04 Juni 2024
11:09 WIB
LSM Ragukan Ormas Keagamaan Kelola Tambang
Ormas keagamaan dinilai tak punya kapasitas untuk kelola pertambangan.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Beberapa truk pengangkut batu bara melintasi jalan tambang batu bara di Kecamatan Salam Babaris, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Rabu (7/7/2021). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S.
JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai, peraturan pemerintah (PP) yang memberikan pengelolaan tambang oleh ormas keagamaan bisa berdampak buruk terhadap lingkungan. Sebab, ormas keagamaan dinilai tidak punya kapasitas mengelola pertambangan.
Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Walhi, Rere Christianto menjelaskan, kegiatan pertambangan pasti memberikan dampak besar kepada lingkungan dan dampak sosial.
Maka dari itu, izin tidak boleh sembarangan diberikan, termasuk kepada ormas keagamaan sebagaimana PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara
“Tidak semua orang, ya karena orang yang akan melakukan pertambangan harus punya kapasitas untuk meminimalisir risiko tersebut,” jelasnya, kepada Validnews, Senin (3/6).
Rere menyampaikan, semestinya pemerintah melakukan pembatasan pertambangan mengingat ada tempat-tempat tertentu yang tidak boleh dilakukan pertambangan,
“Ada tempat-tempat yang dia punya nilai ekologis yang lebih besar, wilayah serapan air atau wilayah perlindungan dari bencana itu pasti seharusnya tidak boleh ditambang,” jelas dia.
Senada dengan Rere, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, ormas keagamaan tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman terhadap pengelolaan lingkungan.
“Itu akan memperparah kerusakan lingkungan, karena organisasi bahkan perusahaan-perusahaan besar sekalipun walaupun mereka punya instrumen-instrumen untuk pengelolaan lingkungan yang baik, kerusakan lingkungan masih terlalu besar, sehingga ini akan sangat berbahaya bagi keselamatan lingkungan,” papar dia, Senin (3/6).
Sementara itu, Kepala Kampanye Iklim Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya mengatakan ketika berbicara spesifik batu bara sebetulnya pemerintah sendiri menyampaikan bahwa seharusnya batu bara itu mulai ditinggalkan.
“Sudah ada pengakuan dampak-dampak buruk dari batu bara bagi lingkungan dan bagi krisis iklim. Tren global pun seperti itu. Negara-negara di dunia masih menggunakan batu bara, tapi terus menurun porsinya,” ujar dia, Senin (3/6).
Maka dari itu, menurut Tata, PP Nomor 25 Tahun 2024 kontradiktif dari apa yang disampaikan pemerintah selama ini.