c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

NASIONAL

21 Mei 2021

13:05 WIB

KSPI Keberatan Tarif Vaksin Gotong Royong

Kebijakan ini diduga bakal memberatkan pekerja di kemudian hari

Penulis: Herry Supriyatna

Editor: Leo Wisnu Susapto

KSPI Keberatan Tarif Vaksin Gotong Royong
KSPI Keberatan Tarif Vaksin Gotong Royong
Ilustrasi pekerja antre untuk vaksin covid-19. ANTARAFOTO/Fikri Yusuf

JAKARTA – Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, mempermasalahkan pemberian vaksin yang dilakukan secara berbayar. Ketentuan itu tertuang dalam surat keputusan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin pada 11 Mei 2021.

Jika ini dilanjutkan, dia menduga akan terjadi komersialisasi yang menguntungkan pihak tertentu. Namun berpotensi merugikan konsumen, yakni rakyat termasuk buruh, yang menerima vaksin.

“Program vaksinisasi berbayar yang dikenal dengan nama Vaksin Gotong Royong, sekalipun biaya vaksinisasi dibayar oleh pengusaha, dikhawatirkan akan terjadi komersialisasi vaksin atau transaksi jual beli harga vaksin yang dikendalikan oleh produsen (pembuat vaksin)," urai Said dalam keterangan persnya, Jumat (21/5).

Menkes tarif vaksin gotong royong buatan Sinopharm sebesar Rp321.660 per dosis dan belum memasukkan biaya pelayanan vaksinasi. Tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp117.910 per dosis. 

Jika dijumlahkan, total harga sekali penyuntikan Rp439.570 atau kisaran Rp800 ribuan untuk dua kali penyuntikan.

Terkait dengan hal itu, ada beberapa alasan yang menjadi kekhawatiran KSPI bahwa vaksin gotong royong akan menyebabkan komersialisasi. 

Pertama, berkaca dari program rapid test untuk mendeteksi ada atau tidaknya seseorang terpapar virus covid-19, baik rapid test serologi, antigen, dan PCR, mekanisme harga di pasaran cenderung mengikuti hukum pasar. 

Awalnya pemerintah menggratiskan program rapid test, tetapi belakangan terjadi komersialisasi dengan harga yang memberatkan. Misalkan, adanya kewajiban rapid test sebelum naik pesawat dan kereta api, bertemu pejabat, bahkan ada buruh yang masuk kerja pun diharuskan rapid test. 

Kedua, kemampuan keuangan tiap-tiap perusahaan berbeda. Said Iqbal memperkirakan, jumlah perusahaan menengah ke atas yang mampu membayar vaksin tidak lebih dari 10% dari total jumlah perusahaan di Indonesia. Atau, dengan kata lain hanya 20% dari total jumlah pekerja di seluruh Indonesia yang perusahaannya mampu membayar vaksin gotong royong tersebut.

Berarti hampir 90% dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia atau lebih dari 80% dari total jumlah pekerja di Indonesia, perusahaannya tidak mampu membayar vaksin gotong royong.

Jumlah buruh di Indonesia sangat besar. Menurut data BPS 2020 jumlah buruh formal sekitar 56,4 juta orang. Sementara, buruh informal sekitar 75 juta orang. Total jumlah buruh di Indonesia ada sekitar 130 jutaan orang. Bila dijumlahkan dengan anggota keluarga, diprediksi mendekati angka 200 jutaan orang. 

Dia perkirakan jika 130 juta buruh mengikuti vaksin gotong royong, dengan asumsi dua kali vaksin, anggaran yang harus disediakan mencapai Rp104 triliun.

“Ini hanya proyek lip service karena sulit diimplementasikan. Vaksin gotong royong hanya membebani buruh,” tegasnya. 

Ketiga, sulit menjalankan program ini di tengah ledakan PHK, pengurangan upah buruh, dan resesi ekonomi yang saat ini masih mengancam. Biaya vaksin gotong royong akan memberatkan perusahaan dan pada gilirannya nanti justru akan menekan kesejahteraan buruh.

Hal lain, mengingat jenis vaksin yang digunakan berbeda dengan vaksin secara gratis oleh pemerintah, Said Iqbal mengingatkan agar buruh tidak dijadikan uji coba vaksin. Harus dipastikan vaksin yang digunakan halal dan aman. 

Dia menyarankan, bila pemerintah membutuhkan anggaran tambahan untuk vaksin gotong royong ini, pemerintah bisa menaikkan sedikit nilai pajak badan perusahaan (PPH 25). Serta memanfaatkan sebagian anggaran Kesehatan yang dalam UU Kesehatan besarnya adalah 5% dari APBN dengan cara melakukan efisiensi birokrasi di bidang kesehatan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar