04 Maret 2025
18:49 WIB
Menanti Hasil Efisiensi Anggaran Di Daerah
Efisiensi anggaran memunculkan tanda tanya besar, apakah bermanfaat atau menambah mudarat sebelumnya?
Penulis: Aldiansyah Nurrahman, Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi jalan rusak yang membutuhkan anggaran rutin untuk perawatan per tahun. Antara Foto/Aditya Pradana Putra.
JAKARTA – Usai dilantik, kepala daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 langsung ditugaskan untuk menghemat anggaran. Tugas itu diperintahkan langsung Presiden Prabowo Subianto kepada menteri, kepala lembaga, dan kepala daerah.
Presiden menegaskan keseriusan itu lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran (TA) 2025. Berdasarkan beleid itu, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 900/833/SJ tentang Penyesuaian Pendapatan dan Efisiensi Belanja Daerah dalam APBD TA 2025.
Presiden Prabowo, dalam Inpres yang berlaku sejak 22 Januari 2025 itu memerintahkan kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah (pemda) untuk mengefisienkan anggaran belanja negara tahun ini hingga Rp306,69 triliun. Efisiensi anggaran tersebut berasal dari anggaran belanja kementerian/lembaga sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun.
Untuk TKD, penghematan Rp50,59 triliun mencakup dana bagi hasil (DBH) sebesar Rp13,90 triliun, dana alokasi umum (DAU) bidang pekerjaan umum sebesar Rp15,67 triliun, dana alokasi khusus (DAK) fisik sebesar Rp18,30 triliun, dan dana otonomi khusus sebesar Rp509,45 miliar. Khusus dana keistimewaan Yogyakarta, dipatok sebesar Rp200 miliar dan dana desa sebesar dua triliun rupiah.
Lalu, SE Mendagri meminta pemerintah daerah melakukan penyesuaian belanja APBD TA 2025 yang bersumber dari TKD tersebut. Juga, membatasi belanja kegiatan yang bersifat seremonial, kajian, studi banding, percetakan, publikasi, dan seminar/focus group discussion. Kemudian, pemda diminta membatasi belanja honorarium. Hingga secara spesifik, khusus pengurangan belanja perjalanan dinas pemda diminta mengurangi sampai 50%.
Lalu, ke mana hasil penghematan ditujukan? Pemerintah menetapkan, hasil penghematan akan dialihkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, sanitasi, pengendalian inflasi, stabilitas harga pangan, cadangan pangan, dan prioritas lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi.
“Semua dialihkan untuk program-program yang pro-rakyat betul. Misalnya di bidang pendidikan, sekolah-sekolah yang rusak, toilet-toilet yang tidak bagus MCK-nya, kemudian di bidang kesehatan, puskesmas, harus bagus standarisasinya,” jelas Tito, dalam keterangan tertulis, Senin (24/2).
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati seiring dengan Mendagri, mendorong kepala daerah berinovasi dalam membiayai pembangunan daerah. Ia mengatakan pemda dapat melakukan kreativitas pembiayaan, tanpa harus sepenuhnya bergantung pada APBN maupun APBD.
Ini ditegaskan dalam agenda Retreat kepala daerah di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah, pada 23 Februari 2025, Sri Mulyani di kesempatan itu menjelaskan, banyak skema pembiayaan yang dapat dikolaborasikan dengan berbagai pihak termasuk sektor swasta.
“Di banyak negara, membangun berbagai infrastruktur itu enggak selalu 100% APBD atau APBN, karena kalau mau menunggu APBD atau APBN itu bisa lama banget,” ujar Menkeu, dikutip dari Antara, Minggu (2/3).
Sebaliknya, banyak daerah kemudian menanggapi Inpres itu. Seperti yang dilakukan Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi yang menerbitkan SE Nomor 900.1.3/3258/436.2.2/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBD TA 2025 yang ditujukan kepada seluruh Kepala Perangkat Daerah (PD) hingga camat di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sebagai tindak lanjut kebijakan efisiensi pemerintah.
Kepala perangkat daerah Kota Surabaya dan camat, wajib melaksanakan efisiensi anggaran secara sistematis dan terukur. Seperti, mengurangi belanja perjalanan dinas sebesar 50%. Namun, Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) ini tegas, tak memangkas gaji dan tunjangan pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemkot Surabaya.
"Tunjangan berbasis kinerja bisa menurun jika pendapatan asli daerah (PAD) turun. Jika PAD turun, maka dinas penghasil PAD seharusnya mengalami penyesuaian dalam tambahan penghasilan pegawai (TPP)," jelas dia, mengutip laman Pemkot Surabaya, Minggu (2/3).
Sementara itu, Plt Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Papua, Alexander Kapisa memangkas anggaran daerahnya senilai Rp291 miliar. Pemangkasan ini membuat sejumlah proyek infrastruktur harus tertunda. Tapi, Pemprov Papua menegaskan layanan dasar masyarakat, seperti pendidikan, kesehatan, dan penanganan stunting, tetap menjadi prioritas.
"Belanja layanan publik akan kami jaga semaksimal mungkin,” lanjut dia, mengutip laman Pemprov Papua, Senin (3/3).

Era Kreativitas
Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Sarman Simanjorang menanggapi perintah efisiensi ini sebagai tantangan bagi kepala daerah. Mereka mesti menyesuaikan program dengan pemotongan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Terlebih, untuk mewujudkan visi-misinya saat kampanye Pilkada 2024, yang mau tak mau pasti disesuaikan dengan efisiensi anggaran.
“Para bupati harus lebih kreatif, lebih gesit menjual potensi unggulan yang ada di daerahnya. Dituntut memiliki jiwa entrepreneur,” tegas dia kepada Validnews, Kamis (27/2).
Kepala daerah, kata dia, mesti menemukan cara mendatangkan investor, baik dari luar maupun dalam negeri. Menawarkan berbagai potensi unggulan di daerah, seperti di bidang pariwisata, tambang, kelautan, kehutanan, dan lain-lain untuk dikembangkan para pelaku usaha, juga bagian dari kreatifitas itu. Namun, lanjut dia, kepala daerah juga tetap memerlukan dukungan dari pemerintah pusat dengan diberikan keleluasaan sehingga mempermudah daerah menjalin kerja sama dengan pelaku usaha. Misalnya, dengan memberikan kebijakan pada pemda bisa memaksimalkan berbagai lahan yang ada di daerah.
Sarman mengungkapkan, permasalahan pemda selama ini adalah soal perizinan dari pusat. Contohnya, dalam mengelola kawasan hutan lindung yang dimiliki Kementerian Kehutanan (Kemenhut).
“Selama ini kadang-kadang para bupati takut-takut, belum apa-apa nanti dicurigai. Jadi ini perlu suatu payung kebijakan dari pemerintah pusat, sehingga kalau sampai investor masuk ke sana, berbagai lahan-lahan yang saat ini tidak produktif menjadi produktif,” lanjutnya.
Dia meyakini, payung kebijakan itu diperlukan. Sehingga, cara ini bisa membuat daerah tak bergantung terhadap anggaran pusat. Serta, bisa menggerakkan ekonomi di daerah dan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Dia tak menampik ada dampak dari kebijakan efisiensi ini di daerah. Paling terdampak adalah daerah dengan PAD rendah, terutama daerah terluar di Indonesia Timur. Agar potensi ini bisa dimaksimalkan, Apkasi mendorong pemerintah pusat untuk melakukan bimbingan ke pemda. Di sisi lain, dia mengingatkan, meski ada efisiensi anggaran, pelayanan publik harus tetap menjadi yang utama di daerah.
“Pelayanan publik tetap harus dikedepankan dan tidak boleh berkurang kualitasnya,” lanjut dia.
Efisiensi Dan Desentralisasi
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman Suparman mengamini, efisiensi pada pos-pos tertentu seperti perjalanan dinas dan alat tulis kantor memang diperlukan. Namun, pemangkasan TKD sebesar Rp50,59 triliun merupakan angka yang signifikan. Herman meyakini, pemangkasan akan memengaruhi belanja pembangunan di daerah.
“Sangat mengganggu daerah, sehingga bukan tidak mungkin selama setahun ke depan banyak infrastruktur di daerah yang tidak diperhatikan dengan baik. Khususnya untuk daerah-daerah yang memang mengandalkan TKD atau belum mandiri secara fiskal,” kata Herman pada Rabu (26/2).
Di sisi lain, kebijakan efisiensi ini menjadi pembelajaran bagi pemda agar betul-betul menerapkan prinsip money follow program. Dengan keterbatasan fiskal, dana bisa optimal digunakan untuk mendukung program prioritas. Kemudian, menjadi pembelajaran pemda untuk kreatif meningkatkan PAD, baik dari pendapatan retribusi daerah atau dari pendapatan asli daerah yang lain.
KPPOD menilai, selayaknya kebijakan efisiensi dievaluasi, mengingat pendekatan kebijakan dari pemerintah pusat ini tidak melibatkan pemda terlebih dahulu. Ke depannya, dia berharap pembuatan kebijakan serupa harus melibatkan pemda terkait kebijakan efisiensi ini.
Sementara itu, Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi mengatakan efisiensi dapat membuat kerja-kerja di daerah tak efektif, dampaknya pencapaian pertumbuhan ekonomi nasional itu juga akan tersendat.
“Termasuk di dalamnya juga soal inflasi dan pengendalian harga. Karena itu satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan untuk bicara tentang angka pertumbuhan ekonomi,” katanya, Jumat (28/2).
Selain itu, kata dia, pelayanan publik utamanya akan berimbas dari efisiensi. Agenda-agenda nasional yang beririsan seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan akan ikut terimbas.
