23 Juli 2025
18:48 WIB
KPAI Kawal Kasus Pengeroyokan Siswa Di Blitar
Kasus pengeroyokan siswa di Blitar hanyalah salah satu kasus perundungan yang mencuat pada awal tahun ajaran baru 2025/2026, sebab KPAI sudah menerima beberapa kasus perundungan siswa
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Nofanolo Zagoto
Ilustrasi perundungan di sekolah. Shutterstock/Light Field Studios
JAKARTA - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengawal kasus pengeroyokan yang menimpa siswa SMPN Doko, Blitar, Jawa Timur. Kasus ini sudah dilaporkan secara resmi ke kepolisian resor (polres) setempat.
"Sudah masuk dalam tahap penyelidikan. Kita kawal saja prosesnya," ujar Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, dalam konferensi pers yang dipantau secara daring, Rabu (23/7).
Dia melanjutkan, sejauh ini sebanyak 14 siswa sudah dimintai keterangan sebagai saksi. Para murid itu juga mendapatkan penanganan khusus sebagai anak berkonflik dengan hukum, sesuai amanat Undang-Undang (UU) Sistem Peradilan Anak.
Sementara itu, anak korban masih mengalami trauma. KPAI pun telah meminta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Blitar untuk memberikan pendampingan psikologis.
"Tetap kita tegakkan keadilan bagi korban dan juga anak-anak yang lain," kata Diyah.
Kasus pengeroyokan siswa di Blitar dipastikan Diyah hanyalah salah satu kasus perundungan yang mencuat pada awal tahun ajaran baru 2025/2026. Sebab, KPAI sudah menerima beberapa kasus perundungan murid dari berbagai daerah.
Ia menjelaskan, awal tahun ajaran baru memang waktu yang sangat rentan terjadi perundungan terhadap murid. Pola ini diketahui KPAI dari peta siklus kekerasan fisik pada anak yang disusun sejak dua tahun lalu.
"Di tahun ajaran baru itu muncul junioritas dan senioritas, nah di situ awal dari bullying," tambah Diyah.
Sebelumnya, pengeroyokan menimpa murid SMPN Doko berinisial WV pada Jumat (18/7). Menurut keterangan korban, dia awalnya dipanggil oleh kakak kelas ke bagian belakang kamar mandi sekolah. Di sana, berkumpul sekitar 20 murid kelas 7-9 yang mulai mengolok-olok dan melakukan kekerasan fisik kepada korban.
Korban sempat diancam untuk tidak melaporkan kejadian tersebut kepada guru atau orang tua. Namun, korban tetap menceritakan kejadian itu kepada orang tuanya sepulang sekolah. Orang tua korban pun melaporkan kasus itu ke kepolisian.