c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

23 September 2025

19:03 WIB

Kesehatan Rakyat Tergerus Persoalan Gigi

Kesehatan gigi rakyat jadi temuan terbanyak Cek Kesehatan Gratis. Apa sebab dan bagaimana pemerintah mengatasi masalah ini?

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p id="isPasted">Kesehatan Rakyat Tergerus Persoalan Gigi</p>
<p id="isPasted">Kesehatan Rakyat Tergerus Persoalan Gigi</p>

Pelajar mendapatkan layanan pemeriksaan gigi gratis saat Bakti Sosial Terintegrasi di Balai Kota Sur abaya, Jawa Timur, Kamis (22/8/2024). ANTARA FOTO/Didik Suhartono..

JAKARTA – Setelah diluncurkan pada 10 Februari 2025, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melansir hasil Cek Kesehatan Gratis (CKG) masyarakat Indonesia dari segala lapisan usia dan kelas sosial. Ternyata, masalah gigi menjadi yang paling banyak ditemukan sebagai persoalan kesehatan pada semua kelompok usia, baik anak, dewasa, maupun lansia.

Data Kemenkes per Agustus 2025 menunjukkan, balita dan anak prasekolah peserta CKG yang mengalami masalah gigi mencapai 31%. Selanjutnya, siswa Sekolah Rakyat peserta CKG yang mengalami masalah gigi mencapai 49%, orang dewasa peserta CKG yang mengalami masalah gigi mencapai 45,7%, dan lansia peserta CKG yang mengalami masalah gigi mencapai 64%.

Umumnya, masalah gigi yang ditemukan adalah karies alias kerusakan gigi. Di samping itu, CKG juga menemukan masalah gigi berlubang, gigi goyang, gigi hilang, hingga penyakit periodontal yang menyerang jaringan penyangga gigi, misalnya gusi.

Menurut World Health Organization (WHO) memperkirakan, penyakit mulut termasuk gigi memengaruhi sekitar 3,7 miliar penduduk dunia. Meski sebagian besar penyakit mulut dapat dicegah, namun menimbulkan beban kesehatan besar bagi banyak negara. Serta, memengaruhi orang sepanjang hidup mereka karena rasa sakit, ketidaknyamanan, kerusakan gigi, dan bahkan kematian.

Karies gigi (kerusakan gigi) yang tidak dirawat pada gigi permanen merupakan kondisi kesehatan paling umum menurut Global Burden of Disease 2021.

WHO mencatat, biaya untuk pencegahan dan pengobatan bagi kesehatan mulut begitu mahal. Serta, biasanya bukan bagian dari paket manfaat cakupan kesehatan universal (UHC) nasional. Sebagian besar negara berpenghasilan rendah dan menengah tidak memiliki layanan yang memadai untuk mencegah dan mengobati kondisi kesehatan mulut.

Penyakit mulut disebabkan oleh serangkaian faktor risiko dan dapat dimodifikasi yang umum terjadi pada banyak penyakit tidak menular (PTM), termasuk konsumsi gula, penggunaan tembakau, penggunaan alkohol, dan kebersihan yang buruk.

Hasil CKG sejatinya tidak mengherankan. Temuan itu sejalan dengan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 yang menyatakan sebanyak 57% masyarakat Indonesia mengalami masalah gigi dan mulut. Khusus untuk karies gigi, prevalensinya bahkan mencapai 82,8%. Menurut standar WHO, prevalensi karies gigi di atas 75% termasuk kategori tinggi.

Akses Perawatan Gigi
Meskipun jumlah masyarakat Indonesia yang memiliki masalah gigi begitu tinggi, data SKI 2023 menunjukkan hanya 11,2% di antaranya yang mendapatkan perawatan medis. Data ini sejalan dengan data WHO.

Namun, merujuk data SKI 2023, tak selalu masalah biaya yang menurut WHO jadi masalah warga untuk mengakses pelayanan kesehatan. Alasan terbanyak menurut SKI 2023 atau sekitar 61% karena merasa tidak pernah sakit gigi. Alasan kedua terbanyak, karena merasa tidak perlu periksa (57%), berobat ke tukang gigi 1,1%, dan mengobati sendiri 24,8%.

Direktur Penyakit Tidak Menular (PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, tingginya masalah gigi juga disebabkan oleh rendahnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan gigi. Dia menyebut, data SKI 2023 menunjukkan 95% masyarakat menyikat gigi setiap hari, tapi hanya sekitar enam persen yang menyikat gigi dengan benar.

“Mayoritas masyarakat menyikat gigi saat mandi. Padahal, yang benar sikat gigi dua kali sehari, yaitu setelah makan pagi dan sebelum tidur malam,” urai Nadia kepada Validnews, Rabu (17/9).

Dia juga berkata, dari aspek penanganan masih banyak puskesmas yang belum memiliki dokter gigi. Menurut data Kemenkes per Agustus 2025, dari total 10.268 puskesmas di Indonesia sebanyak 2.720 di antaranya belum memiliki dokter gigi. Angka itu terdiri dari 1.401 puskesmas di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan (DTPK) dan 1.289 puskesmas di non-DTPK.

Padahal, jika ketersediaan dokter gigi di puskesmas terpenuhi, maka banyak layanan kesehatan gigi dapat dilakukan di puskesmas. Ini meliputi penanganan tambal gigi, cabut gigi, infeksi gigi, penanganan karies, hingga perawatan saraf gigi sederhana.

Bagi masyarakat yang bukan peserta BPJS Kesehatan, layanan kesehatan gigi di puskesmas dikenakan tarif yang bervariasi. Hal ini ditetapkan oleh peraturan daerah atau peraturan kepala daerah.

Sebagai gambaran, tarif layanan puskesmas di DKI Jakarta diatur oleh Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 143 Tahun 2018 tentang Tarif Layanan Puskesmas. Tarif cabut gigi tanpa injeksi ditetapkan sebesar Rp30.000 per gigi, tambal gigi tetap Rp50.000 per gigi, perawatan syaraf gigi Rp30.000 per gigi, dan pembersihan karang gigi Rp30.000 per regio. Layanan-layanan itu dapat diakses secara gratis sesuai aturan berlaku bagi peserta BPJS Kesehatan.

Meski puskesmas mematok tarif untuk layanan kesehatan gigi, Ketua Umum Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Usman Sumantri menilai, hal ini seharusnya tidak menghambat masyarakat untuk mengakses layanan tersebut. Sebab, per 31 Maret 2025 cakupan peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai 98% dari total seluruh penduduk Indonesia, sehingga biaya tak lagi menjadi masalah.

Namun demikian, dia menilai banyak masyarakat tidak memahami layanan apa saja yang bisa mereka manfaatkan menggunakan BPJS Kesehatan. Hal ini membuat mereka minim memanfaatkan BPJS Kesehatan karena khawatir dikenakan biaya yang tinggi.

Padahal, layanan kesehatan yang ditanggung oleh BPJS Kesehatan sudah diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Aturan itu menetapkan, layanan kesehatan gigi yang ditanggung BPJS Kesehatan meliputi pemeriksaan, pengobatan, konsultasi medis, premedikasi, kegawatdaruratan oro-dental, cabut gigi sulung, cabut gigi permanen, obat pasca ekstraksi, tambal gigi, dan pembersihan karang gigi.

Adapun layanan kesehatan gigi yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan adalah meratakan gigi atau memasang behel karena bertujuan estetika. Lalu, pemasangan gigi palsu ditanggung sebagian mengikuti besaran subsidi yang ditetapkan.

Takut Dokter Gigi
Usman juga berkata, hal lain yang menghambat akses terhadap layanan kesehatan gigi adalah rasa takut masyarakat terhadap dokter gigi. Ditambah, dari segi psikologis kadang pasien malas ke dokter gigi karena tidak mau mengantri atau sedang sibuk.

"Memang banyak faktor yang menghambat akses layanan kesehatan, utamanya karena dia tidak memanfaatkan jaminan sosialnya atau asuransinya dan takut ke dokter gigi," terang Usman kepada Validnews, Kamis (18/9).

Dia pun mengingatkan, masyarakat idealnya kontrol kesehatan gigi setiap enam bulan sekali. Pasalnya, penelitian menunjukkan setiap enam bulan lubang gigi berukuran kecil terbentuk. Jika tak segera ditangani, masalah ini bisa berdampak besar pada kesehatan dan kualitas hidup individu.

Contohnya, infeksi akar gigi bisa menyebar ke pembuluh darah dan berisiko menimbulkan penyakit jantung dan kerusakan pada organ tubuh lainnya. Lalu, gigi berlubang membuat proses mengunyah makanan tidak maksimal, sehingga asupan nutrisi bisa terganggu. Selain itu, kerusakan pada gigi bagian depan juga bisa menurunkan kepercayaan diri seseorang.

Merespons tingginya masalah gigi di Indonesia, Usman berpendapat Kemenkes perlu menggencarkan edukasi kesehatan gigi sebagai langkah preventif. Edukasi ini harus dimulai sedini mungkin, meliputi cara menyikat gigi yang benar dan pentingnya kontrol gigi enam bulan sekali.

Selain itu, faktor lain yang berpengaruh terhadap kesehatan gigi juga perlu dikendalikan. Misalnya, kebiasaan makan makanan manis dan lengket yang bisa mempercepat kerusakan gigi.

Tak kalah penting, Usman menyebutkan Kemenkes harus memenuhi kebutuhan dokter gigi di puskesmas. Utamanya, di daerah-daerah yang sama sekali belum memiliki dokter gigi.

Di samping itu, infrastruktur penunjang layanan di puskesmas harus dicukupi, di antaranya alat rontgen gigi dan bahan medis habis pakai. Hal ini penting agar dokter gigi bisa bekerja secara optimal.

Saran tersebut sejalan dengan rencana yang pernah disampaikan Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin. Dalam acara di Jakarta pertengahan Agustus 2025, dia mengaku ingin menyediakan layanan kesehatan gigi yang komprehensif di seluruh puskesmas di Indonesia.

Untuk mewujudkan itu, dia akan menyediakan alat kesehatan, obat, perlengkapan anestesi, dan bahan medis habis pakai untuk puskemas. Dia juga berencana menyediakan alat rontgen untuk perawatan saluran akar gigi.

“Mudah-mudahan ya tahun ini atau tahun 2026 itu sudah bisa tercukupi kebutuhan puskesmasnya. Pak Menkes sudah janji 10.000 puskesmas akan diisi dengan rontgen dan juga bahan medis habis pakai penunjang kerja dokter," ujar Usman.

Kelanjutan Temuan CKG
 Rencana pemenuhan alat kesehatan tersebut dibenarkan oleh Nadia. Dia menambahkan, salah satu alat kesehatan yang akan disediakan adalah kursi gigi mobile. Alat ini diperlukan agar penanganan masalah gigi bisa dilakukan di sekolah melalui Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS). Pengadaan alat ini pun sudah dimulai bertahap.

"Memang ada proses-proses untuk penyediaan barang dan jasa, tapi akhir tahun puskesmas-puskesmas itu sudah mulai akan dilengkapi dengan kursi gigi yang permanen maupun kursi gigi yang mobile, serta beberapa pemenuhan alat," ujar Nadia.

Di samping itu, dia mengatakan Kemenkes mengadakan program pemberian fluoride untuk anak sekolah usia 6-12 tahun guna merespons temuan CKG. Fluoride dipilih karena berfungsi mengurangi risiko gigi berlubang dan karies, menghambat pertumbuhan bakteri, dan memperkuat gigi. Program ini menyasar anak-anak yang tidak memiliki masalah gigi atau masalah giginya sudah ditangani.

Program pemberian fluoride ini sudah dimulai sekitar bulan Juli dan masih dalam tahap inisiasi awal. Kemenkes telah mendistribusikan fluoride ke puskesmas-puskesmas dan pelaksanaannya diserahkan ke masing-masing puskesmas.

Dari segi pencegahan, Nadia mengatakan Kemenkes melakukan edukasi kesehatan gigi kepada ibu-ibu. Kelompok ini disasar karena penyakit gigi yang menyerang ibu hamil dapat menyebabkan penyakit jantung bawaan pada anak yang dikandungnya. Lalu, ibu juga harus memahami bahwa bayi di bawah satu perlu dibersihkan gusinya untuk mencegah masalah gigi dan mulut.

Bagi anak sekolah, Kemenkes berencana memasukkan edukasi kesehatan gigi ke dalam kurikulum sekolah. Edukasi ini menyasar siswa SD, SMP, hingga SMA.

"Kita nanti bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) akan mengajak anak-anak untuk sikat gigi bersama di sekolah. Ini kita sedang dalam pembicaraan," pungkas Nadia.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar