24 November 2023
20:34 WIB
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Kehadiran sekelompok anak muda di salah satu kedai kopi, Kota Bogor, menarik perhatian banyak mata pengunjung. Suasana jadi lebih hidup dan meriah. Penyebabnya bukan karena perbincangan mereka. Justru penampilan mereka yang chic menggunakan kain batik menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung dan mereka yang kebetulan lewat.
Kelompok anak-anak muda itu memang sengaja berbusana batik. Layaknya kewajiban masa sekolah, mereka berikrar selalu berkain tiap kali bertemu seminggu sekali. Rutinitas ini mereka jalankan demi melestarikan wastra nusantara yang mulai dilupakan generasi muda. Keinginan ini sepertinya jarang-jarang ada pada pemuda di masa kekinian.
“Kebetulan kami semua memang suka berkain, yang enggak secara sengaja ketemu. Lalu, kami rutin ketemu dan bisa membentuk komunitas ini,” kata salah satu dari mereka, Azizah Nabila Putri (20), saat ditemui Validnews, Selasa (21/11).
Bila-sapaan akrabnya- sendiri mulai tertarik berkain sejak tahun 2021. Ketertarikannya muncul karena melihat salah seorang selebgram selalu tampil berkain di video unggahannya. Saat itu, setahu Bila, masih belum banyak anak muda yang berkain batik.
Dia pun tertarik menirunya. Begitu mencoba kain dan kebaya lama milik ibunya, Bila langsung merasa cocok dan nyaman. Bila jatuh hati pada wastra negerinya. Dia akhirnya sengaja menabung buat membeli sejumlah kain dari berbagai daerah.
“Saat ini, saya sudah punya 6 kain dan 3 kebaya sendiri, di luar yang diwariskan ibu saya ya, setiap kali saya mau beli kain saya tidak hanya melihat jenis kain dan warna saja, tapi juga filosofi dari motif kain itu,” kata Bila bangga.
Meski sudah merasa cocok dan nyaman, Bila sempat tidak percaya diri mengenakannya di depan umum. Sebab, tiap kali datang ke suatu tempat sambil berkain, Bila kerap mendapat banyak tatapan aneh.
Beberapa orang bahkan kedapatan mengejek dirinya sok Indonesia karena memakai kain batik di berbagai kegiatan.
Karena tidak ingin terus-menerus merasa sendirian, Bila kepikiran mencari info komunitas berkain di Bogor. Namun, komunitas yang ia cari tak ada sama sekali di Bogor. Hanya ada di Jakarta.
“Waktu itu, kalau kumpul sama teman-teman di Jakarta, tapi sebagai orang yang tinggal di Bogor tentu saya pengen juga kalau ada komunitas berkain di Bogor,” ucapnya.
Beruntung, saat mengikuti workshop berkain di Jakarta pada Juni 2022, Bila bertemu dengan dua anak muda Bogor lain yang berpikiran sama. Mereka akhirnya membentuk Muda Mudi Berkain.
Komunitas ini memutuskan untuk berkumpul tiap akhir pekan di salah satu kedai kopi di Bogor. Busana wajibnya tentu kain. Perlahan Muda Mudi Berkain semakin ramai. Banyak anak muda juga tertarik untuk berkain.
“Di Bogor belum banyak yang berkain, karena masih sangat sedikit generasi muda yang tertarik sama batik. Makanya, melalui komunitas ini kami ingin lebih banyak yang berkain,” harapnya.
Setelah peminatnya bertambah, Bila dan teman-teman mulai lebih serius mengelola komunitas. Aktivitas Muda Mudi Berkain tidak lagi hanya nongkrong. Mereka mulai mempelajari berbagai jenis kain.
Bila sendiri merasa semakin jatuh cinta dengan kain wastra setelah tahu nilai sejarah dan budayanya. Dia jadi tahu kain dari satu daerah memiliki ciri khas yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Ciri khasnya bisa terlihat dari jenis kain, pewarna, hingga motifnya.
“Dari awalnya kita cuma pakai saja karena ikutan saja, sekarang malah benar-benar suka. Terakhir kita ke pameran batik bareng, banyak banget ilmu baru yang kami dapat,” aku Bila dan kawan-kawannya.
Bangga Tampil Berkain
Pengalaman senada juga diungkap Peni Cahyaningtyas (38), penggagas Komunitas Bekasi Berkain bersama suaminya. Dia ingin sekali melihat anak muda bangga tampil berkain di pelbagai kesempatan.
“Saya dan suami kebetulan memang suka berkain. Cuma kalau berkain terus nongkrong kan pasti diliatin sama orang-orang. Jadi, kita berpikir kayaknya enak ya kalau ada komunitasnya, sehingga kita bisa kumpul bareng sambil berkain,” kata Peni saat ditemui, Rabu (22/11).
