06 Agustus 2025
19:02 WIB
MA Akan Panggil Hakim Perkara Tom Lembong
Tiga hakim yang menangani perkara Tom Lembong, selain dilaporkan ke Mahkamah Agung, juga dilaporkan Komisi Yudisial, Ombudsman dan BPKP
Editor: Nofanolo Zagoto
Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Yanto (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan di Media Center Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (6/8/2025). (ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat)
JAKARTA - Juru Bicara Mahkamah Agung (MA), Yanto mengatakan, MA akan memanggil tiga hakim yang menyidangkan perkara mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, untuk dimintai klarifikasi.
"Kalau apakah yang bersangkutan akan dipanggil? Ya jelas, kan mau diklarifikasi," kata Yanto di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, seperti dilansir Antara, Rabu (6/8).
Pemanggilan terhadap para hakim yang memimpin persidangan tersebut adalah tindak lanjut dari laporan yang dilayangkan kuasa hukum Tom Lembong terhadap ketiga hakim tersebut.
Meski begitu, Yanto belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kapan ketiganya akan dipanggil untuk klarifikasi. Ia mengatakan pemanggilan terhadap ketiga hakim tersebut adalah kewenangan Kepala Badan Pengawas (Kabawas) MA.
"Kalau tentang kapan (dipanggil), itu nanti itu kan kewenangan Kabawas ya. Kabawas yang menjadwalkan itu," tuturnya.
Sebelumnya, kuasa hukum mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, Senin (4/8), melaporkan tiga hakim, yang memvonis dirinya bersalah dalam kasus importasi gula, ke Mahkamah Agung (MA).
Ketiga hakim yang dilaporkan tersebut, yakni Hakim Ketua Dennie Arsan Fatrika dengan Hakim Anggota Alfis Setyawan dan Purwanto S Abdullah.
"Dia (Tom Lembong) ingin ada evaluasi, dia ingin ada koreksi. Agar apa? Agar keadilan dan kebenaran dalam proses penegakan hukum di Indonesia ini bisa dirasakan oleh semuanya," kata kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, di gedung Mahkamah Agung RI, Jakarta, Senin (4/8).
Zaid mengatakan, Tom tidak ingin abolisi yang diterimanya seolah-olah mengakhiri perjuangannya di jalur hukum.
"Jadi Pak Tom ini tidak semata-mata setelah dia bebas ya udah, kita selesai. Enggak, dia komitmen dengan perjuangannya. Ada yang harus dikoreksi, ada yang harus dievaluasi," ujarnya.
Lebih lanjut, Zaid laporan tersebut dibuat karena menilai hakim yang menyidangkan kliennya tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah.
"Yang menjadi catatan adalah ada salah satu hakim anggota yang menurut kami selama proses persidangan itu tidak mengedepankan presumption of innocent. Dia tidak mengedepankan asas itu. Tapi mengedepankan asas presumption of guilty. Jadi Pak Tom ini seolah-olah memang orang yang udah bersalah tinggal dicari aja alat buktinya. Padahal tidak boleh seperti itu proses peradilan," ujarnya.
Zaid juga mengatakan, selain melapor ke MA, pihaknya juga akan membuat laporkan Komisi Yudisial, Ombudsman dan BPKP.
Untuk diketahui, Dalam kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015-2016, Tom Lembong divonis pidana 4 tahun dan 6 bulan penjara setelah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp194,72 miliar.
Tindak pidana korupsi yang dilakukan Tom Lembong, antara lain dengan menerbitkan surat pengajuan atau persetujuan impor gula kristal mentah periode 2015–2016 kepada 10 perusahaan tanpa didasarkan rapat koordinasi antarkementerian serta tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.
Atas perbuatannya, Tom Lembong juga dijatuhkan pidana denda sebesar Rp750 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Meski demikian, pada 1 Agustus 2025, Tom Lembong resmi bebas dari Rumah Tahanan (Rutan) Cipinang, Jakarta, menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.
Tom Lembong keluar dari Rutan Cipinang pada pukul 22.05 WIB setelah Keputusan Presiden (Keppres) telah diteken oleh Presiden pada sore hari, yang kemudian Keppres tersebut diserahkan pihak Kejaksaan ke Rutan Cipinang pada malam hari.
Adapun abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana dan menghentikan proses hukum jika telah dijalankan. Hak abolisi diberikan presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPR.