15 Mei 2024
18:40 WIB
Koridor Penghubung Habitat Jadi Solusi Meminimalisir Konflik Manusia-Satwa
KLHK menilai, perlu langkah tegas untuk membangun koridor-koridor penghubung habitat dalam kawasan konservasi yang terisolasi sehingga konflik manusia-satwa kian berkurang..
Editor: Rikando Somba
Harimau Sumatra liar berada di dalam kandang jebak (Box Trap) di kawasan Desa Lhok Bengkuang, Aceh Selatan, Aceh, Senin (25/7/2022). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas
JAKARTA - Konflik manusia dengan satwa liar kian banyak. Untuk mencegah hal ini kian sering terjadi, Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Alue Dohong mengatakan, perlu membangun koridor penghubung habitat sebagai salah satu cara menekan konflik satwa liar dan manusia.
Meski sudah menghasilkan berbagai prestasi dalam upaya konservasi hewan terancam punah, Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan termasuk fragmentasi habitat para satwa.
"Saya sering melihat kejadian konflik satwa dengan manusia itu akan terus terjadi kalau kondisi fragmentasi habitat itu terjadi dan kawasan-kawasan konservasi ini terisolasi sendiri tanpa ada connected corridors-nya," kata Alue saat membuka Pekan Keanekaragaman Hayati di Jakarta, Rabu (15/5),
Dia mengingatkan jika tidak dilakukan langkah yang lebih tegas termasuk membangun koridor penghubung maka konflik satwa liar dan manusia masih akan terus terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, dia mendorong agar wilayah di Indonesia yang memiliki kondisi habitat terfragmentasi atau terpisah-pisah satu dengan lainnya dan sering timbul konflik satwa dengan manusia seperti Riau untuk dapat memiliki koridor penghubung antarhabitat.
Menurutnya, perlu dilakukan semacam langkah tegas untuk membangun koridor-koridor yang menghubungkan kawasan konservasi yang terisolasi. Memastikan keleluasaan penjelajahan satwa liar dan memperkecil interaksi dengan manusia yang dapat berujung kepada konflik.
"Tidak peduli apakah ada sawit yang kita buang sebagian, kita bangun kembali, supaya dia saling terhubung. Hanya cara-cara itu yang bisa menekan atau meminimalkan konflik manusia dengan satwa," kata Alue.

Kajian Gajah
Pada kesempatan berbeda, Pusat Kajian Sejarah (Puskas) Sumatera Selatan melakukan kajian tentang gajah Palembang di kawasan Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) selama tiga hari sejak 8 Mei 2024 hingga Jumat ini.
Dikutip dari Antara, Puskas Sumsel menurunkan tim beranggotakan Vebri Al-Lintani, Ali Goik, Kemas Panji, Dudy Oskandar, Dayat, dengan Ketua Tim Dedi Irwanto. Dalam kegiatan itu, tim turun ke lima desa yang sering mengalami konflik dengan gajah yakni Desa Bukit Batu, Simpang Heran, Banyu Biru, Srijaya Baru, dan Desa Jadi Mulya.
Salah seorang anggota Puskas Sumsel Ali Goik seusai melakukan kajian itu di Palembang, Jumat, mengatakan hingga kini banyak orang tidak mengetahui Kota Palembang merupakan daerah gajah.
Ketidaktahuan orang bahwa Palembang sebagai Ibu kota Sumatra Selatan itu adalah daerah gajah membuat Puskas provinsi ini melakukan kajian tentang satwa langka tersebut.
Khusus di Desa Bukit Batu tim peneliti melakukan berbagai wawancara dengan penduduk lokal. Wawancara itu untuk mengindentifikasi keberadaan gajah terutama akar konflik antara manusia dan gajah di desa tersebut.
“Kami merasakan adanya konflik ini, yang utama habitat gajah diusik oleh manusia. Gajah memiliki jelajah edar yang bersifat siklus, berdasarkan pendapat masyarakat tersebut wilayah edar gajah tidak sengaja diganggu sehingga gajah masuk dan terkadang mengamuk di permukiman," ujarnya.
Namun, yang menarik adalah kepercayaan warga dahulu, menghalau gajah cukup dengan kata-kata tersebut di atas. ka gajah akan segera pergi.
Sekarang ini untuk menghalau gajah, harus dengan berbagai cara dan berganti strategi seperti bulan ini harus pakai tetabuan kaleng kemudian bulan berikutnya perlu menggunakan suara petasan/mercon demikian seterusnya, ujar Ali Goik. Sementara itu, anggota tim Puskas Sumsel lainnya Vebri Al-Lintani menjelaskan berdasarkan informasi dari masyarakat, pada masa lalu ada harmonisasi antara kehidupan gajah dan manusia di provinsi ini.
“Gajah itu hewan cerdas, merasa terganggu kalau diusik. Tokoh Si Dasir dalam tradisi li Sumsel, contohnya. Si Dasir mati karena mengusik gajah. Selain itu, dalam sejarah Raja Sriwijaya, Shih-Ling-Chia dikatakan menaiki gajah jika melakukan perjalanan jauh. Artinya, sejak masa lampau gajah Palembang sudah mendukung kehidupan manusia di Sumsel, bukan berkonflik seperti dikeluhkan masyarakat sekarang ini," cakap Vebri.
Menurut budayawan Sumsel itu jika ada konflik manusia dengan gajah, harus dicari solusi budayanya yang pas.
Tim Puskas Sumsel melalui kajian berupaya mencari akar masalah gajah yang sering menjadi persoalan di tengah pemukiman masyarakat Air Sugihan.
Selama ini ada kesan di lapangan bahwa persoalan konflik gajah dan manusia terkesan saling lempar tangan dalam penanganannya. Oleh sebab itu, Tim Puskas Sumsel melakukan kajian dengan mencari akar konfliknya sekaligus berbagai kearifan lokal tentang gajah, sehingga dapat dilakukan saran-saran dalam penanganan gajah di daerah Air Sugihan.
“Sejak awal Maret 2024 kami telah mengumpulkan berbagai dokumentasi, kemudian dilanjutkan dengan studi lapangan, serta melakukan berbagai wawancara dengan ahli dan masyarakat awam tentang gajah," kata Vebri.
Sementara itu, Ketua Tim Paskas Sumsel Dedi Irwanto mengatakan dia bersama rekannya turun ke lapangan mendokumenkan dan menarasikan tentang kehidupan gajah, baik secara lintasan waktu di masa lampau maupun masa kini termasuk penanganan gajah dari waktu ke waktu, khususnya gajah Palembang Hasil kajian ini akan dijadikan buku pengetahuan tentang gajah Palembang.
Keberadaan buku seperti itu terbilang masih langka dalam khazanah literasi di Sumatera Selatan, sehingga pengetahuan orang tentang gajah dirasakan mulai menurun, ucapnya.
Sementara anggota tim yang juga sejarawan Kemas A. Panji menambahkan buku hasil kajian itu semacam upaya mengembalikan citra Sumsel sebagai tempat utama rumah gajah Sumatera.
Selama ini, Lampung yang dikenal sebagai daerah gajah, padahal gajah dari Lampung sebagian besar berasal dari Sumsel terutama Air Sugihan dan sekitarnya yang digiring ke Lampung pada waktu Operasi Ghanesa, kata sejarawan Kemas A. Panji itu.