27 September 2024
19:04 WIB
KPPPA Ingatkan Perlunya Perpres Terkait Sunat Perempuan
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021, sebanyak 55% anak perempuan usia 15-49 tahun di Indonesia menjalani sunat perempuan
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Nofanolo Zagoto
Foto ilustrasi sunat. Antara
JAKARTA - Sekretaris Kementerian PPPA, Titi Eko Rahayu mengungkapkan, pemerintah perlu memperkuat kebijakan terkait praktik pemotongan dan perlukaan genital perempuan (P2GP) atau sunat perempuan melalui penerbitan peraturan presiden.
Menurutnya, meski pemerintah telah memiliki Rencana Aksi Nasional Pencegahan Praktik Sunat Perempuan 2020-2030 yang ditetapkan pada tahun 2019 lalu, tetapi hingga saat ini belum ada peraturan yang diterbitkan untuk memperkuat kebijakan tersebut.
“Selain mengedukasi masyarakat kami juga akan mendorong stakeholder terkait untuk segera menerbitkan perpres atau permen, sehingga pencegahan praktik sunat perempuan ini bisa benar-benar dilakukan,” ujar Titi dalam keterangan yang diterima, Jumat (27/9).
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilaksanakan 2021 menyebutkan 55% anak perempuan usia 15-49 tahun yang tinggal di Indonesia menjalani sunat perempuan. Bahkan, berdasarkan data UNICEF tahun 2015, Indonesia masuk dalam tiga besar negara yang penduduknya masih menjalani praktik sunat perempuan.
Padahal, sunat perempuan secara internasional telah dinyatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia atas kesehatan dan integritas perempuan. Sunat perempuan termasuk tindak kekerasan karena berdampak negatif pada kesehatan perempuan dan dapat mengakibatkan korban meninggal dunia
Praktik berbahaya ini masih dilaksanakan secara turun temurun di masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi praktik ini masih terus dilakukan adalah adanya pemahaman atau tafsir agama dan budaya dimana perempuan itu tinggal.
“Alasannya ada banyak, tetapi yang paling utama adalah akrena mengikuti perintah agama, kemudian sunat perempuan merupakan budaya, dan mispersepsi yang menganggap sunat perempuan akan membuat perempuan subur,” ujar Titi.
Titi menambahkan, sunat perempuan harus benar-benar dihapuskan di Indonesia. Sebab, pemotongan dan pelukaan yang membahayakan genitalia perempuan di Indonesia pada umumnya dilakukan sejak kecil. Perempuan tidak menyadari dampaknya hingga saat mereka tumbuh dewasa.
“STOP Praktik Sunat Perempuan” kepada stakeholder dan masyarakat, kami berharap semua pihak bisa ikut berkolaborasi, bekerjasama, bersinergi dalam upaya mencegah tindakan sunat perempuan yang membahayakan tanpa alasan medis,” ujar Titi.