Klaim Rokok Elektronik Lebih Rendah Risiko Dinilai Menyesatkan
Studi menunjukkan rokok elektronik menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, di antaranya ketergantungan nikotin, gangguan fungsi pernapasan, hingga peningkatan risiko kanker, asma, dan pneumotoraks
Penjual menata rokok elektrik di salah satu toko di Pekayon, Jakarta Timur, Selasa (27/12/2022). Ant ara Foto/Asprilla Dwi Adha
JAKARTA - Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) menilai pernyataan bahwa rokok elektronik memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah dari rokok konvensional adalah klaim yang menyesatkan. Pernyataan ini disampaikan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Bambang Prasetya, baru-baru ini.
"Kita tidak bisa membenarkan satu produk adiktif hanya karena dianggap sedikit ‘kurang berbahaya’ dibanding yang lain," ujar Ketua Umum IYCTC, Manik Marganamahendra, melalui keterangan tertulis, Senin (11/8).
Dia menjelaskan, berbagai studi telah membuktikan bahaya rokok elektronik lebih dari sekadar kandungan nikotinnya. Namun, juga mencakup kandungan zat kimia lainnya, seperti formaldehid, propylene glycol (PG), nitrosamine, zat perisa buatan (flavoring), dan kontaminan berbahaya seperti logam berat, silikat, nanopartikel, serta particulate matter (PM).
Selain itu, studi juga menunjukkan rokok elektronik menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Di antaranya, ketergantungan nikotin, gangguan fungsi pernapasan, hingga peningkatan risiko kanker, asma, dan pneumotoraks. Dalam jangka panjang, rokok elektronik juga mengancam fungsi otak remaja dan perkembangan janin.
Sementara itu, Pengurus Harian IYCTC, Nalsali Ginting menambahkan, data Global Adult Tobacco Survey (GATS) tahun 2021 mencatat ada lonjakan pengguna rokok elektronik pada penduduk usia 15 tahun ke atas. Dari yang semula 0,3% pada 2011 menjadi 3,0% pada tahun 2021.
Dia menilai, lonjakan itu terjadi karena rokok elektronik belum ditangani secara serius. Salah satunya, rokok elektronik masih kerap dipromosikan sebagai produk yang lebih aman, baik melalui influencer maupun platform hiburan orang muda.
IYCTC pun menyayangkan pernyataan BRIN yang tidak dibarengi publikasi data atau kajian akademik. Hal itu berpotensi membuat lembaga riset tersebut turut andil dalam menciptakan krisis kesehatan baru di masa depan.
“Lembaga negara seperti BRIN seharusnya menjadi garda terdepan dalam perlindungan masyarakat, bukan justru membuka ruang legitimasi terhadap produk yang belum teruji secara utuh," pesan Nasali.