02 September 2023
17:58 WIB
JAKARTA - Penegakan hukum yang terjadi di era pemerintahan Joko Widodo-Ma’aruf Amin dikritik keras. Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinegoro justru menilai, secara kasat mata penegakan hukum di Indonesia jalan ditempat dan makin buruk.
“Penegakan hukum kita, bak gasing, muter-muter di tempat, nggak ada kemajuan,” terang Sasmito dalam keterangannya Senin (4/9).
Bahkan Sasmito merasa, upaya penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi tidak jelas arahnya. Sebut saja, soal, kasus-kasus mega skandal yang merugikan keuangan negara, justru diabaikan.
Salah satunya, kasus fasilitas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang merugikan negara ratusan triliun rupiah dibiarkan berlarut tanpa ada kejelasan. Padahal, lanjutnya, secara kasat mata, para penikmat fasilitas BLBI itu, saat ini masih kaya raya, hidup aman dan nyaman serta bebas menikmati hartanya, tanpa ada rasa khawatir akan diproses hukum.
Seharusnya, kata Sasmito, mereka sudah selayaknya dipaksa untuk mengembalikan fasilitas BLBI yang mereka terima ke negara. Sayangnya, aparat penegak hukum dilihatnya terus saja bergeming.
Sebelumnya, Sasmito juga sempat mendesak Panitia Khusus (Pansus) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) DPD RI, untuk serius menuntaskan kasus BLBI yang menjadi mega skandal korupsi keuangan negara. Menurutnya, dibutuhkan keseriusan Pansus BLBI DPD RI, dengan memprioritaskas kasus-kasus BLBI terbesar. Seperti kasus BCA-BDNI yang patut diduga menyeret para konglomerat seperti Anthony Salim- Budi Hartono- Syamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nurssalim.
Menurutnya, masalah ini sangat diperlukan mengingat daya rusak ekonomi dari BLBIgate ini sangat besar. Sampai detik ini, lanjutnya, potensi kerugian keuangan negara dari kedua bank swasta terbesar itu mencapai ratusan triliun.
Selain itu, kata Sasmito, ada juga kasus Bank Danamon tahun 2004 yang lalu dijual kepada Temasek- Singapura. Kasus ini, kata Sasmito harus dibongkar kembali sebab diduga kuat ada rekayasa yang dibuat oleh para menteri di zaman itu.
“Saya minta, Pansus BLBI DPD RI ini serius dalam bekerja. Tuntaskan skandal mega skandal ini. Jangan sampai mereka masuk angin sebab godaan dari BLBI ini sangat besar,” ujar Sasmito.
Sasmito berharap Pansus BLBI DPD RI juga bisa istiqomah dalam bekerja dan tidak terpengaruh dengan godaan uang yang menjadi senjata pamungkas para obligor BLBI ini. “Pansus BLBI ini berhadapan dengan para pengusaha kakap. Godaannya sangat besar sekali. Mereka akan berusaha dengan segala macam cara agar tidak diusik oleh Pansus BLBI ini,” tegasnya.
Pansus Jilid II
Sekadar informasi, DPD RI kembali membentuk Panitia Khusus (Pansus) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Jilid 2. Pansus ini dibentuk untuk menuntaskan rekomendasi-rekomendasi dari Pansus sebelumnya, terutama butir keenam dari 9 rekomendasi Pansus BLBI DPD RI Jilid 1
Bertugas sejak Mei 2023, Pansus BLBI DPD RI Jilid 2 memiliki target membawa obligor pengemplang dana BLBI sampai ke ranah pidana. “Target kami mempidanakan para obligor ini. Uang pajak rakyat ini harus diselamatkan. Apalagi mereka sudah 25 tahun mendapat kemurahan dari negara,” ujar Ketua Pansus BLBI DPD RI, Bustami Zainudin beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, Pansus BLBI Jilid I telah menemukan sejumlah kerugian negara terkait pengucuran dana talangan BLBI 1997-1998 dan juga pemberian obligasi rekapitulasi. Dana talangan BLBI untuk membantu bank-bank memenuhi penarikan dana masyarakat, diakui Satgas BLBI telah merugikan negara sebesar Rp110 triliun. Belum lagi, ada kewajiban negara untuk membayar bunga Obligasi Rekap (OR) BLBI setiap tahun sebesar Rp60 triliun.
Pada tahun lalu, sebagaimana ditulis dalam poin pertama rekomendasi Pansus BLBI, APBN menurut BPK masih mengeluarkan pembayaran bunga obligasi rekap BLBI senilai Rp47,78 triliun per September 2022.