09 Oktober 2025
10:28 WIB
Koalisi Sipil Sebut Prabowo Rusak Sistem Kenaikan Pangkat TNI
Sejak awal, koalisi sipil menilai pola kenaikan pangkat prajurit TNI yang diterapkan Prabowo menerapkan faktor kedekatan.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Presiden Prabowo Subianto bertindak sebagai inspektur upacara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 TNI yang digelar di Lapangan Silang Monumen Nasional (Monas), Jakarta, pada Minggu (5/10/2025). BPMI Setpres.
JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil menilai keliru pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait kenaikan pangkat prajurit TNI merusak sistem yang benar. Prabowo saat pidato di Hari Ulang Tahun TNI ke-80, Minggu (5/10) memberikan izin kepada Panglima TNI dan Kepala Staf TNI tiap matra dalam rangka seleksi kepemimpinan, tidak perlu terlalu memperhitungkan senioritas melainkan mementingkan prestasi, pengabdian, dan cinta tanah air.
Koalisi menilai pernyataan Presiden itu keliru dan tidak tepat. Pernyataan ini juga membingungkan bagi prajurit TNI dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sebagaimana diubah dalam UU Nomor 3 Tahun 2025.
“Masalah yang terjadi terkait mutasi dan promosi bukan masalah senior dan junior yang tidak berpengalaman tapi masalah utamanya adalah politik, di mana sejak era Presiden Joko Widodo dan sampai saat ini pertimbangan promosi prajurit TNI lebih banyak karena kedekatan politik,” urai Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani dalam keterangannya, Rabu (8/10).
Dalam konteks itu, menurut Julius, meritokrasi tidak bekerja dan berjalan karena intervensi kekuasaan lebih dominan ketimbang kompetensi, pengalaman dan profesionalitas.
Koalisi memandang, sejak awal Presiden telah mengabaikan prinsip meritokrasi. Tapi, memanfaatkan faktor kedekatan dan kesetiaan pada kekuasaan dirinya, tanpa mempertimbangkan prestasi, untuk melakukan mutasi dan promosi di tubuh TNI.
“Kasus kenaikan pangkat luar biasa Letnan Kolonel (Letkol) Infanteri Teddy Indra Wijaya menjadi contoh nyata bagaimana Presiden memangkas meritokrasi dan hal itu menjadi kontroversi,” lanjut dia.
Julius mengatakan, promosi dan mutasi cenderung terjadi hanya pada mereka yang memiliki akses politik dan ekonomi pada kekuasaan. Bagi militer yang tidak memiliki akses politik ekonomi pada kekuasaan akan kesulitan mendapatkan promosi dan mutasi.
Dampak yang terjadi sejumlah perwira senior yang memiliki pengalaman dan prestasi kesulitan mendapatkan promosi dikarenakan tidak memiliki akses politik dan kekuasaan.
Koalisi menilai Prabowo telah menerapkan kontrol sipil subjektif dan bukan kontrol sipil objektif yang mengedepankan pada pembagian otoritas dan dan keahlian yang jelas. Hal yang terjadi kemudian adalah rusaknya profesionalisme TNI.
Koalisi memandang ada kontradiksi antara amanat Prabowo saat ulang tahun ke-80 TNI dengan politik hukumnya dalam merevisi UU TNI. Karena, memberi jalan buat perwira senior untuk duduk lebih lama dalam pangkat jabatannya dengan memperpanjang masa pensiunnya.
“Padahal perpanjangan pensiun menjadi masalah tersendatnya promosi dan mutasi karena terjadi penumpukan pada level perwira menengah sehingga menghambat dan menyulitkan proses regenerasi organisasi,” tutur Julius.
Karena itu, koalisi mendesak prinsip meritokrasi harus dikembalikan dalam rangka promosi kenaikan pangkat serta jabatan dalam tubuh TNI. Prinsip ini dinilai mencegah kontestasi antar prajurit dengan mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.