20 Juni 2025
09:45 WIB
Masyarakat Sipil Curiga Agenda Menhut Tunda Serahkan Second NDC
Menunda menyerahkan dokumen Second NDC menunjukkan sikap pemerintah Indonesia yang tak serius mencegah dampak perubahan iklim pada dunia dan masyarakat rentan terdampak.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Unjuk Rasa perubahan Iklim terhadap Pemerintah, Jakarta, Indonesia, (09/15/2023). Shutterstock/abdlh syamil.
JAKARTA - Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) mencurigai agenda pemerintah dalam menyusun dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC) Indonesia.
SNDC merupakan versi terbaru dari kontribusi iklim nasional (NDC) yang wajib diperbarui setiap lima tahun sesuai amanat Perjanjian Paris. Tahun 2025, seluruh negara harus mengajukan NDC baru yang ambisius, progresif dan sejalan dengan target untuk membatasi suhu global di bawah 1.5°C. Ambisi kolektif dari NDC yang ada saat ini dikhawatirkan masih akan membawa dunia ke jalur pemanasan 2.5–2.9°C—jauh dari batas aman 1.5°C.
Tanpa peningkatan besar-besaran dalam SNDC tahun ini, dunia justru melaju menuju bencana. SNDC harus diserahkan ke Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC).
ARUKI menyayangkan minimnya transparansi ini, mengingat dokumen ini akan menjadi panduan penting bagi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di seluruh sektor.
“Tanpa akses informasi yang memadai, partisipasi publik yang bermakna sulit terwujud dan menghambat akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan target iklim Indonesia,” urai Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, dalam keterangan tertulis ARUKI, Kamis (20/6).
Baca juga: Tekan Laju Deforestasi Jadi Bagian Penting Mencapai Target Iklim
Terbatasnya pelibatan publik, lanjut Torry, terutama kepada kelompok rentan yang seharusnya menjadi subjek dalam rancangan dokumen ini, bertentangan dengan prinsip inklusivitas yang seharusnya menjadi landasan utama.
Penyusunan dokumen SNDC seharusnya menjadi momentum penting untuk memastikan arah kebijakan iklim yang inklusif dan berpihak pada mereka yang paling rentan.
Namun, ARUKI menilai proses ini mengabaikan partisipasi bermakna, perempuan, masyarakat adat, penyandang disabilitas, petani kecil, dan nelayan tradisional. Kelompok ini yang paling terdampak dalam krisis karena keterbatasan akses terhadap sumber daya dan pelindungan sosial, serta sering tersingkir dari pengambilan keputusan.
Menurut ARUKI, minimnya pelibatan mereka mencerminkan lemahnya komitmen negara terhadap keadilan iklim. Hal ini berisiko memperburuk ketimpangan sosial dan memperkuat dominasi kepentingan ekonomi jangka pendek, seperti investasi besar-besaran di sektor energi dan industri ekstraktif yang justru mempercepat krisis iklim.
“Keadilan iklim hanya bisa terwujud jika suara kelompok rentan menjadi dasar kebijakan. Mengabaikan mereka adalah bentuk ketidakadilan struktural yang harus diubah,” ungkap Torry.
Pelibatan mereka krusial, karena membawa pengetahuan lokal dan strategi adaptif yang memperkuat resiliensi komunitas. Torry menegaskan, mengabaikan suara mereka bukan hanya tidak adil, tetapi juga melemahkan efektivitas dan legitimasi kebijakan iklim.
ARUKI juga kritik pernyataan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, yang menyebut pentingnya SNDC yang “realistis, inklusif, dan dapat dieksekusi,”. Lantaran, pernyataan itu dinilai belum tercermin dalam praktik.
ARUKI menyerukan agar prinsip-prinsip itu diterjemahkan menjadi tindakan nyata yang diwujudkan dalam proses terbuka, partisipatif, dan berpihak pada keadilan iklim.
Dalam catatan ARUKI, Indonesia kini menghadapi krisis iklim yang nyata, ditandai dengan meningkatnya intensitas bencana seperti banjir, longsor, kekeringan, badai, dan kenaikan muka air laut. Dampak-dampak ini mengancam keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan rakyat Indonesia terutama bagi kehidupan kelompok rentan.
Sedangkan, Direktur Eksekutif MADANI Berkelanjutan, Nadia Hadad, pada rilis berbeda, turut kritik pernyataan Menhut yang berencana menunda pengajuan dokumen iklim SNDC. Serta wacana penyesuaian target FOLU Net Sink 2030 ke arah yang kurang ambisius.
“Strategi itu justru mengirim sinyal yang bertolak belakang dengan harapan global terhadap Indonesia,” urai Nadia.
MADANI Berkelanjutan mengingatkan, FOLU Net Sink 2030 adalah komitmen yang sudah mendapat pengakuan global. Melemahkannya, hanya karena kekhawatiran tidak tercapai, bukanlah bentuk kepemimpinan, melainkan kemunduran.