10 Oktober 2023
12:27 WIB
JAKARTA – Dua puluh lima tahun berlalu, sejumlah agenda besar reformasi seperti pemberantasan korupsi hingga penegakan supremasi hukum dianggap gagal total. Ketua Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Keuangan Negara (LPEKN) Sasmito Hadinegoro menilai, selama 25 tahun terakhir, agenda reformasi justru mengalami kemunduran yang sangat tajam.
Celakanya lagi, komitmen menjadikan demokrasi dan hukum sebagai penglima, kata Sasmito, ternyata hanya isapan jempol belaka.
“Ini reformasi lucu-lucuan saja dan enggak lebih dari retorika elit politik saja. Enggak ada perubahan apa-apa,” ujar Sasmito dalam keterangannya, Selasa (10/10).
Sasmito merunut sejumlah agenda reformasi, mulai dari penegakan hukum, pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), praktek penegakan hukum yang ternyata jalan di tempat.
“Bahkan sekarang ini, korupsi dan nepotisme berjalan lebih jorok, buruk, masif dan vulgar,” serunya.
Demikian juga dari sisi demokratisasi yang merupakan semangat utama reformasi, justru mengalami kemunduran. Padahal, lanjutnya, seharusnya demokrasi melahirkan meritokrasi, siapa yang unggul, dia menjadi pemimpin.
Namun faktanya, sekarang ini, yang terpilih menjadi pemimpin yang punya uang. Akibatnya, vote buying muncul dimana-mana.
“Kita menyaksikan, demokrasi yang semestinya memberikan kebebasan pada rakyat, dibajak politik uang sehingga yang muncul sebagai pemimpin, bukan putra-putri terbaik seperti yang dicita-citakan demokrasi,” tegasnya.
Menurutnya, reformasi ini justru melahirkan oligarki. Bahkan, ia menyebut fenomena oligarki ini sangat kentara di era pemerintahan sekarang ini. Ia pun menduga kuat, oligarki ini berkolaborasi dengan para koruptor, seperti pengemplang dana BLBI Gate-BCA Gate-BDNI Gate-Century Gate.
Reformasi ke Transformasi
Karena itu, salah satu solusi bijak menurutnya adalah dengan melakukan perubahan era reformasi ke era transformasi. “Jangan sampai muncul lagi, 3 L alias Lu-lu-lagi se-anak mantunya,” sergahnya.
Soal oligarki atau suatu bentuk pemerintahan dalam sebuah negara yang kekuasaannya dipegang oleh kelompok tertentu, Ekonom Senior Indef Faisal Basri juga pernah mengatakan hal ini. Dia menilai kondisi perekonomian Indonesia tidak banyak berubah setelah 25 tahun reformasi. Jika dulu negara dikuasai konglomerasi, kini Indonesia justru berada dalam pusaran oligarki. Ketimpangan pun semakin menjadi.
"Sekarang kita lihat apa yang terjadi setelah 25 tahun reformasi, konglomerasi berubah bentuk menjadi oligarki," ujarnya.
Dia mengatakan, ketimpangan bisa dilihat dari jumlah saldo rekening perbankan masyarakat. Inklusi keuangan memang sudah meningkat, tapi jumlah yang tidak punya rekening perbankan juga menunjukkan ketimpangan.
Faisal mengungkapkan aset deposit bank semakin jauh gap-nya. Rekening masyarakat yang memiliki saldo di bawah Rp100 juta jumlahnya sebanyak 99%. Sementara masyarakat yang memiliki simpanan senilai Rp 5 miliar lebih hanya 0,03%, namun mencatatkan pertumbuhan nilai dari 40% menjadi lebih dari 50%.
Menurutny, pada era sebelum reformasi, sumber daya alam juga masih dikelola oleh negara dan memiliki kontribusi besar terhadap pendapatan negara melalui pajak. Namun, kondisi tersebut sangat jauh berbeda saat ini, salah satunya terkait batu bara.
Pada 2022, ekspor batu bara sebesar Rp 850 triliun, tetapi negara disebut enggan mengambil pajak ekspor. Hal ini pun membuat negara tidak mendapatkan windfall profit. Menurutnya, kondisi itu mampu membuka celah bagi pengusaha bidang tersebut untuk menentukan siapa pemimpin Indonesia pada pemilihan umum pada tahun depan.
