15 Juni 2024
10:08 WIB
Kiara Nilai Ormas Keagamaan Mesti Bebas Dari Pertambangan
Ormas keagamaan banyak menolak diberi izin kelola tambang.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
Pengendara sepeda motor melintas di kawasan pertambangan pasir rakyat yang terdampak kekeringan di S ungai Palupi, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (10/9/2023). Antara Foto/Basri Marzuki.
JAKARTA - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai, ormas keagamaan mesti mendukung kehidupan bebas dari pertambangan. Pasalnya, pertambangan terbukti merusak lingkungan.
Hal itu diutarakan Kiara merespons terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang memberikan hak eksklusif kepada ormas keagamaan untuk mendapatkan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK).
Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati mengatakan tidak ada kehidupan tanpa lingkungan yang sehat, terjaga dan berkelanjutan. Salah satu yang terbukti telah merusak lingkungan baik di darat, laut maupun pulau-pulau kecil adalah aktivitas pertambangan.
Dia menjelaskan, saat ini masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil tengah memperjuangkan wilayahnya untuk tidak ditambang, baik untuk mineral maupun pasir laut.
Susan mencontohkan wilayah yang tengah berjuang itu antara lain Kabupaten Demak, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Balikpapan untuk suplai material pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), serta di Kepulauan Natuna.
“Perjuangan masyarakat untuk bebas dari pertambangan yang telah menghancurkan kehidupan mereka seharusnya didukung oleh berbagai pihak, salah satunya adalah ormas keagamaan di mana mayoritas masyarakat di Indonesia merupakan anggota dari berbagai ormas keagamaan,” jelas Susan dalam keterangannya, Jumat (15/6).
Susan menyatakan PP Nomor 25 Tahun 2024 adalah permasalahan baru dalam konteks pertambangan mineral dan batubara yang selama ini telah terbukti merusak lingkungan.
Ia menilai PP 25 Tahun 2024 melegitimasi perusakan lingkungan yang dibungkus dengan narasi peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya ormas keagamaan.
“Ini adalah devide et impera (politik adu domba) dalam bentuk kebijakan dan praktik pemberian WIUPK kepada ormas-ormas keagamaan,” sambung dia.
Padahal, tambah dia, sudah jelas berbagai pengalaman di lapangan membuktikan bahwa berbagai pengikut ormas keagamaan ini telah menjadi korban dari pertambangan itu sendiri. Seperti, ada yang dikriminalisasi bahkan dibunuh karena menolak pertambangan.
Kiara mengapresiasi ormas keagamaan yang telah menyatakan sikap untuk tidak menerima tawaran pemberian WIUPK. Sikap tegas menolak tawaran WIUPK akan sejalan dengan upaya penyelamatan lingkungan sebagaimana yang diajarkan dalam berbagai agama.
Beberapa di antaranya adalah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jaringan Gusdurian, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Ormas keagamaan yang telah menerima WIUPK adalah Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan ormas keagamaan lain belum menyatakan sikap tegasnya terkait penawaran WIUPK.
“Kiara mendorong ormas keagamaan lain untuk tetap kritis dan tetap mengutamakan tugas dan fungsi sebagai ormas keagamaan dalam membina umat dan melindungi lingkungan hidup sebagaimana yang diajarkan dalam setiap agama,” tegas Susan.