06 Oktober 2025
17:12 WIB
KPK Usul Pasal Gratifikasi Dihapus
KPK mengusulkan pasal gratifikasi di UU Tipikor dihilangkan supaya tidak bias dengan suap
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Ketua KPK Setyo Budiyanto di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Senin (6/10/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)
JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, berharap Undang-Undang UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) direvisi. Dia ingin gratifikasi dalam UU Tipikor dihapuskan.
Menurutnya, aturan penyelenggara negara tak terjerat tindak pidana bila menyerahkan barang atau uang yang diterimanya dalam kurun waktu 30 hari menimbulkan bias atau kekeliruan terkait gratifikasi dengan suap.
“Kalau perlu gratifikasi itu malah dihilangkan supaya tidak bias antara gratifikasi dengan suap. Sekarang orang masih berpikir, ‘Ah yang penting saya kasih waktu 30 hari’. Begitu 30 hari kurang satu detik lupa, lewat 31 hari sudah kena aturan, jatuhnya masuk ke suap,” jelasnya, dalam Forum Nasional Penguatan Tata Kelola Kolaboratif di Kementerian Hukum, Jakarta, Senin (6/10).
Sebagai gambaran, penerimaan gratifikasi merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang dapat diancam hukuman sebagaimana diatur dalam UU Tipikor. Namun, penerimaan gratifikasi dapat tidak dianggap sebagai perbuatan pidana apabila penerimaan tersebut dilaporkan ke KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak gratifikasi diterima, sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 C UU Tipikor.
Setyo mengatakan, perubahan UU Tipikor adalah sebuah keniscayaan untuk perbaikan pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Utamanya mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang sudah sering disampaikan dalam program-program penting oleh Bapak Presiden,” katanya.
Dia turut menyoroti rendahnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia meski ada peningkatan di tahun 2025. Tercatat nilai IPK Indonesia masih di bawah 40 atau tepatnya 37.
Untuk itu, Setyo mengingatkan, ada sembilan indikator yang ada di IPK yang mesti diperbaiki ke depannya.
“Dari sembilan indikator yang ada di IPK itu bukan hanya soal penegakan hukum, termasuk pemerintahan, termasuk sosial, politik, termasuk keamanan, penegakan hukum, dan lain-lain. Masih banyak lagi indikator-indikator tersebut yang harus kita pahami dan harus kita perbaiki,” pesannya.