31 Desember 2024
16:21 WIB
LPEKN Desak Prabowo Serius Tangani Penyelesaian Kasus BLBI
LPEKN juga menyinggung proses penjualan Bank BCA yang dinilainya terlalu murah dan terindikasi merugikan keuangan negara hingga Rp200 triliun
Pengamat Ekonomi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinegoro. dok LPEKN
JAKARTA – Menutup akhir tahun 2024 ini, banyak kasus-kasu besar yang meyangkut kerugian negara yang belum juga terselesaikan. Pengamat Ekonomi dan Politik dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinagoro mencatat, sejumlah kasus besar yang juga belum terselesaikan, bahkan seakan diabaikan adalah Penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurut Sasmito, Presiden Prabowo Subianto yang kini fokus memerangi korupsi serta pengembalian uang negara, perlu serius menangani kasus BLBI. Ia mencontohkan, salah satunya adalah kasus penjualan Bank BCA yang dinilainya terlalu murah dan terindikasi merugikan keuangan negara.
"Presiden Prabowo ini kabarnya memiliki political will untuk serius memberantas korupsi-korupsi kakap. Ada analogi yang disampaikan Pak Prabowo. Ikan itu kalau busuk dari kepalanya. Bukan dari badan dan buntut. Artinya kalau mau bersih itu dari kepalanya dulu pemimpinnya," kata Sasmiti dalam keterangannya, Selasa (31/12).
Khusus terkait pembelian Bank Central Asia (BCA) oleh Djarum Group, milik Budi Hartono di era pemerintahan Megawati, Sasmito menjelaskan kronologi kasus ini. Ia menyebut, masalah bermula ketika BCA yang kala itu dimiliki Salim Group, diambil alih pemerintah akibat megaskandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Tepatnya pasca lengser rezim Orba di tangan Soeharto.
Kala itu, pemerintah berupaya melego BCA demi kembalinya uang BLBI ke brangkas negara. Namun hingga 1999, upaya itu belum memberikan hasil. Tiga tahun berselang, melalui kebijakan di era Megawati, pemerintah memutuskan untuk melego 51% saham BCA kepada publik.
Diduga Rekayasa
Sayangnya, Sasmito justru menduga ada rekayasa yang terjadi dalam proses pembelian saham oleh Farallon, yang disebut-sebut sebagai perusahaan cangkang milik Budi Hartono di Singapura.
Menurut Sasmito, harga jual BCA yang seharusnya dibanderol Rp200 triliun, namun hanya dtebus Farallon dengan harga Rp5 triliun. Hitung punya htung, kata Sasmito, nilai aset BCA saja sudah mencapai Rp100 triliun. Belum lagi, BCA juga memegang obligasi rekapitalisasi Rp60 triliun, bunga Rp42 triliun, sehingga totalnya lebih dari Rp200 triliun.
"Jadi hitungan saya, nilai BCA itu lebih dari Rp200 triliunan. Tapi hanya dijual Rp5 triliun. Sehingga itu tidak waras. Sama dengan dapat gratisan. Anda saja juga bisa jadi orang terkaya nomor satu di Indonesia seperti Budi Hartono. Hari ini, nilai aset BCA mencapai Rp1.400 triliunan," beber Sasmito.
Selanjutnya, Sasmito menuding sejumlah pejabat di era Megawati harus bertanggung jawab atas kerugian negara gara-gara jual murah BCA. Mereka adalah eks Menteri Keuangan Boediono, Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan Menko Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. "Semuanya harus bertanggung jawab," serunya.
"Kalau Anda mau bandingkan sekarang yang ramai soal korupsi CSR BI di Komisi XI, tidak ada apa-apanya dibandingkan subsidi bunga obligasi rekap ini," ucap Sasmito.
Sasmito mengaku, telah melaporkan dugaan korupsi BLBI khususnya pembelian saham mayoritas BCA kepada aparatak penegak hukum, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, ia menilai, kasus ini sudah ‘masuk angin’. “Laporan kemungkinan sudah raib, masuk tong sampah,” serunya.
Dia juga mempertanyakan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyebut, pada tahun 2024, BCA masih punya tanggungan BLBI senilai Rp26,5 triliun. "Saya sudah 12 kali demo ke KPK langsung. Datanya juga sudah saya serahkan ke KPK. tapi enggak ada tindaklanjutnya," ucap Sasmito.
Karena itu, ia sangat berharap Presiden Prabowo Subianto bisa membuktikan pemberantasan korupsi yang selama ini didengungkan. Ia yakin, jika saja kasus megaskandal BLBI di BCA dibongkar, uang negara yang bisa diselamatkan cukup besar. “Jangan sampai Prabowo sami mawon dengan Jokowi yang NATO (No Action Talk Only)," tuturnya.
Pemaafan Koruptor
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk memimpin suatu pemerintahan yang bersih, demi menjaga seluruh kepentingan masyarakat Indonesia. Ia bahkan dengan tegas membantah anggapan bahwa pemerintahannya akan memaafkan koruptor. Bantahan tersebut disampaikan oleh Prabowo dalam acara Puncak Perayaan Natal di Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu (28/12).
“Ada yang mengatakan Prabowo mau memaafkan koruptor. Bukan begitu. Kalau koruptornya sudah tobat, bagaimana tokoh-tokoh agama? Iya kan? Orang bertobat, tapi kembalikan dong, yang kau curi. Enak saja, sudah nyolong, (bilang) aku bertobat (tapi). Yang kau curi kau kembalikan,“ serunya.
Prabowo menginginkan para koruptor tersebut segera sadar dan bertobat. Tapi, bukan berarti pernyataan tersebut bisa dimaknai, pemerintahan yang dipimpinnya bersedia memaafkan koruptor.
“Bukan saya maafkan koruptor, tidak. Saya mau sadarkan mereka yang sudah terlanjur dulu berbuat dosa, ya bertobatlah itu kan ajaran agama. Bertobatlah kasihan rakyat, kembalikan uang itu sebelum kita cari hartamu kemana pun kita akan cari,” tandasnya.
Khusus terkait dengan penyelsaaian BLBI, ada kemungkinan masa tugas Satgas BLBI akan diperpanjang di era presiden terpilih Prabowo Subianto. Kementerian Keuangan beberapa waktu lalu sempat menargetkan bisa mengumpulkan Rp 2 triliun di 2025, terdiri dari Rp 500 miliar PNBP ke kas negara, Rp 500 miliar penguasaan fisik dan Rp 1 triliun penyitaan.