c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

10 Desember 2024

19:30 WIB

Mempertanyakan Efektivitas Peran Pendamping Desa 

Pemerintah mengakui peran pendamping desa belum menunjukkan hasil baik. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas kerja mereka.

Penulis: James Fernando

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p id="isPasted">Mempertanyakan Efektivitas Peran Pendamping Desa&nbsp;</p>
<p id="isPasted">Mempertanyakan Efektivitas Peran Pendamping Desa&nbsp;</p>

Ilustrasi warga desa menyelesaikan pembuatan tembok pelindung batas badan jalan dengan anggaran dana desa di Aceh Barat, Aceh. Antara Foto/Syifa Yulinnas.

JAKARTA – Hampir satu dasawarsa sudah Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa berlaku, dan kemudian direvisi. Meski kemudian diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2024, kedua beleid itu tetap mempertahankan peran pendamping desa. Padahal, banyak kritik akan peran pendamping desa bagi pembangunan desa.

Pokok kritiknya adalah sejauh mana peran pendamping desa. Banyak pihak juga menilai, pendamping ini kurang berperan memajukan desa.

“Memang, pendamping desa sejauh ini belum menunjukkan kinerja yang baik,” ujar Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto menjawab Validnews, Senin (9/12).

Berdasar penilaian, Mendes Yandri berjanji akan mengevaluasi peran pendamping desa. Janji itu cukup berdasar, karena pemerintah telah menggelontorkan dana besar untuk pendamping desa.  

Sebelum lengser, Mendes 2019-2024, Abdul Halim Iskandar mengutarakan, anggaran untuk kementerian pada 2025 terserap untuk membayar gaji sekitar 34 ribu pendamping desa. 

“Kemendes akan mendapat anggaran Rp2,1 triliun pada 2025. Namun, Rp1,4 triliun digunakan untuk membayar pendamping desa,” terangnya saat rapat kerja dengan Komisi V DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (27/8).

Yandri mengutarakan, evaluasi program ini akan dilakukan secara jernih dan rasional, menggali apakah para pendamping desa ini kinerjanya sudah sesuai. Mendes dari PAN itu memastikan, para pendamping desa yang tidak memenuhi standar akan dipecat.

"Kalau yang baik akan diteruskan. Kalau enggak baik kenapa harus dipertahankan?" tegas Yandri.

Yandri menerangkan, terhadap peran pendamping desa, dia sudah meminta jajarannya untuk terus melakukan supervisi dan melakukan pengawasan ketat kinerja mereka, juga aparat desa mengelola dana desa. Untuk memaksimalkan pengawasan ini, Yandri mencanangkan membuat suatu platform pengawasan 75.265 desa di Indonesia. 

Melalui platform itu, pemerintah pusat bisa langsung memantau program-program pemerintah desa. Sekaligus, mengawasi langsung pemanfaatan dana desa.

"Digitalisasi untuk mempercepat dan mempermudah kami mengawasi penggunaan dana desa yang selama ini enggak bisa dilakukan," lanjut Yandri.

Sejalan dengan itu, Yandri memastikan akan meningkatkan standar kompetensi bagi para pendamping desa. Pendamping direkrut Kemendes per tahun dan dikontrak selama setahun. Mendes menjamin, rekrutmen akan dilakukan secara terbuka bagi seluruh warga.

Kualitas Tak Memadai
Sejatinya, pendamping desa adalah sosok penting dalam program pendampingan desa, seperti diatur dalam UU Desa. Pendamping desa punya banyak peran yang semuanya mengarah pada mendampingi pemerintah desa dan masyarakat desa untuk memajukan desa masing-masing, mulai dari mencari potensi, membuat perencanaan, serta mengawal pengelolaan dana desa. Pendamping desa adalah pihak tempat bertanya buat aparat desa dalam membuat program kerja dan melaksanakannya.

Namun, masih banyak yang menganggap pendamping desa belum menunjukkan kinerja terbaiknya. Pendamping desa dikritik, tidak memiliki kemampuan khusus untuk memberikan masukan kepada kepala desa saat membuat program. Mirisnya, banyak yang menilai para pendamping desa yang ada saat ini justru memiliki kemampuan di bawah kepala daerah. 

Padahal, tempat bertanya dan mitra berdiskusi, seharusnya para pendamping desa ini harus memiliki kualitas dan kemampuan yang jauh di atas para kepala desa.

Ketua Umum DPP Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (APDESI), Arifin Abdul Majid turut menyampaikan kekecewaan dengan keberadaan para pendamping desa ini.  Berdasarkan catatan dalam rapat APDESI,  dia menyatakan 70% dari total pendamping desa, tidak memiliki kemampuan seperti yang diharapkan.

Mereka sulit untuk berkomunikasi dengan para kepala desa mulai dari membuat program pembangunan dan tata kelola desa. Ini dinilai sebagai salah satu penyebab pemerintah pusat masih menemukan banyak desa yang masih berstatus tertinggal.

Menurut dia, dalam menjalankan tugasnya, pendamping desa harus berjalan seirama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Sebab, fungsi keduanya hampir sama, mengawasi pemanfaatan anggaran dana desa.  

“Tetapi, pendamping desa dan BPD seakan berjalan sendiri-sendiri. Jangankan berkoordinasi, komunikasi program dari pemerintah desa pun tidak,” urai Arifin Abdul kepada Validnews, Senin (9/12).

Kondisi seperti itu, lanjut dia, menunjukkan pemerintah belum memiliki persiapan matang membentuk program pendamping desa, mulai dari rekrutmen. Pendamping desa hasil rekrutmen malah menciptakan jurang dengan pemerintah desa.

APDESI juga mendata cukup rinci, pendamping desa yang memiliki kemampuan di bawah kepala desa. Jumlahnya sekitar 50 ribu orang sehingga kerjanya tidak maksimal.  Padahal,  desa membutuhkan pendamping desa sebagai modulasi bagi desa. Modulasi, sambungnya, adalah pendamping desa yang memberikan pencerahan, pahamanan soal bagaimana membuat tata kelola pemerintahan, keuangan hingga pembangunan dengan baik.

Misalnya, dalam rangka musyawarah desa, pendamping dan BPD harus bersama ikut menyusun perencanaan. Tapi, pendamping desa malah membiarkan kepala desa dan jajarannya bekerja sendiri-sendiri dan berdampak pada banyak desa yang belum menunjukkan kemajuan yang signifikan.

Temuan lain, pendamping desa gagal mengawal pemanfaatan dana desa. Justru, pendamping desa kebingungan untuk melihat program prioritas yang harus dilakukan kepala desa.

APDESI pun berharap, rekrutmen pendamping desa yang dilakukan pemerintah pusat saat ini lebih baik dari sebelumnya. Para pendamping desa harus lepas dari nuansa politik atau kepentingan pihak tertentu.

"Kualitas pendamping desa harus diperbaiki. Selain itu, standar pendidikanya juga harus diperhatikan jangan sampai di bawah kepala desa karena kemampuannya nanti malah di bawah dan seperti tidak bekerja," saran Arifin Abdul.

Berkaca dari Indeks
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman sebaliknya menilai,ada korelasi peran pendamping desa dengan kemajuan desa, jika diukur dengan indeks desa membangun. Dari data itu menunjukkan jumlah desa maju makin meningkat.

Dia mengutip data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) pada 2023. Disebutkan,  jumlah desa dengan status sangat tertinggal turun dari 13.453 desa menjadi 4.850 desa. Sedangkan, jumlah desa tertinggal berkurang dari 33.592 desa menjadi 7.154 desa.

Sementara itu, jumlah desa berkembang bertambah 5.884 desa menjadi 28.766 desa, desa maju naik dari 19.427 desa menjadi 23.035 desa, dan desa mandiri bertambah dari 11.282 desa menjadi 11.456 desa.

Akan tetapi, Herman menyebut, indeks desa membangun itu hanya menilai dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Tidak pada tata kelola dan kualitas hidup masyarakat desa. Artinya, dalam sepuluh tahun terakhir pendamping desa belum mampu untuk membantu pemerintah desa untuk membantu pemerintah desa untuk membuat sistem tata kelola yang baik. 

Herman menyatakan, berdasarkan pengamatan KPPOD, ada desa tak berkembang karena salah satu sebabnya adalah absennya pendamping desa. Padahal, pendamping desa terlibat langsung dalam proses perencanaan program dalam Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrembang) Desa hingga penyelenggaraan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Desa. Lalu, aktif monitor implementasi seluruh kegiatan desa. 

Oleh sebab itu, KPPOD menyarankan, harus ada perbaikan secara menyeluruh pendamping desa. Mulai dari proses rekrutmen dan mengawasi kinerja mereka tetap profesional dan punya integritas.

Sejauh ini, para pendamping desa masih berkutat pada urusan administratif, sehingga perannya sebagai pemberdaya terabaikan. Akibatnya, beberapa permasalahan yang muncul di desa adalah pemerintah desa masih miskin ide dalam merencanakan pembangunan. Kemudian, perencanaan pembangunan desa belum inklusif; pembangunan desa belum memperlihatkan sinergi antarsektor; dan adanya ketidakselarasan antara ketersediaan pendamping dan kebutuhan desa.

"Tentang maju atau tidak desa itu bukan karena faktor tunggal pendamping desa. Tapi pandangan kami pendamping desa itu masih sangat diperlukan," kata Herman, kepada Validnews, Senin (9/12).

Wakil Ketua Komisi V, Ridwan Bae pun memiliki penilaian serupa tentang pendamping desa ini. Dewan mengapresiasi niatan pemerintah untuk membangun desa melalui para pendamping desa ini. Hanya saja, pemerintah pusat tidak bisa lepas tangan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh para pendamping desa. Sebab, faktanya banyak kalangan yang mengkritik soal kinerja pendamping desa ini. Utamanya, soal proses rekrutmen.

Dewan kerap mendapatkan laporan soal pemilihan pendamping desa yang terkesan pilih kasih. Mereka terpilih karena faktor kedekatan bukan kemampuan.

Akibatnya, pendamping desa tidak mampu mengarahkan kepala desa untuk memaksimalkan penggunaan dana desa. 

Berdasarkan catatannya, selama beberapa tahun belakangan, pemerintah pusat telah mengucurkan dana desa sekitar Rp600 triliun.Namun, banyak desa belum memanfaatkan dana desa itu secara optimal. Sebab, peran pendamping desa yang seharusnya menjadi penggerak utama dalam pengelolaan dana desa, kerap tidak maksimal.

Ridwan pun telah membahas persoalan pendamping desa ini dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto. Dalam rapat itu, dewan dengan tegas meminta Menteri Yandri untuk melakukan evaluasi soal pendamping desa ini.

Dewan tak ingin kinerja pendamping desa di Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto sama dengan sebelumnya. Dewan meminta ada perbaikan sistem dan peningkatan kompetensi para pendamping desa.

"Pendamping desa harus memiliki kemampuan yang lebih baik dari kepala desa agar memberikan arahan yang efektif. Tapi bagaimana kalau kemampuan pendamping desa itu di bawah kepala desa, itu yang sulit," kata Ridwan, kepada Validnews, Senin (9/12).

Menurut Ridwan, solusi untuk masalah ini adalah dengan menetapkan standar rekrutmen yang jelas dan keta. Pendamping desa harus memiliki pengalaman dan keahlian yang memadai."Jadi jangan hanya menerima gaji, tapi fungsi pendamping desa tidak berjalan," tambah Ridwan. 

Yang juga perlu para pendamping desa harusnya mendapatkan pelatihan intensif dengan periode tertentu. Dari situ, pemerintah bisa menilai apakah calon pendamping desa itu memenuhi standar atau tidak. Mereka yang mengikuti pelatihan dan terlihat cemerlang, harusnya bisa menjadi kawan diskusi dan tempat bertanya yang baik bagi aparat desa membangun wilayahnya.

 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar