12 April 2025
17:15 WIB
Membuka Pintu Arab Saudi Bagi Pencari Rezeki
Sejumlah pertimbangan lahir untuk cabut moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Korban PHK dan pengangguran menguatkannya.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Menteri P2MI, Abdul Kadir Karding saat menjemput 146 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang dideportasi Pemerintah Arab Saudi di Bandara Soetta, 24 Januari 2025. Humas P2MI.
JAKARTA – Pemerintah berencana mencabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Arab Saudi. Moratorium dinilai tak efektif. Saban tahun, lebih dari 25.000 warga Indonesia bekerja ke Arab Saudi secara ilegal belakangan ini. Dengan mencabut moratorium, di sisi lain pemerintah berpeluang menerima devisa sebesar Rp31 triliun per tahun.
Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding mengatakan, sudah berkomunikasi dengan pemerintah Arab Saudi terkait hal ini. Negara penghasil minyak itu menjanjikan sekitar 600.000 lapangan kerja bagi PMI.
Warga Indonesia yang dikirim, terdiri dari 400.000 permintaan pekerja rumah tangga dan 200.000-250.000 permintaan pekerja sektor formal. Para PMI juga dijanjikan mendapat gaji minimal sebesar 1.500 riyal saudi.
Saat ini, rencana pencabutan moratorium sudah direstui Presiden Prabowo Subianto. Kementerian P2MI (KP2MI) juga sedang menyiapkan nota kesepahaman yang akan ditandatangani oleh Indonesia dan Arab Saudi dalam waktu dekat.
Ada kecurigaan, moratorium ini merupakan jalan lain pemerintah mengatasi situasi maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK). Banyak pihak menyatakan kecuriggaan ini. Tercatat, pada Februari 2025 saja, ada 18.610 pekerja terkena PHK. Kasus PHK paling banyak terjadi di sektor manufaktur dan jumlahnya naik lima kali lipat dibanding Januari 2025.
Bahkan, PHK tahun 2024 meningkat dibandingkan tahun 2023. Menurut data Kemenaker, pada periode Januari-Desember 2023, ada 64.855 kasus PHK.
Pada periode yang sama tahun 2024, sudah ada sekitar 80.000 orang tenaga kerja yang ter-PHK. Padahal, proyeksi tenaga kerja menunjukkan peningkatan kebutuhan sebanyak 13,21 juta orang selama periode 2025–2029, dengan rata-rata pertumbuhan 1,79% per tahun.
Lalu, data BPS 2024 menunjukkan, jumlah pengangguran pada Agustus 2024 mencapai 7,47 juta orang. Dengan kata lain, meningkat dari 7,20 juta orang pada Februari 2024.
Penyumbang terbesar pengangguran adalah lulusan SMK, yakni 9,01%, disusul SMA sebesar 7,05%. Sementara itu, angka pengangguran dari kalangan sarjana (S1) menyumbang 5,25%, disusul diploma sejumlah 4,83% dan SMP sejumlah 4,11%.

Ada Perbaikan
Saat berada di kantor KP2MI, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Jumat (11/4), Karding menegaskan pencabutan moratorium dilakukan agar PMI terdata. Hal ini penting karena pendataan membuat negara bisa segera membantu PMI ketika bermasalah. Sebaliknya, PMI yang tidak terdata kerap harus menempuh jalan viral untuk meminta pertolongan negara.
Karding juga berkata, pencabutan moratorium akan dilakukan dengan nota kesepahaman yang ketat antara kedua negara. Di dalamnya, diatur soal gaji, lembur, pelindungan kesehatan, pelindungan ketenagakerjaan, pelindungan jiwa, pemberi kerja, hingga komite penyelesaian perselisihan kerja. Cara ini dia yakini membuat PMI di Arab Saudi lebih nyaman mencari rezeki.
“Di Arab itu oleh MBS (Mohammed bin Salman), rajanya sekarang, sudah ada peraturan khusus soal TPPO, sudah lebih maju sistem dan regulasi ketenagakerjaannya. Cara mereka tidak seperti dulu,” klaim Karding.
Dia melanjutkan, pencabutan moratorium dan penyusunan nota kesepahaman masih dalam proses. Rencana ini tidak dilakukan tergesa-gesa karena ada banyak pihak yang perlu dilibatkan. Di antaranya, Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Kemenko PM), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), DPR, dan masyarakat sipil.
“Nanti setuju tidak setuju ya kita lihat di ujungnya seperti apa,” tambah Karding.
Amanat UU
Adapun moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi, tertuang dalam Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmenaker) Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah. Keputusan itu keluar mempertimbangkan lemahnya jaminan perlindungan dan banyaknya masalah yang menimpa PMI di kawasan Timur Tengah.
Selain Arab Saudi, Kepmenaker juga melarang penempatan PMI ke 18 negara Timur Tengah lainnya. Beberapa di antaranya Irak, Libya, Mesir, Palestina, Sudan, Uni Emirat Arab, dan Yordania.
Untuk penempatan tenaga kerja, Indonesia sudah memiliki payung hukum, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan PMI (PPMI).
Tertulis pada Pasal 31, ada tiga syarat yang harus dipenuhi negara tujuan. Pertama, mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi tenaga kerja asing. Kedua, telah memiliki perjanjian tertulis dengan pemerintah Indonesia. Ketiga, memiliki sistem jaminan sosial atau asuransi yang melindungi pekerja asing.
Sepanjang pengetahuan Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, Arab Saudi dia nilai sama sekali belum memenuhi ketiga syarat itu. Dia menyebut, negara itu tidak memiliki UU khusus mengenai pekerja migran dan tidak mengakui pekerja rumah tangga sebagai pekerja formal.
Terkait penjaminan sosial, Arab Saudi masih menerapkan outsourcing pekerja migran pada satu lembaga yang bukan negara. Mereka belum mau melakukan penempatan pekerja migran dengan skema government-to-government (G-to-G) yang lebih memberikan pelindungan terhadap pekerja migran. Selain itu, belum ada penandatanganan nota kesepahaman penempatan pekerja migran antara Indonesia dan Arab Saudi.
“Ini masalah-masalah yang sampai sekarang juga enggak pernah diperjuangkan, didesakkan, oleh Indonesia, baik secara bilateral maupun secara multilateral,” terang Wahyu kepada Validnews, Jumat (11/4).
Dia menguraikan, minimnya pelindungan bagi PMI di Arab Saudi juga tercermin dari banyaknya kasus ketenagakerjaan yang menjerat mereka. Data Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah menunjukkan, pada 2023 mereka menangani 472 kasus ketenagakerjaan yang menjerat PMI di Arab Saudi. Ini mencakup PMI tidak dipulangkan majikan (over contract), pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, gaji tidak dibayar, dan pemulangan PMI melalui otoritas setempat.
Tak hanya itu, minimnya perlindungan juga terlihat dari kasus-kasus PMI yang terjerat hukuman mati di Arab Saudi. Salah satunya menimpa Tuti Tursilawati yang dieksekusi pada 2018 silam tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia. Tuti didakwa membunuh majikannya, tapi keluarga menyebut pembunuhan dilakukan karena majikan Tuti melakukan pelecehan seksual kepadanya.
“Menurut saya kita tidak boleh memfavoritkan lagi Saudi Arabia untuk penempatan pekerja migran,” tambah Wahyu.
Anggota Komisi IX DPR, Netty Prasetiyani Aher berpandangan sama. Dia menyoroti berbagai kasus kekerasan yang menimpa PMI di Arab Saudi. Kekerasan ini mencakup penyiksaan fisik dan psikologis, pemerkosaan, hamil akibat kekerasan seksual, berganti majikan, bekerja untuk dua hingga tiga keluarga, hingga keterlambatan gaji. Tanpa evaluasi menyeluruh, pencabutan moratorium justru akan membuka kembali celah eksploitasi ini.
Dia juga menyebut, hingga penutupan masa persidangan II Tahun Sidang 2024-2025 pada Maret lalu, belum ada rapat resmi antara KP2MI dengan DPR untuk membahas kesiapan dan mitigasi risiko dari pencabutan moratorium itu.
Netty menilai rencana pencabutan moratorium perlu diawali dengan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelindungan PMI. Pasalnya, masih banyak masalah yang belum teratasi dalam mekanisme penempatan PMI saat ini. Langkah ini penting guna memastikan PMI mendapatkan hak mereka secara penuh dan bekerja dalam kondisi yang layak.
Politisi PKS itu juga menekankan, pemerintah perlu memastikan ada perjanjian bilateral yang kuat dengan Arab Saudi, sistem pengawasan yang ketat, dan mekanisme penanganan masalah yang cepat serta efektif.
“Jika ada potensi risiko tinggi bagi pekerja, maka tidak perlu buru-buru mencabut moratorium hingga sistem pelindungan benar-benar siap,” pesan Netty melalui keterangan yang diterima, Jumat (11/4).
Peta Jalan Pelindungan
Sementara itu, Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran, Savitri Wisnuwardhani berkata, hal yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah membuat peta jalan pelindungan PMI dengan menjalankan UU PPMI hingga ke tingkat daerah. Sebab, tanpa ada mekanisme pelindungan yang jelas, maka angka PMI yang menjadi korban perdagangan orang di Arab Saudi akan tetap tinggi, baik moratorium dicabut atau tetap berlaku.
Menurut dia, sejak moratorium berlaku pemerintah sebenarnya sudah melakukan perbaikan dengan membuat Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) yang diujicoba mulai pertengahan 2023. Ini merupakan mekanisme penempatan PMI ke Arab Saudi secara resmi dan terintegrasi antara sistem ketenagakerjaan Indonesia dan Arab Saudi.
Savitri pun menegaskan, saat ini pemerintah harus menginformasikan kepada publik jika ada evaluasi terkait SPSK. Jika tidak, evaluasi SPSK bisa didiskusikan bersama dengan organisasi PMI di Arab Saudi. Di samping itu, pemerintah perlu memperkuat tata kelola perlindungan PMI dengan melibatkan organisasi PMI secara sungguh-sungguh (meaningful participation).
Sistem iya g digadang-gadang mampu memberikan pelindungan yang lebih baik bagi PMI dinilai masih meragukan. Hingga kini, Savitri melihat tidak ada kejelasan terkait evaluasi SPSK.
“Tanpa perbaikan, pembukaan (moratorium) ini mempertegas keinginan pemerintah untuk menempatkan PMI sebanyak-banyaknya hanya untuk mengejar devisa, tanpa melihat risiko migrasi yang dialami oleh PMI termasuk kekerasan,” kata Savitri kepada Validnews, Rabu (9/4).