Dia menjelaskan, poin-poin yang disorot Komnas HAM merupakan hasil dari kajian terkait RUU TNI yang sudah mereka lakukan sejak tahun 2024. Kajian ini menyoroti isu-isu yang berisiko berdampak pada hak asasi manusia, supremasi sipil, dan prinsip demokrasi.
Baca juga: Revisi UU TNI Akan Disahkan BesokSementara itu, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Anis Hidayah menambahkan, lembaganya juga mencatat dua temuan utama terkait RUU TNI. Pertama, RUU ini memungkinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan pada 16 kementerian/lembaga sipil. Di samping itu, ada pengaturan bahwa Presiden dapat membuka ruang penempatan prajurit TNI aktif di sejumlah kementerian lainnya.
Hal itu berisiko menghidupkan kembali praktik dwifungsi TNI yang bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Kepolisian RI. Selain itu, juga bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokrasi.
Kedua, RUU TNI memuat usul perpanjangan usia pensiun prajurit TNI. Anis menyebut, hal ini berisiko menyebabkan stagnansi regenerasi kepemimpinan, inefisiensi anggaran, dan penumpukan personil tanpa kejelasan tugas.
"Pengaturan Pasal 53 ayat 2 dan ayat 4 usulan perubahan ini akan menjadikan pengelolaan jabatan di lingkungan organisasi TNI menjadi politis," ujar Anis.
Oleh karena itu, Komnas HAM pun memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan DPR terkait pembahasan RUU TNI. Pertama, lakukan evaluasi menyeluruh terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebelum mengusulkan perubahan regulasi.
Kedua, jamin partisipasi publik yang bermakna dalam proses penyusunan RUU TNI. Ketiga, RUU TNI harus mencegah kembalinya dwifungsi TNI. Keempat, kaji ulang usul perpanjangan usia pensiun prajurit TNI.