28 November 2024
20:30 WIB
Memadamkan Polemik Bansos Dengan Pemadanan Data
Pemadanan data kemiskinan dijanjikan rampung pada Desember 2024. Akan muncul polemik baru usai dilakukan?
Penulis: Aldiansyah Nurrahman, Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi warga penerima manfaat mengantre untuk penyaluran bantuan sosial (Bansos) pangan cadangan beras pemerintah di Kantor Pos Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu,. Antara Foto/Novrian Arbi
JAKARTA – Sepanjang 2024, ada beberapa program bantuan sosial (bansos) dari pemerintah pusat. Uniknya, dari beragam program itu, penerima manfaatnya tak seragam jumlahnya. Satu masalahnya, yakni data kemiskinan.
Bansos seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) El Nino berupa dana bantuan tunai sebesar Rp400 ribu yang berikan kepada 18,8 juta keluarga penerima manfaat (KPM) untuk mengatasi dampak kenaikan harga kebutuhan pokok akibat dampak iklim El Nino.
Kemudian, ada Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) berupa bantuan tunai Rp200 ribu per bulan diberikan setiap dua bulan kepada 15,6 juta KPM.
Selanjutnya, ada juga Program Keluarga Harapan (PKH). Bantuan diberikan dalam empat tahap setahun dengan nilai bantuan beragam, seperti, Rp750 ribu per tahap untuk balita dan ibu hamil, Rp900 ribu-Rp2 juta per tahun untuk siswa SD hingga SMA, dan Rp600 ribu per tahap untuk lansia dan penyandang disabilitas. Bantuan diberikan kepada 10 juta KPM. Lalu, ada Bantuan Pangan Beras sebesar 10 kilogram per bulan yang diberikan kepada 20 juta KPM.
Selain menyalurkan bansos pada KPM, ada pula Program Indonesia Pintar (PIP) untuk membantu 17 juta siswa dengan bantuan tunai dari pemerintah.
Perbedaan KPM penerima beragam bansos ini bisa jadi, juga disebabkan masalah pendataan. Ya, masalah disebabkan data kemiskinan atau sosio ekonomi penduduk tersebar di berbagai kementerian/lembaga. Karenanya, integrasi data itu dilakukan agar penyaluran bansos dan upaya penurunan angka kemiskinan lebih akurat.
Dengan data tunggal, seluruh kementerian/lembaga merujuk pada data yang sama dalam menjalankan program mereka.
"Diharapkan Desember ini (data tunggal) sudah selesai lah. Diharapkan, paling tidak," ujar Menteri Sosial (Mensos), Saifullah Yusuf, setelah bertemu dengan Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (26/11), seperti dikutip dari Antara.
Perihal bansos ini juga, Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar mengutarakan, pemerintah ingin bantuan pelindungan sosial tepat sasaran dan sesuai dengan perkembangan. Baik yang miskin ekstrem, miskin maupun rentan miskin, semestinya tercakup. Menurut Cak Imin, akan ada paradigma baru dalam pemberian bantuan sosial.
“Penerima bantuan pelindungan sosial menjadi berdaya. Ibaratnya kenaikan kelas dari miskin ekstrim, miskin, berdaya, lalu mandiri," urainya.
Keduanya juga menjelaskan secara terpisah, pemerintah mendorong program-program pemberdayaan, mulai pelatihan akses permodalan, penciptaan pasar, peningkatan kelas UMKM, peningkatan kelas para pelaku ekonomi masyarakat, terutama ketersediaan bahan baku produksi. Semua elemen terkait, utamanya kementerian menjalankan program ini.

Tak Ingin Dianggap Miskin
Tetapi, selama ini, kementerian/lembaga memang mempunyai beragam basis data sosio ekonomi penduduk yang berbeda. Sebut saja Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) milik Kemensos, data Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) milik Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pusat Statistik (BPS), data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang dikelola oleh Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (KemenkoPMK), dan data sejenis yang dimiliki PT PLN.
Kini, berbagai basis data yang ada dikonsolidasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk menjadi data tunggal. Pemadanan data ini juga melibatkan data yang dimiliki pemerintah daerah.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, data tunggal kemiskinan nantinya juga dapat digunakan untuk melihat karakteristik orang miskin. Jika orang miskin itu berada dalam usia kerja, bantuan yang diberikan difokuskan pada pemberian kerja.
"Nanti akan digunakan oleh Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin), Budiman Sudjatmiko dan Pak Mensos untuk pensasaran programnya akan lebih diarahkan bagaimana agar dia bisa bekerja dan memperoleh pendapatan yang lebih kaya," ujar Amalia di Jakarta, Jumat (22/11).
Adanya berbagai basis data yang berbeda membuat kemiskinan didefinisikan secara berbeda pula. Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pengelolaan DTKS, misalnya, mengartikan fakir miskin sebagai orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian, atau punya mata pencaharian, tapi tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi dirinya atau keluarganya.
Sementara itu, menurut dokumen Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2024, BPS mengukur kemiskinan dari kemampuan memenuhi kebutuhan dasar. Dengan pendekatan ini, kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar yang diukur menurut Garis Kemiskinan. Ini meliputi kebutuhan minimum untuk makanan, perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan.
Di sisi lain, data P3KE membagi penduduk ke dalam sepuluh desil berdasarkan tingkat kesejahteraannya. Desil 1 merupakan keluarga dalam kelompok 10% tingkat kesejahteraan terendah, desil 2 merupakan keluarga dalam kelompok 10-20% tingkat kesejahteraan terendah, dan seterusnya.
Dokumen Kumpulan Tanya Jawab Umum Data P3KE 2023 menjelaskan, menentukan kemiskinan dari data desil P3KE perlu berkaca pada garis kemiskinan terlebih dahulu. Namun, secara sederhana desil 1 dapat diartikan sebagai kelompok miskin ekstrem dan miskin. Sedangkan, desil 2-3 masuk dalam kategori rentan miskin.
Tak hanya definisi kemiskinan, data penduduk miskin juga berbeda-beda. Data BPS mencatat persentase penduduk miskin per Maret 2024 mencapai 9,03% atau 25,2 juta orang. Sementara itu, data P3KE 2024 mencatat jumlah individu yang masuk dalam desil 1 mencapai 31,3 juta orang.
Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah menukas, data kemiskinan yang terpisah-pisah di berbagai kementerian/lembaga membuat agenda pengentasan kemiskinan menemui banyak kendala.
Salah satu yang utama, bantuan menjadi tidak tepat sasaran, baik itu bantuan sosial, bantuan langsung tunai, hingga bantuan pendidikan.
"Kita enggak punya data realtime mengenai berapa sih sebenarnya orang miskin di Indonesia itu. Kemudian, kriteria miskin juga harusnya kan terbuka," ujar Trubus kepada Validnews, Senin (25/11).
Dia menyerukan agar pemerintah lebih fokus mengurusi kesatuan data. Sejatinya, hal ini sudah pernah dirancangkan dalam pembuatan Satu Data Indonesia, di dalamnya termasuk data terkait kemiskinan. Rencana itu tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia.
Jika hal itu diwujudkan, Trubus menilai penanganan dan pengentasan kemiskinan lebih mudah dilakukan. Data terkait kemiskinan juga tidak bisa dimainkan untuk kepentingan kelompok atau kementerian/lembaga tertentu.
Melibatkan Pemda
Trubus menyarankan, pemadanan data tunggal sosio ekonomi perlu melibatkan pemerintah daerah. Karena, mereka memiliki basis data sendiri, dan merekam secara realtime serta rutin melakukan, sehingga, bisa meningkatkan akurasi data.
Kolaborasi perlu juga dilakukan langsung hingga ke tingkat desa. Pemerintah pusat meminta laporan data dari desa secara digital, tanpa melalui kecamatan atau pemerintah kota/kabupaten. Tujuannya, memotong birokrasi dan mempertahankan ketepatan data.
Trubus memahami, mengapa pemerintah daerah tak akurat soal data kemiskinan. Ada kesan pemerintah daerah tidak ingin daerahnya dianggap miskin, dan memilih menutupi kenyataan di lapangan. Tujuannya, agar pemerintah daerah mendapat penghargaan dari pusat.
"Sekarang ini, data kemiskinan terkait juga untuk keperluan politik. Jadi, banyak kepala daerah itu enggak mau mengakui data di lapangan," ungkap Trubus.
Padahal, lanjut dia, menyejahterakan rakyat di daerah adalah kewajiban kepala daerah masing-masing. Untuk mencapai tujuan itu, data akurat menjadi modal awal.
Trubus menyarankan, pemerintah membuat kanal agar warga terdaftar dalam data kemiskinan. Setelah data masuk, petugas pemda melakukan verifikasi.
Senada, peneliti lembaga kajian kebijakan Next Policy, Shofie Azzahrah mengatakan, akibat tidak ada data tunggal terkait kemiskinan, tumpang tindih informasi dan ketidaksesuaian data berdampak pada penyaluran bantuan sosial yang kurang tepat sasaran.
"Saat ini data yang biasanya digunakan adalah data DTKS dari Kemensos, yang masih memerlukan banyak perbaikan," ujar Shofie kepada Validnews, Selasa (26/11).
Dia menilai, pemadanan data kemiskinan harus bisa menggabungkan berbagai sumber data menjadi satu basis data komprehensif. Agar, penyaluran bansos dan program penanganan kemiskinan lainnya berjalan lebih efektif dan tepat sasaran.
Shofie memaparkan hal yang perlu dilakukan pemerintah agar data tunggal kemiskinan lebih akurat. Pertama, pemerintah daerah dilibatkan dalam pengumpulan data. Hal ini mengingat biasanya Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) serta Dinas Sosial juga memiliki basis data masyarakat yang membutuhkan bansos.
Pelibatan pemerintah daerah dilakukan untuk integrasi dan verifikasi data penduduk. Tujuannya, memastikan data tunggal yang dimiliki pemerintah pusat sudah sesuai dengan kondisi nyata di lapangan, sehingga meminimalisir bantuan yang tidak tepat sasaran.
Tak hanya itu, Shofie menyadari DTKS Kemensos selama ini masih ada data ganda. Karena itu, dia menyarankan pemadanan data menggunakan Nomor Identitas Kependudukan (NIK) yang menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
"Selain itu, pemanfaatan teknologi serta pemutakhiran data secara berkala juga dibutuhkan agar dapat dengan mudah mendeteksi dan mengeliminasi data ganda," saran Shofie.