Seseorang meneteskan cairan pada rokok elektrik. Antara Foto/Asprilla Dwi Adha
JAKARTA - Sejumlah pakar mengatakan klaim rokok elektronik atau vape lebih aman perlu diwaspadai. Pasalnya, klaim tersebut tidak didukung oleh bukti ilmiah yang kuat dan berisiko meningkatkan penggunaan rokok elektronik di kalangan anak serta remaja.
"Klaim-klaim semacam ini sangat berbahaya karena dapat mengaburkan persepsi publik tentang rokok elektronik," ujar Ketua Aliansi Akademisi Komunikasi Indonesia Untuk Pengendalian Tembakau (AAKIPT), Eni Maryani, melalui keterangan tertulis, Selasa (6/5).
Dia menjelaskan, terdapat bukti-bukti ilmiah dan independen yang menunjukkan rokok elektronik membawa risiko serius terhadap kesehatan. Namun, beberapa lembaga seperti Center of Excellence for the Acceleration of Harm Reduction (CoEHAR), Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), dan Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR) justru kerap mengklaim ada potensi manfaat kesehatan dari rokok elektronik.
Senada, Anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Feni Fitriani Taufik mengatakan, penggunaan rokok elektronik tidak bebas dari bahaya. Paparan bahan kimia berbahaya dalam aerosol rokok elektronik dapat menyebabkan penyakit paru seperti bronchiolitis obliterans (popcorn lung), penurunan fungsi paru, dan risiko penyakit kardiovaskular.
Selain itu, klaim rokok elektronik bisa membantu proses berhenti merokok juga dia nilai keliru. Sebab, penelitian dari Johns Hopkins University yang dirilis pada April 2025 mengungkapkan hanya 0,08% pengguna yang berhenti menggunakan produk tembakau dengan bantuan rokok elektronik, angka yang sangat kecil.
"Bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan rokok elektronik jauh lebih besar dibandingkan manfaatnya bagi generasi masa depan Indonesia," ujar Feni.
Sementara itu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Benget Saragih menyampaikan, Kemenkes tidak menganggap rokok elektronik sebagai solusi berhenti merokok atau strategi efektif untuk menurunkan prevalensi perokok.
“Fokus utama kami tetap pada pencegahan dan penghentian penggunaan semua produk tembakau, bukan pada substitusi antar produk yang tetap mengandung risiko seperti pendekatan pengurangan risiko (harm reduction),” pungkas Benget.