Peni mengaku dulu dia tidak begitu menyukai batik. Kesan kuno dan tradisional dilihatnya begitu melekat di kain itu.
Namun, karena dulu sering mengantarkan dan menemani ibunya menjadi narasumber dalam berbagai seminar dan workshop terkait batik, Peni mau tak mau juga harus berkain.
Lama-kelamaan Peni malah tertarik. Seperti halnya Bila, Peni perlahan jatuh cinta dengan batik. Peni mulai menjadikan ibunya sendiri sebagai guru untuk mendapat pengetahuan tentang batik.
“Ibu memang mencintai batik, dan beliau menanamkan kecintaan itu kepada para mahasiswa dan anaknya,” ucapnya.
Setelah sang ibu pensiun dari pekerjaannya sebagai dosen, mereka membuka Griya Peni. Sekali sebulan ibunya akan membuka kelas membatik untuk siapa saja yang tertarik. Selain kelas workshop, juga ada museum kecil di Griya Peni.
Museum tersebut tak menampilkan koleksi batik dari pelbagai daerah milik ibunya, tapi juga beberapa batik titipan yang ingin dipamerkan oleh pembuat batik di Griya Peni.
“Setiap 3 bulan kami ganti tema batik apa saja yang ditampilkan supaya tidak bosan, selain itu kami juga bantu menjual beberapa batik yang dititipkan oleh para pembatik yang ibu kenal,” kata Peni.
Belakangan, Peni dan suami juga berinisiatif untuk membuat komunitas Bekasi Berkain untuk mengumpulkan orang-orang yang tertarik pada batik dan berkain.
Peni ingin sekali melihat ada banyak anak muda tidak ragu lagi berkain memikirkan pandangan orang saat melihat penampilan mereka.
“Kalau misalnya kita pakai kain saat nongkrong pasti dilihatnya agak gimana gitu. Makanya, kalau ramai-ramai pasti orang lebih pede kan, terus juga orang yang melihat jadi penasaran dan pengen ikutan juga,” ucap Peni.
Komunitas yang digagas Peni ini tidak hanya sekedar kumpul dan berbagi informasi saja. Mereka kadang juga mengadakan workshop berkain dan membatik yang bisa diikuti oleh para anggotanya.
Rutinitas lainnya adalah berkunjung ke pameran-pameran batik untuk menambah wawasan soal batik.

Bantu Pembatik
Peni meyakini kebiasaan mengenakan batik tidak hanya berdampak pada pelestarian budaya Indonesia saja. Namun juga membantu keberlangsungan hidup para pembatik.
Setahu Peni sekarang ini sudah banyak pembatik yang tidak ingin melanjutkan usaha batiknya, karena tidak banyak lagi orang yang ingin membeli kain batik. Makanya, kalau saja ada banyak generasi muda yang berkain, maka hal tersebut akan memacu semangat baru bagi para pembatik.
“Kalau kita lihat ke belakang kan memang yang paling sering membeli kain batik pasti ibu-ibu, makanya pendapatan pembatik pun tidak banyak dan beberapa gulung tikar, kalau itu dibiarkan lama-lama tidak ada lagi pembatik di Indonesia,” kata Peni.
Pengamat batik dan pendiri Rasa Wastra Indonesia, Monique Hardjoko menilai, tren berkain batik yang saat ini populer di kalangan generasi muda merupakan salah satu upaya pelestarian budaya.
Dia melihat saat ini kian banyak anak muda yang tertarik untuk berkain menggunakan batik yang dipadukan dengan berbagai jenis fesyen.
Masalahnya, tidak sedikit juga anak muda yang menggunakan batik tanpa memahami sejarah, filosofi, dan proses pembuatan batik itu. Hal itu terlihat dari masih banyaknya anak muda yang menggunakan batik printing atau tekstil yang menggunakan motif batik.
“Akan lebih baik kalau teman-teman ini bisa memahami filosofi dan sejarah dari sebuah batik, apalagi batik kan memiliki kekhasan masing-masing sesuai asal daerah mereka,” kata Monique.
Dia juga berharap anak muda mau mulai menyisihkan uang mereka untuk membeli batik yang dibuat dengan cap atau tie dye. Kalau hal itu dilakukan, kerja keras para pembatik yang harus melewati proses panjang dalam membuat satu helai kain batik akan terbayarkan.
“Sangat disayangkan kalau anak muda lebih memilih batik printing ya, tetapi yang terpenting mereka cinta batik dulu. Lalu nanti pelan-pelan kita harus arahkan untuk membeli batik cap atau tulis, ini juga untuk menjaga keberlangsungan hidup para pembatik,” begitu kata Monique.