KPAI menyebutkan beberapa anak penerima Makan Bergizi Gratis (MBG) mengalami trauma karena didatangi aparat setelah berkomentar di media terkait MBG, atau mengalami trauma mengalami keracunan
Ilustrasi Makan Bergizi Gratis. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan dua bentuk trauma yang dialami anak berkaitan dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Hal ini diketahui dari hasil pemantauan KPAI ke lapangan dan wawancara mendalam dengan anak-anak terdampak keracunan MBG.
"Tentu terkait trauma ini masing-masing anak berbeda situasinya," ungkap Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra, dalam acara peluncuran hasil survei Kajian Suara Anak: Mengedepankan Perspektif Anak dalam Program MBG di kantor KPAI, Jakarta Pusat, Rabu (12/11).
Dia memaparkan, bentuk trauma pertama adalah anak takut karena pernah didatangi aparat setelah berkomentar di media terkait MBG. Kejadian ini bisa membuat orang tua marah kepada anak karena tidak semua keluarga siap didatangi aparat.
Selanjutnya, bentuk trauma kedua adalah anak-anak tidak mau mengonsumsi paket MBG setelah mengalami atau mendengar kabar keracunan MBG. Padahal, sebagian dari mereka berasal dari keluarga prasejahtera yang membutuhkan paket makanan itu. Anak-anak tersebut juga mempertanyakan proses pengolahan makanan dan keamanan pangan di dapur MBG.
Jasra berkata, merespons hal itu KPAI merekomendasikan agar penyelenggara MBG memahami dan menerapkan prinsip perlindungan anak. Hal ini agar setiap situasi terkait MBG di lapangan dapat ditangani dengan cara-cara yang ramah anak.
Dia juga meminta agar pemerintah daerah melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyediakan tim psikologi untuk mendampingi anak-anak yang memiliki trauma terkait MBG. Sebab, tanpa pendampingan psikologis trauma tersebut dikhawatirkan dapat berlanjut.
"Kita khawatir dia takut juga memakan makanan yang lain. Ini harus kita antisipasi sehingga pemenuhan gizi dan nutrisinya terbentuk secara baik," jelas Jasra.
Sejalan dengan itu, tim peneliti Kajian Suara Anak memaparkan, kajian mereka menemukan adanya hubungan antara MBG dengan kekerasan pada anak. MBG berpotensi menjadi bentuk kekerasan terhadap anak karena terpenuhinya unsur intimidasi dan kelalaian yang berdampak terhadap penderitaan secara fisik dan psikis pada anak.
Peneliti menjelaskan, unsur intimidasi terlihat dari adanya kasus intimidasi oleh kepala dapur terhadap siswa yang melaporkan dan memviralkan menu MBG tidak layak. Sementara itu, unsur kelalaian terlihat dari 35,9% responden survei yang pernah menerima makanan MBG basi, rusak, dan berbau. Dia pun merekomendasikan agar penyelenggara MBG memperbaiki hal ini.
"Pastikan tidak ada lagi intimidasi maupun bentuk kelalaian lain dalam pelaksanaan MBG yang berdampak terhadap kondisi fisik maupun psikis anak sebagai penerima manfaat dari program MBG," pungkas peneliti.