indonesia. Sedangkan, Direktorat Transportasi Sungai, Danau dan Penyeberangan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (2023) mencatat, jumlah sungai di Indonesia mencapai 2.397 aliran sungai dengan panjang keseluruhan 84.678 km.

Contoh lainnya diceritakan Pendiri Komunitas Masyarakat Peduli Ciliwung (Mat Peci), Usman Firdaus. Di Jakarta, kondisi sempadan sungai sudah banyak diokupasi dari hulu sampai hilir. Dari pengamatan dia, area natural sempadan sungai yang masih belum terjamah hanya sekitar 10-20% dari seluruh panjang sungai Ciliwung. Mayoritas, sempadan sungai tersebut dialihfungsikan menjadi rumah masyarakat, villa, kafe dan sedikit sisanya oleh industri.

"Sudah banyak diokupasi masyarakat banyaknya, kalau industri sih mungkin malah hampir jarang lah," ungkap Usman kepada Validnews, Rabu (8/10) di Jakarta.

Berdasarkan temuannya, sebagian besar pemanfaatan area sempadan telah memiliki sertifikat kepemilikan dari pemerintah. 

"Kok bisa dibolehin punya tanah di bibir sungai? Ada beberapa area yang kita kelola juga sudah tidak bisa diakses karena lokasinya sudah dimiliki orang, ada SHM-nya," beber Usman.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, tanah di area sempadan sungai atau bantaran sungai tidak dapat dimiliki oleh perorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha; hanya dapat dikuasai oleh negara. Karena problem ini, Usman melanjutkan, normalisasi sungai Ciliwung terhambat. Target awal rampung 2020, ditarik jauh ke 2028. Dari target normalisasi sungai Ciliwung 33,69 km, diklaim sudah selesai sekitar 17,17 km.

Penegakan hukum, lanjut dia, mesti lebih tegas, khususnya penerapan PP Nomor 38 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau. Penetapan garis batas sempadan sungai diatur dalam Permen PUPR 28 Tahun 2015. Garis sempadan di kawasan perkotaan minimal 10 meter dari tepi sungai sepanjang alur sungai. Untuk di luar kawasan perkotaan ditentukan paling sedikit 50 meter sepanjang alur sungai.

Kesulitan penertiban ini merisaukan banyak pihak. Anggota Komisi XII DPR, Ateng Sutisna menyayangkan lemahnya penegakkan hukum, membuka celah oknum nakal mudah menerbitkan SHM di area sempadan sungai. 

"Banyak masyarakat yang menolak. Ada yang direlokasi, balik lagi. Banyak masyakrat yang punya SHM di sempadan sungai. Bahkan, di laut juga ada," kata Ateng kepada Validnews, Jumat (10/10).

Ia menekankan, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) untuk menertibkan sempadan sungai bersama pemda. Penindakan juga harus diiringi dengan edukasi pada masyarakat akan pentingnya sempadan sungai bagi masyarakat luas. Setidaknya ada beberapa sungai prioritas yang menjadi tugas BBWS, yaitu sungai Citarum, Ciliwung-Cisadane, Brantas, Bengawan Solo, Musi dan Siak.

Selain itu, diperlukan juga edukasi untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya area sempadan sungai untuk mencegah banjir dan bencana alam lain. Politikus PKS ini mengingatkan sempadan sungai merupakan zona konservasi yang harus dijaga demi fungsi ekologisnya. Hal ini mengacu pada sejumlah regulasi seperti UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, dan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 17 Tahun 2021 tentang Penataan Kawasan Sempadan Sungai.

Lapisan peraturan itu secara tegas menyatakan bahwa sempadan sungai adalah bagian dari zona konservasi yang tidak bisa dikonversi selain peruntukannya. Namun, masih dibolehkan untuk aktivitas pertanian berkelanjutan atau agroforestri yang tidak merusak ekosistem secara terbatas.

Dia mendesak sertifikasi sempadan sungai yang dikelola oleh BBWS dipercepat. Agar bisa melindungi ekosistem sungai, mencegah alih fungsi lahan, mencegah konflik lahan akibat okupasi ilegal, dan dapat memberikan kepastian hukum dalam pengelolaan lahan sempadan sungai.

Marjinalisasi
Adanya penguasaan sempadan sungai, diulas juga oleh kalangan LSM. Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Rere Christianto kepada Validnews, Rabu (8/10) di Jakarta menerangkan, marjinalisasi masyarakat jadi penyebab sempadan sungai dikuasai masyarakat. 

Ihwal adanya penguasaan, disebabkan masyarakat tidak bisa mengakses lahan yang baik. Kemudian mereka terpinggirkan dan membangun kawasan-kawasan pemukiman di sekitar bantaran sungai atau sempadan sungai.

Dia menilai, memang ada pembiaran bagi masyarakat dan industri memanfaatkan sempadan sungai. Karena itu, monitoring dan asesmen terhadap bantaran sungai yang masih ada di Indonesia, agar memastikan tidak ada alih fungsi lahan. 

Kepala Bidang Pelaksanaan Jaringan Pemanfaatan Air (PJPA) Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Ciliwung-Cisadane, Efi Gusfiana dalam webinar 'Banjir yang Tidak Pernah Tuntas Teratasi dan Urgensi Mitigasinya', dikutip Jumat (10/10), menyarankan pengendalian banjir di hulu semestinya fokus pada penataan hutan dan lingkungan hingga pengelolaan sungai.

“Agar air mengalir secara alami. Lalu, di sisi tengah meningkatkan kapasitas tampung sungai. Sementara di hilir, penataan drainase dan membangun tampungan air untuk mencegah air tidak masuk ke darat,” urai dia.

Kementerian PU pernah angkat bicara terkait dengan temuan sertifikasi lahan rumah warga di sekitar wilayah sungai yang dikelola oleh BBWS. Wakil Menteri (Wamen) Kementerian PU, Diana Kusumastuti menyatakan bakal segera berkoordinasi dengan Kementerian dan Lembaga (K/L) terkait untuk membahas temuan tersebut. 

Diana menjelaskan, akan segera bertemu dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid hingga Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyani mengatasi hal itu. Dia menjelaskan, pemukiman penduduk itu berdiri di sekitar wilayah sempadan sungai, berdasarkan temuannya, banyak yang berkekuatan hukum. Masyarakat di sekitar sungai itu telah menggenggam sertifikat hak milik (SHM). Ia mengaku telah berkoordinasi dengan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka untuk segera mengeluarkan regulasi yang mampu menangani hal tersebut.

"Saya usul kepada Pak Gibran kemarin juga kepada Bupati Sukabumi ya, itu agar sempadan sungai itu kalau bisa jangan ada rumah-rumah. Kalau sempadan sungai itu kan harusnya lahan kosong, sehingga nanti kalau airnya melampias dan sebagainya, ya masih di sempadan sungai tersebut," kata Diana, beberapa waktu lalu.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, sebaliknya merespons, pihaknya juga memastikan segera mengkaji SHM yang ada di lahan sempadan sungai. 

"Akan kita kaji case by case. Kalau prosesnya tidak benar dan ditemukan ada kecurangan, akan kita batalkan, tapi kalau prosesnya benar dan memang itu haknya, akan ada pengadaan tanah, ganti rugi kerahiman," jelas Nusron.

Selanjutnya, untuk mengurangi pembangunan bangunan di daerah aliran sungai (DAS) dan meminimalisir risiko banjir serta erosi tanah, Nusron mengaku bakal segera menerbitkan sertifikat hak pengelolaan (HPL) di kawasan sempadan sungai. Rencananya, tanah di sempadan sungai akan didaftarkan atas nama pemerintah provinsi setempat di bawah BBWS Kementerian PU.

"Tanah yang ada di dalam garis sempadan sungai, itu kita tetapkan nanti menjadi tanah negara dan akan dimiliki oleh BBWS," tutur dia. 

Setelah menjadi tanah negara, publik pun berharap fungsi sungai mampu mengurangi dampak banjir. Serta memberikan manfaat lain bagi lingkungan hidup.

Penertiban sempadan ini memang krusial untuk dilakukan. Apalagi,  KLH mencatat, dari hasil pemantauan pada 812 titik regular ditambah dengan data pantauan pemerintah daerah di 5.157 titik, kondisi kualitas di beragam sungai di Indonesia memperlihatkan kenaikan kondisi. Dari 53,88 poin rata-rata nasional pada 2022 menjadi 54,59 poin pada 2023.  

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar