14 November 2025
18:51 WIB
MBG Habiskan 2,6 Ton Beras Tiap Bulan
Kebutuhan pangan SPPG untuk MBG cukup besar karena menu yang disiapkan mengikuti standar gizi seimbang untuk anak sekolah.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Petugas menyiapkan makanan untuk program Makana Bergizi Gratis di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Pondok Pesantren Al Kasyaf, Cileunyi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (19/5/2025). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.
MANOKWARI - Badan Gizi Nasional (BGN) menyebut, kebutuhan beras untuk operasional Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang melayani sekitar 3.000 penerima manfaat Makan Bergizi Gratis (MBG) mencapai rata-rata 2,6 ton per bulan.
Perwakilan Direktorat Promosi dan Edukasi Gizi BGN, Gusti Yudha di Manokwari, Jumat (14/11) menerangkan, kebutuhan pangan SPPG cukup besar karena menu yang disiapkan mengikuti standar gizi seimbang untuk anak sekolah.
“Untuk kebutuhan karbohidrat, SPPG rata-rata membutuhkan 2,5 ton beras setiap bulan atau sekitar 200–225 kilogram per hari,” ujar Gusti pada sosialisasi BGN bersama Anggota DPR, Obet Rumbruren di Manokwari seperti dikutip dari Antara.
Dia menjelaskan, kebutuhan protein hewani juga tinggi. Setiap bulan dapur SPPG memerlukan 2,6 ton ayam atau sekitar 300 kilogram per hari.
Selain itu, kebutuhan telur mencapai 26.400 butir atau sekitar 1,6 ton per bulan. Sekali masak rata-rata dibutuhkan 3.300 butir telur dan disajikan dua kali dalam seminggu.
Selain bahan pangan utama itu, SPPG memerlukan 1.300 bungkus tempe per bulan, serta ratusan kilogram sayuran untuk melengkapi menu harian para penerima manfaat.
Gusti menegaskan, tingginya kebutuhan bahan pangan SPPG membuka peluang ekonomi yang besar bagi masyarakat sekitar, terutama petani, peternak, dan pelaku usaha kecil.
“Ini menjadi potensi untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat. Partisipasi warga diperlukan untuk menyediakan bahan pangan lokal,” urai Gusti.
Dia mengatakan, saat ini SPPG di Kabupaten Manokwari berjumlah 20 dapur, sehingga bahan pangan yang dibutuhkan juga banyak dan membutuhkan peran aktif dari seluruh masyarakat.
Meski mendorong pemanfaatan bahan pangan lokal, namun SPPG tidak dapat membeli bahan baku dalam jumlah kecil. Pengadaan dilakukan dalam partai besar sehingga suplai harus dilakukan secara kolektif melalui koperasi atau Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
“Warga bisa berkoordinasi dengan koperasi atau BUMDes. Bahan pangan dikumpulkan dulu, kemudian disetor ke dapur SPPG dalam jumlah besar,” jelas dia.
BGN berharap masyarakat yang sebelumnya berhenti bertani atau beternak dapat kembali aktif untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan pangan SPPG.
“Implementasi MBG bukan hanya menurunkan angka gizi buruk, tetapi juga menggerakkan ekonomi masyarakat melalui keterlibatan petani, nelayan, dan pelaku usaha lokal,” kata Gusti.
Ia menyebut setiap satu SPPG dapat menyerap hingga 50 tenaga kerja, terdiri atas kepala dapur, ahli gizi, tenaga akuntansi, dan 47 orang relawan dari masyarakat.
Anggota Komisi IX DPR, Obet Rumbruren mengungkapkan, penerapan program MBG tidak hanya meningkatkan gizi anak tapi juga menjadi langkah pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama di Provinsi Papua Barat.
Ia mengatakan, dengan pemenuhan gizi khususnya terhadap anak-anak Papua maka akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di tanah Papua dan Papua Barat.
"Sebagai Anggota DPR Dapil Papua Barat, saya selalu mendukung program MBG dengan melakukan sosialisasi di beberapa daerah di Papua Barat," ungkap Obet.