Badiul mengkhawatirkan, efisiensi anggaran berpotensi besar buat pemda untuk menarik utang. Sebab pemda ketika kebingungan mencari dana, maka cara paling gampang adalah dengan berutang ke luar negeri. Tak hanya itu, jika efisiensi tak diawasi secara baik, potensi pemda memanipulasi kebocoran anggaran agar terlihat menghemat juga tinggi.
Dia melihat diterbitkannya Inpres 1 Tahun 2025 bertujuan ingin mengurangi desentralisasi. Akan banyak agenda yang selama ini didelegasikan ke pemda dilakukan oleh pemerintah pusat.
“Agenda-agenda ini yang saya kira akan menjadi problem bagi pemda, karena kecenderungan sentralistik ini akan semakin kuat dan pemda hanya akan mengerjakan hal-hal yang skalanya betul-betul lokal, betul-betul daerah,” paparnya.
Di satu sisi memang ada masalah selama ini pemda tidak bisa memenuhi target serapan APBD yang diberikan. Hal ini, menurut Badiul, bisa jadi membuat pemerintah pusat merasa perlu mengelola dana yang selama ini diposkan untuk pemda.
Namun, meski capaian dari pemda tidak sesuai ekspektasi pemerintah pusat, adalah tidak adil jika sampai ini digeneralisir bahwa pemda dianggap gagal, sehingga pantas melakukan efisiensi.
“Jangan diabaikan, pemda itu punya agenda lokal yang itu juga jadi prioritas. Jangan sampai karena pemda fokus menjalankan instruksi pusat, justru kepentingan daerah yang bersinggungan langsung penerima manfaat masyarakat itu terabaikan,” pesan dia.
Badiul meyakini kebijakan efisiensi akan membuat Kemendagri dan Kemenkeu lebih mengontrol daerah. Hal ini akan mengurangi fleksibilitas fiskal daerah.
"Di satu sisi, niatnya baik untuk mengurangi pemborosan. Namun, di sisi lain, jumlah kabinet yang sangat besar justru menunjukkan ketidakefisienan. Undang-Undang Kementerian Negara memang mengizinkan hingga 46 kementerian, tetapi jumlah menteri dan pejabat setingkat menteri saat ini melebihi 100, yang jelas berlawanan dengan prinsip efisiensi itu sendiri," kritiknya, pada Jumat, (21/2).
Pertentangan
Dari kalangan akademisi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Aidul Fitriciada Azhari menguraikan penafisirannya soal efisiensi anggaran. Dia menilai, ada sejumlah pertentangan dari kebijakan pengetatan itu. Seperti dinyatakannya dari laman UMS, Aidul mengutarakan, kebijakan efisiensi anggaran juga berdampak langsung pada sektor pelayanan publik yang vital, seperti, pendidikan dan kesehatan.
Menurut dia, UUD 1945 jelas menyebutkan, anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN atau APBD. Pemotongan ini bertentangan dengan konstitusi, juga dengan tujuan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kesejahteraan umum, lanjut dia.
Dia juga melayangkan kritik, alasan efisiensi ini untuk alokasi dana ke proyek-proyek strategis, salah satunya pendirian Danantara, sebuah holding company untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurut dia, model seperti ini pernah bermasalah di negara lain, seperti skandal 1 Malaysia Development Berhad (1MDB) di Malaysia.
“Bagaimana independensi dan efektivitas Danantara ini? Apakah akan benar-benar memperkuat BUMN, atau justru membuka celah baru bagi korupsi di lingkungan politik yang belum bersih?” ungkapnya.
Selain dampak terhadap pendidikan dan kesehatan, kebijakan efisiensi juga disebutnya akan menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor, terutama tenaga honorer dan pekerja di industri yang bergantung pada anggaran negara.
“Banyak hotel dan sektor jasa lainnya yang terdampak karena pemangkasan perjalanan dinas dan proyek pemerintah. Ini berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi di daerah yang sangat bergantung pada dana APBN dan APBD,” sebut dia.
Di sisi lain, alokasi anggaran untuk sektor pertahanan, kepolisian, dan intelijen tidak mengalami pemotongan yang signifikan. Hal ini memunculkan pertanyaan publik mengenai prioritas pemerintah dalam pengelolaan keuangan negara. Dia menilai, ketika pendidikan dan kesehatan tidak terjamin, ekonomi melemah, serta sistem politik masih korup, munculnya gerakan mahasiswa, #IndonesiaGelap, harusnya menjadi sinyal kuat bagi pemerintah untuk lebih bijak dalam menjalankan kebijakan efisiensi.
Dengan semakin meningkatnya kritik terhadap kebijakan ini, pemerintah diharapkan dapat memberikan solusi konkret yang tidak hanya berbasis efisiensi angka, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan rakyat dan keberlanjutan pembangunan nasional.