“Dikasih Rp100 triliun pemilihan presiden yang akan datang, selesai. Dia yang menentukan, saya mau yang ini atau mau yang ini,” ucapnya.
Selain terjadi oligarki, para konglomerat dalam negeri kini juga menguasai sumber daya alam yang ada di Indonesia. Hal semacam itu menurut Faisal tidak terjadi pada masa lalu.
Fundemental Rapuh
Selain gagal membangun politik yang bersih, Sasmito yang juga pemrakarsa Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) ini menilai pemerintahan ini juga tidak mampu membawa bangsa ini keluar dari jerat kemiskinan. Terbukti, selama 10 tahun Jokowi memerintah, kata Sasmito, fundamental ekonomi negara juga rapuh lantaran ekonomi dibangun dengan utang.
Menurutnya, tumpukan utang ini menjadi bom waktu bagi masa depan Indonesia. Sasmito lantas menilai tumpukan utang ini disebabkan tata kelola keuangan negara yang amburadul.
Patut diduga tata kelolanya melanggar konstitusi, bahkan menabrak UU dengan APBN yang ‘selalu besar pasak daripada tiang’. Berdasarkan catatannya, dia menegaskan, UU APBN sejak 20 tahun terakhir, mulai dari 10 tahun rezim SBY dan 10 tahun rezim Jokowi, juga cacat hukum.
Terbukti, sampai saat ini, lebih dari Rp 1.000 Triliun uang pajak rakyat yang disetor rakyat dengan ngos-ngosan, justru dipakai membayar bunga obligasi rekapitalisasi pemerintah ex BLBI Gate. Ironisnya lagi, imbuh Sasmito, pembayaran bunga obligasi ex BLBI gate ini tidak dihentikan pemerintah, tetapi justru seolah dinikmati bersama.
“Jadi, APBN kita cacat hukum,” serunya.
Dia pun menduga telah terjadi korupsi sistemik yang sengaja dibiarkan oleh para penegak hukum dan DPR RI sebagai wakil rakyat yang ternyata melakukan pembiaran. Untuk itu, ia pun menyebut, revolusi keuangan negara sangat penting dilakukan sebagai tindak lanjut revolusi mental presiden Jokowi yang 10 tahun terakhir ini terbukti tidak jelas tolok ukurnya secara kwantitative.
“Saatnya, rakyat bangkit membela kepentingan negara agar negara kita selamat dari jerat utang yang menggunung. Kasihan anak cucu kita di kemudian hari,” pungkasnya.
Banyak Perubahan
Berkebalikan dengan Sasmito dan Faisal, M. Lucky Akbar, Kepala Bagian Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) Kemenkeu seperti dikutip Antara 5 Juni 2023 lalu justru menyatakan, perjalanan 25 tahun Gerakan Reformasi di Indonesia telah membawa banyak perubahan yang mendorong terjadinya berbagai dinamika dalam berbagai bidang.
Di antaranya di bidang politik, ekonomi, serta penanganan Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi permasalahan krusial dalam perjalanan era Orde Baru yang otoriter.
“Salah satu perubahan paling penting yang terjadi selama Gerakan Reformasi adalah terciptanya kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul. Orang-orang Indonesia diberikan hak dan kebebasan untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa takut akan dicap sebagai musuh negara atau diintimidasi oleh pemerintah dan militer,” bebernya.
Terdapat juga perubahan dalam sistem politik Indonesia. Konstitusi baru diterapkan pada tahun 1999 yang memberikan hak memilih yang lebih luas kepada rakyat Indonesia. Sejak itu, lembaga legislatif dan eksekutif tidak lagi didominasi oleh satu partai politik, dan partisipasi masyarakat dalam proses politik semakin besar.
Selain itu, lanjut Lucky, Gerakan Reformasi juga memberikan dampak besar terhadap pemberantasan korupsi dan kejahatan lainnya di Indonesia. Berbagai lembaga tersebut dibentuk untuk mengawasi dan mengaudit kegiatan pemerintah, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
“Melihat capaian dan dampak Gerakan Reformasi selama 25 tahun terakhir, tentu masih banyak tantangan yang harus dihadapi dan disepakati bersama. Reformasi harus terus berlanjut dan perkembangan yang terjadi harus diperjuangkan dan dijaga dengan baik agar Indonesia dapat mencapai kemerdekaan dan demokrasi yang sesuai dengan harapan dan cita-cita masyarakatnya,” bebernya.