c

Selamat

Kamis, 25 April 2024

NASIONAL

14 Maret 2022

18:22 WIB

KPA: Lahan IKN Nusantara Tak Seluruhnya Milik Negara

Lahan IKN Nusantara merupakan milik masyarakat adat atau petani yang sudah bertahun-tahun lamanya digarap bersama.

Penulis: Dwi Herlambang

Editor: Nofanolo Zagoto

KPA: Lahan IKN Nusantara Tak Seluruhnya Milik Negara
KPA: Lahan IKN Nusantara Tak Seluruhnya Milik Negara
Sejumlah mobil melintas di jalan kawasan IKN Nusantara di Kec Sepaku, Kab Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (6/2/2022). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S

JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menjelaskan lokasi IKN bukan tanah kosong atau benar-benar dikuasai oleh negara. Tanah tersebut merupakan milik masyarakat adat atau petani yang sudah bertahun-tahun lamanya digarap bersama.

Kepala Advokasi KPA, Roni Septian menjelaskan bahwa tanah adat ini diambil oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menetapkan secara sepihak wilayah dan tanah masyarakat adat sebagai kawasan hutan negara.

“Hasilnya pemerintah leluasa menerbitkan banyak izin kehutanan, tambang dan HGU di atasnya dan memaksa masyarakat adat pergi dari rumahnya,” kata Roni dalam webinar virtual, Senin (14/3).

Penetapan Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara menjadi lokasi IKN, tidak terlepas dari dukungan Kebijakan Satu Peta (KSP), dengan melihat konflik pemanfaatan ruang melalui Peta Indikatif Tumpang Tindih Informasi Geospasial Tematik (PITTI). Di Kutai Kartanegara luas tumpang tindih IGT (Informasi Geospasial Tematik) sebesar 1.224.183 hektare (ha) atau 46,07% dari luas wilayah kabupaten.

Sementara di Penajam Paser Utara luas tumpang IGT sebesar 218.729 ha atau  67,89% dari luas wilayah kabupaten, tumpang tindih Izin/aak atas tanah pada tatakan (RTRW dan Kawasan Hutan) yang dianggap selaras pada kedua kabupaten menjadi yang terbesar, di Kutai Negara hingga 31,10% dan di Penajam Paser Utara 45,64%, artinya penunjukan lokasi IKN menyisakan konflik agraria. 

Roni menjelaskan, dari catatan KPA, selama lima tahun terakhir terdapat 30 konflik agraria dengan luas lahan hingga 64.707 ha akibat masalah tumpang tindih tanah tersebut.

Sementara itu, Walhi dalam kajiannya, menilai lokasi IKN adalah wilayah strategis dan pendukung kebutuhan sumber air bagi masyarakat di wilayah sekitarnya. Pembangunan IKN akan menghilangkan keberadaan ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan seluas 2.603,41 hektare.

Dari data yang terkonsolidasi di Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), telah terjadi pengingkaran atau penghilangan hak-hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya di dua lokasi IKN, melalui penunjukan atau penetapan status dan fungsi kawasan hutan secara sepihak, di Kabupaten Penajam Paser Utara, 57% luas wilayah Komunitas Adat Kelurahan Sepan ditetapkan sebagai kawasan hutan.

Di Kabupaten Kutai Kartanegara, 98,59% wilayah komunitas masyarakat adat Long Top juga ditetapkan sebagai kawasan hutan dan hanya menyisakan 1,4% sebagai Area Penggunaan Lain (APL).

Tak hanya itu, lahan masyarakat adat Long Top juga terkikis oleh korporasi. Setidaknya 49% wilayah adat Long Top berada pada area Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan pertambangan emas--97,32% dari luas total areal konsesinya yang berada di wilayah adat berstatus kawasan hutan dan area terbesar ada pada kawasan hutan dengan fungsi lindung.

Sementara itu, 74,73% wilayah adat komunitas Kelurahan Sepan berada pada area IUP perusahaan pertambangan batu bara, 42% dari luas total areal konsesinya yang berada di wilayah adat berstatus kawasan hutan produksi.

“Hal ini menunjukkan bahwa penetapan lokasi IKN, belum pada melihat perlindungan atas hak – hak masyarakat (adat/lokal) atas wilayahnya,” tukasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar