16 Januari 2025
18:07 WIB
Konflik Agraria Diprediksi Meningkat Tahun 2025
Konflik agraria diperkirakan WALHI kebanyakan akan terjadi di wilayah proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), Rempang Eco-City dan Mandalika
Penulis: Gisesya Ranggawari
Editor: Nofanolo Zagoto
Foto ilustrasi kawasan hutan. Shutterstock/Yusnizam Yusof
JAKARTA - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dalam outlook lingkungan hidup 2025 memprediksi tahun ini krisis ekologi dan konflik agraria akan meningkat. Hal itu terjadi berdasarkan beberapa faktor seperti deforestasi dan penggusuran masyarakat adat.
Deputi Eksternal Eksekutif Nasional WALHI, Mukri Friatna menyampaikan deforestasi dan degradasi lingkungan diprediksi akan meningkat 0,5 sampai 0,6 juta hektare di tahun 2025. Apalagi, anggaran penyelamatan hutan tidak dialokasikan untuk reforestasi.
"Melakukan reforestasi hanya 3.400 hektare, tanpa tindakan yang lain. Kalau hanya menanam segitu, sampai kapanpun tidak akan terjawab," kata Mukri di Jakarta Pusat, Kamis (16/1).
Ia mengatakan, WALHI juga memprediksi konflik agraria akan semakin bertambah di tahun 2025. Konflik agraria diperkirakan kebanyakan akan terjadi di wilayah proyek strategis nasional seperti Ibu Kota Nusantara (IKN), Rempang Eco-City dan Mandalika.
Menurut catatan WALHI, pada tahun 2023 terdapat 346 konflik agraria dengan luas sekitar 638 ribu hektare dan melibatkan 135 ribu keluarga.
"Konflik meningkat akibat kebijakan UU Cipta Kerja yang mempermudah alih fungsi lahan untuk investasi," imbuh Mukri.
Mukri menambahkan, lokasi-lokasi seperti Maluku, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan diprediksi mengalami peningkatan pencemaran udara, pencemaran pesisir pantai dan pencemaran air karena terdapat industri tambang berbasis nikel.
"Di lingkungan perusahaan tersebut ada 116 smelter yang mayoritas penggeraknya menggunakan bahan bakar batu bara. Limbahnya dibuang ke perairan," jelas Mukri.
Selain itu, WALHI juga memprediksi proyek food estate akan mengalami kegagalan. Food estate dianggap gagal memenuhi tujuan ketahanan pangan, justru menghasilkan konflik agraria, degradasi lahan gambut dan penggusuran masyarakat adat.
"Terlebih, target luas lahan food estate mencapai 2 juta hektare di Papua dan 770 ribu hektare di Kalimantan Tengah," tutur dia.