c

Selamat

Senin, 17 November 2025

NASIONAL

23 Oktober 2023

20:31 WIB

Langkah Nyata Merawat Penyintas Talasemia

Penyintas talasemia harus melakukan transfusi darah secara rutin. Tak semua pihak punya kesediaan membantu sebagai donor.

Penulis: James Fernando

Editor: Nofanolo Zagoto

Langkah Nyata Merawat Penyintas Talasemia
Langkah Nyata Merawat Penyintas Talasemia
Petugas PMI mengambil darah pendonor saat donor darah peduli talasemia di Car Wash Pakucen, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (17/1/2023). Antara Foto/Adeng Bustomi

JAKARTA - Tidak ada pilihan buat Nina S (35) selain terus menerus menemani anak satu-satunya, Yannes, perawatan secara berkala. Meski baru berusia 8 tahun, Yannes sudah harus menjalani transfusi darah tiga bulan sekali. Penyakit talasemia menderanya belakangan ini. Nina sering tak kuasa menahan tangis jika mengingat hal ini.

Kelainan darah ini sudah diketahuinya Nina sejak Yannes berumur satu tahun. Saat itu, dia melihat anaknya mengalami sering kelelahan dalam waktu yang singkat. Wajah Yannes sering tampak pucat.  

Nina lemas bukan main saat Yannes divonis dokter mengidap penyakit talasemia. Peluangnya untuk sembuh pun disebut sangat kecil.  

Sejak itu, Yannes harus mengawali kesehariannya dengan obat-obatan. Dia juga harus menjalani transfusi darah tiga bulan sekali di rumah sakit agar kondisinya normal. 

Kalau telah melewati tiga bulan, kesehatan Yannes kembali menurun. Kulitnya kembali pucat dan lemas. Yannes juga jadi rentan sakit. 

Kondisi seperti ini terang saja memusingkan Nina dan suaminya. Keduanya harus memutar otak mengumpulkan biaya pengobatan Yannes yang tidak murah. 

Keduanya juga harus selalu bersiap mencari stok darah golongan AB untuk anaknya. Golongan darah ini tergolong langka di Palang Merah Indonesia (PMI) maupun di rumah sakit. Bisa dikatakan stoknya terbatas. Mereka kadang kesulitan mencarinya.

Asal tahu saja, untuk sekali transfusi darah, Yannes membutuhkan dua kantong darah golongan AB per tiga bulan. Untuk satu kantong darah perlu ada uang sebesar Rp450 ribu. Beruntung, ongkos rumah sakit Yannes ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kalau tidak, mereka akan kewalahan memenuhinya.

“Biaya untuk transfusi darah ini tidak murah bagi kami. Pendapatan kami hanya dari toko kelontong,” kata Nina saat berbincang dengan Validnews, Minggu (22/10).

Walau sudah tahunan pontang-panting saban hari mencari biaya Yannes berobat, Nina tetap menyediakan waktu untuk mencari informasi lebih banyak terkait penanganan penyakit talasemia. 

Dia juga sadar perlu berbagi cerita dan pengalaman ke orang lain. Siapa tahu pengalamannya bermanfaat. Buat dirinya sendiri, akan sedikit melegakan jika masih bisa bercerita.

Semuanya itu belakangan dijalani Nina di grup media sosial Facebook bernama Persatuan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia (POPTI). Di situ, dia bisa meminta masukan sesama orang tua penderita talasemia kala harus melakukan penanganan darurat saat kondisi anaknya tiba-tiba menurun drastis. 

Dia juga jadi tahu informasi rumah sakit yang tepat untuk menangani penyakit ini. 

Di sisi lain, Nani berharap pemerintah memberi perhatian dan bantuan kepada anak-anak pengidap penyakit talasemia. Pemerintah melalui BPJS Kesehatan setidaknya dapat memberikan fasilitas lebih baik kepada para penyintas agar kesempatan hidupnya terjaga.

Cari Pendonor Darah
Nani dan orang tua lain yang bernasib sama saat ini masih tertolong dengan kehadiran beberapa komunitas yang mencoba fokus membantu para penderita talasemia. Mereka yang jadi penggerak umumnya adalah orang-orang yang hidup di sekitar para penyintas, atau bahkan si penderita sendiri.   

Muhammad Ghofur Dwiyanto (27) bersama saudara kembarnya adalah diantara penderita yang sekaligus menjadi penolong buat lainnya.

Ghofur sendiri sudah lebih dari 26 tahun menderita penyakit yang sama dengan Yannes. Oleh karenanya, dia tahu betul bagaimana perjuangan anak-anak penderita penyakit talasemia.

Dia dan saudara kembarnya belakangan ini mulai menggerakkan komunitas donor darah di Medan. Komunitas yang digerakkannya ini coba mengajak orang-orang mau membantu para penyintas talasemia. 

Mereka biasanya bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu saat ingin mengajak orang-orang untuk mendonorkan darah.    

Ghofur sadar kebutuhan utama dari penyintas talasemia adalah darah. Tiap para penyintas membutuhkan darah untuk transfusi dengan jangka waktu tertentu.

Sayang, sepengalamannya, tidak semua masyarakat mau berpartisipasi di kegiatan donor darah. Alasan penolakannya beragam, salah satunya karena takut dengan jarum suntik. 

Banyak orang yang diajaknya untuk mendonor juga kerap menanyakan peruntukkan darah yang mereka akan sumbangkan. 

Namun, ketika diterangkan untuk penderita talasemia, termasuk dirinya, Ghofur mendapati tidak banyak orang yang tahu tentang penyakit ini. Meski sadar belum tentu mereka mau setelah tahu, Ghofur tetap akan menerangkan panjang lebar mengenai penyakit talasemia. 

Calon pendonor akan diberitahu bahwa talasemia merupakan penyakit kelainan darah. Mereka harus melakukan transfusi darah secara rutin sesuai dengan anjuran dokter. Ada penyintas yang disarankan transfusi darah tiga bulan sekali, ada pula yang dua minggu sekali. Semua tergantung kondisi penyintas.

Bagusnya, juga terbilang banyak teman-temannya yang tergerak mendonorkan darahnya, terlebih begitu tahu beratnya perjuangan Ghofur yang selama ini membutuhkan donor golongan darah A. 

Usaha Ghofur ini tidak hanya dilakukan secara bertatap muka. Dia juga mencari pada pendonor darah melalui jejaring media sosial. 

Sejauh ini, upayanya berhasil untuk mengumpulkan 25 orang sebagai pendonor tetap. Sumbangan darah ini tak hanya digunakan untuk dirinya dan kembarannya, tapi juga ditawarkan ke penyintas talasemia lainnya.

“Menurut saya dengan terus menerus memberitakan, kampanyekan bahwa banyak orang yang butuh darah. Terkhusus kami penyintas talasemia,” kata Ghofur saat berbincang dengan Validnews, Minggu (22/10).

Komunitas Thalasemia Movement juga melakukan hal yang sama seperti Ghofur. Mereka juga terus berupaya untuk menarik minat masyarakat untuk mendonorkan darahnya untuk penyintas talasemia.

Salah satu pengurus di Thalassemia Movement, Marni Suminarsi (28) bercerita momen kegiatan donor darah besar biasanya dijalankan di bulan Ramadan. Kegiatan yang dinamakan Dora (Donor Darah Ramadan) dijalankan bersama PMI dan beberapa RSUD.

Antusias masyarakat untuk mengikuti kegiatan ini tergolong sangat tinggi. Selama bulan Ramadan tahun 2023 saja, Marni dan teman-temannya berhasil mendatangkan untuk sekitar 750 orang dari berbagai kalangan.

Akan tetapi seperti biasa, orang-orang yang diajak mulanya ragu ikut kegiatan mereka. Marni dan rekan-rekannya juga harus panjang sabar menerangkan bahaya penyakit talasemia secara rinci terlebih dahulu sebelumnya akhirnya mereka mau menyumbangkan darahnya. Itu pun belum tentu semua serentak mau. 

Ada saja masyarakat yang mundur karena alasan takut jarum suntik. Ada juga yang beralasan memiliki penyakit turunan.

Pernah juga di masa pandemi covid-19, Marni dan teman-temannya kesulitan mendapatkan darah. Orang-orang takut berkerumun apalagi datang ke rumah sakit.

“Antusias masyarakat ini tinggi karena memang kami menceritakan soal kehidupan kami yang bergantung dengan transfusi dari darah yang disumbangkan,” kata Marni saat berbincang dengan Validnews, Minggu (22/10). 

Sebagian besar anggota Thalassemia Movement memang berstatus penyintas. Namun, meski sangat membutuhkan sumbangan darah, mereka juga membuka peluang untuk membagikan darah yang mereka dapat untuk penyintas lain di luar komunitas.

Skrining Talasemia
Selain mencari pendonor darah, Marni dan teman-temannya mengaku akan terus mengedukasi masyarakat soal deteksi dini penyakit talasemia. Mereka tidak mau jumlah penyintas terus bertambah.

Dirinya dan rekan-rekannya selalu mengingatkan kepada pasangan yang hendak menikah untuk melakukan skrining guna memastikan apakah kedua pasangan memiliki penyakit genetik ini atau tidak. 

Penyakit ini memang diturunkan secara genetik. Karena itu, pasangan menjadi salah satu pembawa talasemia.  

Oleh karena itu, komunitasnya terus mensosialisasikan pentingnya skrining sebelum menikah. Hal ini diharapkan Marni bisa membantu pasangan untuk memilih langkah tepat bila salah satu di antaranya mereka memiliki sifat bawaan talasemia.

“Kami tidak akan bosan-bosan mengampanyekan soal stop talasemia. Kami menargetkan kesadaran orang-orang,” ucapnya.

Marni dan teman-teman juga membuat wadah untuk para pasien talasemia berbagi cerita. Perjuangan mereka berat melawan talasemia. Marni sendiri sudah 27 tahun melawan penyakit ini.

Dengan berbagi cerita, para penyintas akan bisa saling menguatkan. Terutama buat mereka yang mengalami gangguan psikologi karena tahu mengidap penyakit turunan ini.

“Kami itu cuma bisa saling menguatkan dan mengingatkan agar tetap berjuang melawan penyakit ini meski belum bisa disembuhkan,” kata Marni.

Di sisi lain, Marni dan teman-temannya berharap pemerintah melaksanakan program skrining nasional. 

Mereka ingin pemerintah menerbitkan peraturan yang pasti soal pengendalian dan pencegahan penyakit tidak menular, khususnya talasemia ini.

Permintaan mereka cukup beralasan. Sebab World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa insiden pembawa sifat talasemia di Indonesia berkisar 6-10%. Artinya, dari setiap 100 penduduk terdapat 6-10 orang yang merupakan pembawa sifat talasemia.

Dia juga berharap BPJS Kesehatan mengubah peraturan rujukan untuk pengidap talasemia. Sampai saat ini, Marni dan para penyintas lainnya harus memperbaharui rujukan selama sebulan sekali. Padahal, talasemia adalah penyakit seumur hidup.

“Jadi kami tidak perlu repot-repot untuk memperbaharui rujukan. Mereka juga telah menyuarakan hal ini ke pemerintah, namun belum mendapatkan respons baik,” kata Marni.

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah berharap pemerintah menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat yang mengidap penyakit turunan ini. Pemerintah dirasanya perlu membuat peraturan khusus.

Setahu Trubus, pemerintah sampai saat ini belum menunjukkan aksi yang maksimal di bidang kesehatan. Karena itu perlu ada kebijakan yang pasti dari pemerintah untuk memastikan kesehatan masyarakat.

Pemerintah memang memiliki program Gerakan Masyarakat Sehat. Talasemia ini semestinya dapat dimasukkan ke dalam gerakan tersebut. 

“Pemerintah harus membuat peraturan yang berpihak ke para penyintas. Tapi secara umum memang belum ada upaya maksimal yang ditunjukan pemerintah untuk masalah kesehatan ini,” kata Trubus, kepada Validnews, Minggu (22/10). 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar