29 Oktober 2022
18:00 WIB
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy, Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Saat memanggil para perwira tinggi Mabes Polri, Kapolda dan Kapolres, Jumat (14/10/2022) Presiden Joko Widodo meminta para pimpinan Polri merespons keluhan masyarakat sehingga fungsi sebagai pelindung dapat terpenuhi.
"Respons cepat dan kita memiliki sense of crisis, pada situasi yang sulit ini. Sehingga, kita bisa melakukan upaya kamtibmas dan penegakan hukum seperti yang diharapkan masyarakat," ucap Jokowi.
Ancaman krisis terus digaungkan Jokowi dalam berbagai kesempatan. Pelbagai lembaga baik internasional sampai lokal, meramalkan krisis akan terjadi pada 2023.
Seperti laporan dari Food and Agriculture Organization (FAO), salah satunya. Lembaga itu melaporkan, sudah ada lima negara yang terancam atau bahkan telah menghadapi bencana kelaparan.
Harga pangan, energi, dan pupuk mendorong kekhawatiran akan ketahanan pangan secara global, terlebih adanya krisis iklim dan konflik yang berlangsung lama, seperti Rusia dan Ukraina.
Jika tidak ada tindakan yang diambil, sebanyak 970.000 orang berisiko kelaparan di Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Sudan Selatan, dan Yaman.
Disebutkan, jumlah orang yang menghadapi kelaparan di seluruh dunia terus meningkat jika krisis ini terjadi terus menerus. Ini merupakan keniscayaan.
Sementara itu, menurut Global Report on Food Crisis 2022 Mid-year Update, diperkirakan pada periode tersebut akan ada 205 juta orang di 45 negara yang akan menghadapi kerawanan pangan akut. Mereka akan membutuhkan bantuan pangan yang mendesak.
Jika digabungkan dengan data terbaru dari 2021, jumlah ini diperkirakan mencapai 222 juta orang. Mereka tersebar di 53 negara/wilayah. Selain itu, sekitar 45 juta orang di 37 negara diproyeksikan hanya memiliki sedikit makanan.
Krisis ini akan memicu ancaman kekurangan gizi parah hingga, berisiko banyaknya yang meninggal akibat kelaparan.
Lalu, International Energy Agency atau IEA dalam laporan World Energy Outlook (WEO) 2022 menyebutkan, invasi Rusia ke Ukraina telah menyebabkan krisis energi global. Hal ini berpotensi mempercepat transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.
Menurut skenario WEO, berdasarkan kebijakan yang berlaku saat ini atau Stated Policies Scenario, total permintaan bahan bakar fosil akan terus menurun. Lembaga ini mendata keadaan itu mulai terjadi pertengahan 2020 hingga akhir 2050.
Menurut lembaga itu jika tak ditangani dengan baik tentu akan menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Selanjutnya, berpotensi menyebabkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibnas).
Beragam prediksi itu ditelaah oleh banyak badan dan lembaga di Tanah Air. Deputi V Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kemenpolhukam Armed Wijaya memaparkan, krisis pangan dan energi berkaitan erat dengan kesejahteraan masyarakat. Ujung yang tak diharapkan adalah akan tercipta konflik sosial di masyarakat.
“Semoga tak berdampak parah, tidak sampai menyebabkan konflik di masyarakat, apalagi prediksinya, pertumbuhan ekonominya Indonesia masih bagus,” kata Armend dalam perbincangan dengan Validnews, Senin (24/10).
Armend mengatakan, untuk mengatasi dampak dari krisis pangan dan energi, pemerintah melalui kementerian/lembaga sedang berusaha sesuai dengan perannya masing-masing. Kemenko Polhukam tengah menyiapkan sejumlah upaya untuk menjaga stabilitas keamanan tetap kondusif.
Dia mengatakan, setiap tahunnya Kemenko Polhukam selalu melakukan pemetaan terhadap daerah-daerah yang rawan terjadi konflik. Lalu memprioritaskan pengamanan di daerah tersebut. Beberapa sudah masuk peta kerawanan, seperti Sumatra Selatan, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Papua.
“Tiap awal tahun kita laksanakan rapat koordinasi dengan pemangku kepentingan di daerah-daerah tersebut,” kata Armend.
Dia menjelaskan, setiap daerah memiliki potensi konflik berbeda. Ada karena agama, sosial, antar suku, konflik pertanahan, pertambangan, juga perkebunan.
Sebagai antisipasi, kepala daerah diingatkan untuk segera menyelesaikan setiap potensi-potensi konflik sekecil apapun. Ditangani secara dini, dan paling utama adalah tiap daerah melakukan upaya pencegahan.
Kebijakan Khusus
Armend mengungkapkan pula, hingga saat ini belum ada kebijakan-kebijakan khsusus untuk mengantisipasi gangguan kamtibnas yang akan terjadi. Terutama karena adanya krisis pangan dan energi. Pemerintah masih menggunakan kebijakan-kebijakan yang selalu digunakan seperti biasanya.
Namun, menurut dia, pemerintah sedang konsisten menjaga ketahanan pangan dan energi di masyarakat. Ada harapan, konsistensi itu akan mengurangi krisis yang membayangi.
“Jika kesejahteraan masyarakat selama krisis stabil, maka angka kriminalitas tidak akan melonjak tajam,” cetus Armend.
Karena itu, dia wanti-wanti Polri agar bisa tanggap akan situasi konflik yang mulai mengancam Indonesia. Tiap personel Polri yang berhubungan langsung dengan masyrakat bisa bersikap profesional. Pada saat sama, diminta pula mereka menghindari hal-hal yang membuat masyarakat kurang simpatik pada anggota Polri.

Bantuan Sosial
Sekretaris Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesejahteraan Sosial Kemenko PMK, Ade Rustama, di kesempatan berbeda mengatakan bahwa pemerintah terus berupaya menangani krisis pangan dan energi untuk mencegah terjadinya konflik yang dapat mengganggu kamtibnas.
Hal tersebut dilakukan dengan memperkuat program perlindungan sosial melalui bantuan sosial pangan dan program subsidi energi.
Sementara dalam bidang pertanian, pemerintah menyiapkan sejumlah langkah strategis dalam menghadapi ancaman krisis pangan global. Mulai dari intensifikasi produksi pangan, diversifikasi pangan, penguatan stok, hingga modernisasi pertanian.
“Dua hal ini saja tidak cukup. Kami juga berupaya meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani dan nelayan, perbaikan iklim usaha, penguatan sistem pangan berkelanjutan, dan pengembangan program Food Estate,” kata Ade pada Validnews, Rabu (26/10).
Ade menjelaskan, Food Estate merupakan program peningkatan penyediaan pangan dan juga sebagai salah satu upaya Pemerintah dalam menghadapi krisis pangan (seperti yang dinyatakan oleh WHO) akibat pandemi covid-19. Program ini merupakan instruksi dari Presiden Joko Widodo melalui rapat terbatas yang melibatkan beberapa Kementerian dan Lembaga.
“Program ini akan difokuskan di tiga wilayah yaitu Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Utara,” kata ade.
Untuk meminimalisasi konflik dampak krisis pangan dan energi, pemerintah melakukan pemetaan ketahanan dan kerentanan pangan. Hal ini yang menggambarkan visualisasi geografis berdasarkan enam kelas status ketahanan pangan.
Prioritas 1 merupakan wilayah sangat rentan. Prioritas 2 dan 3 merupakan wilayah rentan dan agak rentan. Sementara itu, prioritas 4 serta 5 merupakan wilayah agak tahan dan tahan. Kemudian, prioritas 6 merupakan wilayah sangat tahan.
Karakteristik kabupaten rentan rawan pangan ditandai dengan tingginya rasio konsumsi per kapita terhadap ketersediaan bersih per kapita. Lalu, tingginya persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Kemudian, tingginya rasio penduduk per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk juga dinilai.
Hal yang juga turut dihitung adalah tingginya rumah tangga tanpa akses air bersih. Serta, tingginya prevalensi balita stunting.
Sementara itu, karakteristik kota rentan pangan ditandai dengan tingginya prevalensi balita stunting dan tingginya persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.
Untuk menangani hal ini, pemerintah telah meminta pemerintah kabupaten/kota meningkatkan penyediaan pangan di daerah non sentra pangan. Yakni, dengan mengoptimalkan lahan dan ruang terbuka untuk produksi sesuai potensi sumber daya lokal.
Pemerintah daerah juga diminta untuk menyediakan lapangan kerja, padat karya. Serta, redistribusi lahan, pembangunan infrastruktur dasar (jalan, listrik, rumah sakit). Kemudian, pemberian bantuan sosial, serta pembangunan usaha produktif/UMKM/padat karya untuk menggerakkan ekonomi wilayah dan menurunkan kemiskinan.
“Kami berharap krisis pangan dan energi ini bisa ditangani secara merata ke masyarakat, sehingga tidak menimbulkan konfil sosial di kemudian hari,” kata Ade.
Dia juga menambahkan, guna mengatasi krisis pangan, pemerintah terus mendorong terwujudnya swasembada pangan. Yakni, dengan membangun infrastruktur yang masif di sektor pangan.
Antara lain 35 unit bendungan, 10.035 hektare (ha) daerah irigasi. Rehabilitasi erhadap 152.615 ha jaringan irigasi. Pembangunan 21 embung, dan pembangunan 157 kilometer (km) tanggul pengendali banjir dan pengamanan pantai.
Tebalkan Bansos
Terkait kemungkinan meningkatnya angka kriminalitas karena krisis pangan dan energi, Ade berpendapat, penyebab fluktuasi angka kejahatan dikarenakan banyak faktor. Kondisi pemulihan ekonomi pasca covid-19 memberikan peluang bagi tipologi kejahatan lainnya untuk mengalami peningkatan.
Seperti, penyebaran hoaks, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kejahatan siber seperti penipuan daring.
Dia mengakui, krisis pangan dan energi dapat memicu secara tidak langsung kejahatan. Dengan asumsi, situasi kesulitan ekonomi dan kesejahteraan sosial merupakan kondisi kriminogenik. Faktor kriminogenik adalah faktor yang menyebabkan munculnya tidak pidana.
Seperti, akibat hubungan antara pendapatan per kapita yang rendah. Kemudian, kemiskinan dan gangguan pada sektor krusial, seperti pangan dan energi. Ke semuanya dapat menjadi penyebab terjadi gejolak ekonomi dan memiliki korelasi dengan konflik dalam suatu negara.
Dia mengatakan, kondisi rawan pangan dan energi berkorelasi terhadap pembangunan manusia. Diukur melalui Human Development Index (HDI) yang dianalisis dari tiga dimensi. Angka harapan hidup, standar hidup dan pendapatan, serta tingkat pendidikan.
Dia meyakinkan, pemerintah secara vertikal hingga tingkat desa akan bersama-sama menjalankan strategi antisipasi krisis. Melalui aspek penguatan ekonomi, sosial dan budaya.
Yang diyakininya, pemerintah tidak akan tinggal diam. Akan ada bantuan secara tepat sasaran. Lalu, intervensi penebalan bantuan lainnya bagi keluarga kelompok miskin, rentan maupun ekstrem. Sambil berharap, hal itu akan membantu masyarakat selama menghadapi krisis pangan dan energi.
Skenario ini, sudah terbukti jitu berdasarkan kajian Kemenko PMK Bersama SMERU pada tahun 2020. Saat tingkat ketepatan sasaran 30%, tingkat kemiskinan pada akhir 2020 menjadi 9,12-11,18% atau sekitar 24,52–30,06 juta penduduk miskin.
Selain itu, kombinasi beberapa bansos mengurangi kenaikan tingkat kemiskinan dibandingkan dampak dari program tunggal. Termasuk pola pendekatan bantuan padat karya tunai, yang dapat menumbuhkan lapangan kerja.
Penanganan Tepat
Sosiolog dari Universitas Gajah Mada, Derajad Sulistyo Widhyharto, menguraikan musabab krisis ini. Dia menilai, ini terjadi karena transisi energi yang berjalan tidak mulus.
Belum ada diversifikasi pangan dan bergantung pada satu jenis bahan pangan pokok. Serta kurangnya air bersih dan keharusan masyarakat membeli air untuk bisa menikmati air bersih.
“Tiga hal ini adalah nexus, di mana orang tidak akan bisa hidup tanpa ketiga hal tersebut,” kata Derajad, Kamis (27/10).
Derajad mengatakan, jika tidak ditangani dengan kebijakan tepat, yang paling berpotensi adalah konflik di daerah perkotaan.
“Yang di desa mungkin sudah terbiasa dengan air yang bersih dan bahan pangan yang bervariasi, jadi mungkin dampaknya tidak separah masyarakat yang ada di perkotaan,” kata Derajad.
Dia mengingatkan untuk segera melakukan pencegahan serta cepat penanganan. Jika mitigasi tak baik dilakukan, setiap individu akan berebut pangan dan energi untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.
“Kalau sampai si miskin kalah berebut dengan si kaya, yang terjadi tentu kriminalitas,” kata Derajad.
Apa yang dilakukan pemerintah, menurutnya cukup baik. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah yang mengatur pengelolaan dan penyaluran 11 bahan pokok demi atasi krisis pangan dan lonjakan harga pangan, adalah salah satu mitigasi yang baik.
“Sementara, untuk penanganan krisis energi dan air, saya belum tahu apa upaya dari Presiden Jokowi untuk menangani krisis ini,” kata Derajad.
Hal yang kini harus dipastikan adalah berbagai kebijakan dari pemerintah pusat bisa tersalurkan secara merata ke seluruh daerah.
“Dengan demikian tidak ada ketimpangan kebijakan antara pusat dan daerah,” cetusnnya.