c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

17 November 2021

19:17 WIB

KLHK Sebut Permintaan Greenpeace Tidak Konsisten

Sebelumnya, Greenpeace mengkritik pidato Jokowi di KTT COP26 terkait deforestasi di Indonesia

Penulis: Seruni Rara Jingga

Editor: Nofanolo Zagoto

KLHK Sebut Permintaan Greenpeace Tidak Konsisten
KLHK Sebut Permintaan Greenpeace Tidak Konsisten
Ilustrasi aksi yang dilakukan Greenpeace. Antaraforo

JAKARTA - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan penjelasan terhadap beberapa hal yang dikemukakan oleh Greenpeace dalam siaran persnya tertanggal 2 November 2021.

Greenpeace menyatakan, selama 2002-2019, deforestasi di Indonesia terjadi hampir 1,69 juta hektare (ha) di konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan seluas 2,77 juta ha kebun sawit. 

Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono yakin kalau Greenpeace menyadari laju deforestasi Indonesia dari tahun ke tahun pada periode tersebut. Sebab Greenpeace turut ambil bagian dalam kerja sama dengan sejumlah perusahaan sawit dan kehutanan di Indonesia, dalam kurun waktu tahun 2011 hingga 2018.

"Pada tahun 2011, Greenpeace mulai berkolaborasi dengan perusahaan grup sawit yang cukup besar," kata Bambang dalam pernyataan tertulis, Rabu (17/11).

Ketika bekerja sama dengan perusahaan tersebut, didapati tidak mudah bagi suatu grup bisnis sawit untuk melepaskan dirinya dari deforestasi, pengeringan gambut, dan kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Hal itu terjadi pada konsesi-konsesi grup sawit itu sendiri maupun rantai pasokannya.

"Semua itu terjadi justru dalam periode saat kerja sama antara Greenpeace dengan perusahaan-perusahaan tersebut," sambungnya.

Tak hanya itu, lanjut Bambang, pada tahun 2013, Greenpeace juga berkolaborasi dengan grup perusahaan industri pulp dan kertas di Sumatera. Selama berkolaborasi dengan Greenpeace, perusahaan tersebut masih terkait dengan deforestasi, melakukan pengeringan gambut, dan pembukaan kanal-kanal baru sepanjang ratusan kilometer.

"Akibatnya perusahaan tersebut mengalami karhutla yang luas," ucap Bambang.

KLHK pun memberikan sanksi kepada perusahaan yang saat itu masih bekerja sama dengan Greenpeace. Sebab perusahaan itu turut menyebabkan karhutla pada 2015 lalu.

Bambang menilai, Greenpeace memiliki pemahaman dan pengalaman yang cukup atas isu deforestasi, pengeringan gambut dan karhutla. Hal ini lantaran Greenpeace pernah secara dekat berkolaborasi dengan grup besar perusahaan sektor sawit dan kertas bertahun-tahun lamanya.

Bambang juga menyebut bahwa Greenpeace tidak memberikan syarat dalam kolaborasinya dengan grup perusahaan untuk tidak boleh beroperasi pada areal izin-izin usahanya yang sedang berlangsung di lahan gambut. Greenpeace juga tidak mensyaratkan agar perusahaan itu menyerahkan izin-izin usahanya di lahan gambut kepada pemerintah untuk dicabut.

"Saya saksi sejarah, bagaimana proses kolaborasi Greenpeace dengan grup perusahaan besar tertentu itu dideklarasikan pada tahun 2013 tersebut," ungkapnya.

Bahkan, lanjut Bambang, dalam kebijakan konservasi hutan yang diluncurkan oleh grup sawit dan pulp/kertas tersebut, di mana pembuatan kebijakan-kebijakan perusahaannya disusun, disetujui serta dideklarasikan oleh grup perusahaan itu  bersama-sama Greenpeace, tidak terdapat klausul yang mengharuskan grup sawit dan pulp/paper perusahaan itu untuk menghentikan pemanfaatan lahan gambut oleh grup perusahaan besar dimaksud.

“Mengapa Greenpeace sekarang mendesak pemerintah untuk mencabut izin-izin usaha di lahan gambut? Ini menunjukkan posisi Greenpeace yang tidak konsisten,” ujar Sekjen KLHK tersebut. 

Mengenai sebaran konsesi-konsesi HTI dan sawit di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut, Bambang kembali menekankan bahwa Greenpeace tentu memahami dengan baik bahwa hampir seluruh izin-izin usaha di lahan tersebut bukan diberikan dalam periode pemerintahan Presiden Jokowi. 

“Ketika Greenpeace mengumumkan kolaborasinya, dengan grup sektor sawit dan pulp/kertas, konsesi-konsesi  tersebut telah berada di lahan gambut, dan Presiden Jokowi belum menjabat sebagai Presiden RI,” jelasnya. 

Terkait dengan sawit di dalam kawasan hutan, Sekjen KLHK menggarisbawahi bahwa hampir seluruh kasus tersebut bukan terjadi pada periode pemerintahan Presiden Jokowi. 

Isu sawit di dalam kawasan hutan, lanjutnya, bukan hal baru bagi Greenpeace. Pasalnya, ketika Greenpeace berkolaborasi dengan grup perusahaan besar sawit, terdapat pula konsesi-konsesi sawit perusahaan yang saat itu berada di dalam kawasan hutan. 

“Mengapa Greenpeace tetap memulai dan melanjutkan kolaborasi dengan grup sawit perusahaan itu hingga bertahun-tahun lamanya yang konsesi-konsesinya berada di dalam kawasan hutan? Ini juga contoh nyata tidak konsistennya Greenpeace,” tegasnya.

Bambang pun mempertanyakan perihal Greenpeace yang baru mempersoalkan terkait sawit di kawasan hutan. “Bukankah Greenpeace telah bertahun-tahun lamanya berkolaborasi dengan grup sawit yang memiliki sawit di dalam kawasan hutan?,”ujarnya. 

Sebelumnya, Greenpeace mengkritik pidato Jokowi di KTT COP26 terkait deforestasi yang menurun selama dua dekade terakhir. Greenpeace menyebut bahwa deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha pada 2003 hingga 2011, menjadi 4,8 juta ha pada 2011 hingga 2019. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar