27 Februari 2024
14:20 WIB
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, konflik antara manusia dan satwa seperti harimau memiliki akar permasalahan yang kompleks. Salah satu cara mengatasinya adalah mengembalikan ekosistem yang sehat.
"Akhir-akhir ini kita mendengar terjadinya banyak konflik harimau Sumatra dengan petani. Ini ada beberapa sebab yang memang harus kita teliti lebih lanjut. Apakah karena ada peningkatan populasi, dan itu ada konsekuensi," kata Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK, Satyawan Pudyatmoko dalam acara menandai dimulainya Java-Wide Leopard Survey (JWLS) di Jakarta, Selasa (27/2) seperti dikutip dari Antara.
Satyawan menjelaskan, penambahan populasi harimau sebagai predator tertinggi suatu ekosistem yang tidak dibarengi dengan banyaknya mangsa akan menimbulkan konflik. Sebaliknya, kehilangan predator tertinggi juga dapat menimbulkan konflik yang membuat satwa mangsanya seperti monyet bertambah.
Dia memberi contoh bagaimana jelang musim kemarau akan banyak muncul laporan mengenai monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) masuk ke lahan pertanian.
"Ini akar permasalahannya sangat kompleks kita termasuk di dalamnya adalah kita harus mengembalikan ekosistem yang sehat agar ada check and balance. Jadi ketika populasi prey naik itu harus ada predator yang mengurangi populasi tersebut," sambung dia.
Konsekuensi lainnya adalah masuknya satwa yang bukan asli dalam ekosistem tertentu. Termasuk keberadaan anjing liar di hutan-hutan taman nasional yang dapat menjadi ancaman bagi populasi mangsa predator asli. Serta, dapat menjadi penyebab penyerangan terhadap ternak warga.
"Jadi harus kita perhatikan keseimbangan ekosistem itu memang dikendalikan oleh top predator," kata Satyawan.
Beberapa waktu terakhir terdapat laporan mengenai konflik harimau dengan manusia. Termasuk, kasus tewasnya seorang warga di Lampung Barat yang diduga diterkam harimau pada 22 Februari 2024. Kejadian serupa juga terjadi di wilayah yang sama pada 8 Februari 2024.
KLHK dan Yayasan SINTAS Indonesia mengadakan survei populasi Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Pulau Jawa untuk mengetahui jumlah pasti satwa terancam punah tersebut.
"Itu sangat penting untuk menyusun program konservasi karena itu merupakan data dasar," ucap dia.
Data yang valid soal berapa individu satwa dan keberadaan mereka akan memberikan gambaran nyata tentang kondisi yang ada, sekaligus mendukung pemetaan tantangan yang ada di masing-masing lanskap.
Kegiatan JWLS akan dilakukan dengan memanfaatkan 600 unit kamera pengintai yang akan dipasang oleh delapan tim gabungan survei lapang secara bergantian. Dilakukan di 1.160 stasiun pengamatan pada 21 bentang alam meliputi 10 taman nasional, 24 kawasan suaka alam, dan 55 kawasan hutan lainnya.
Data yang diharapkan termasuk data dasar status populasi hewan dan preferensi satwa mangsa Macan Tutul Jawa, sekaligus data biodiversitas terestrial dan sebarannya di seluruh habitat satwa liar yang tersisa di Pulau Jawa.
Sekumpulan data itu akan digunakan untuk pembaharuan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa. Survei itu sendiri rencananya akan dilaksanakan selama dua tahun.
Macan Tutul Jawa adalah satwa endemik Pulau Jawa yang masuk dalam kategori terancam dalam daftar IUCN Red List. Menurut Yayasan SINTAS Indonesia, populasinya diperkirakan berada di kisaran 319 individu.