c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

22 Maret 2022

21:00 WIB

Keruhnya Masalah Air Bersih

Prediksi PBB, pasokan air bersih tak bertambah, kebutuhan makin tinggi. Pemerintah berbagai negara diminta bersiap hadapi bencana air.

Penulis: James Fernando, Dwi Herlambang

Editor: Leo Wisnu Susapto

Keruhnya Masalah Air Bersih
Keruhnya Masalah Air Bersih
Ilustrasi air bersih untuk rumah tangga. Shutterstock/dok

JAKARTA – Sembilan tahun sudah Muslimin bermukim di Blok Eceng, Muara Angke, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara. Sekian tahun itu, dia bersama lebih dari empat ribu warga di pesisir utara Jakarta yang mayoritas nelayan, mengalami kesulitan akses air bersih untuk pelbagai kebutuhan.

Untuk kebutuhan air bersih, Muslimin bergantung pada penjaja air yang menjangkau pembeli dengan gerobak. Harga satu gerobak air tidak lah tetap.

Jika gerobak bisa dibawa dekat rumah pembeli, harga satu jeriken air berisi 40 liter air dibandrol Rp5.000. Bertambah jauh kaki si penjual melangkah, pembeli harus rela membayar Rp7.000 per jeriken.

“Sehari, bisa delapan jeriken saya beli dari gerobak air untuk dipakai di rumah, atau sejuta rupiah per bulan,” sebut Muslimin pada Validnews, Senin (21/3).

Artinya, minimal Muslimin mengeluarkan uang Rp40 ribu untuk air bersih. Jika dikonversi, delapan jerikan itu tak sampai 0,5 meter kubik (m3). 

Sementara itu, tarif air bersih yang diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 57 Tahun 2021, yakni Rp1.050 per meter kubik (m3). 

Kesal! Itu pasti dirasakan Muslimin dan ribuan warga lain di lokasi tersebut. 

Sempat Muslimin dan warga Blok Eceng membor tanah untuk mendapatkan air bagi sekira enam ratus orang lebih di blok yang didiami. Upaya itu berbuah hasil. 

Mereka peroleh air untuk keperluan cuci baju. Tetapi, banyaknya air tak cukup. Untuk mandi dan dikonsumsi tetap mengandalkan tukang gerobak air.

Rekan Muslimin, yang tinggal di Blok Empang, Bani Sadar (44) menuturkan, warga sempat melayangkan surat ke Pemerintah DKI Jakarta. Isi surat meminta pemerintah memenuhi akses air bersih warga. Surat warga sempat dibalas dengan janji pemerintah untuk membangun tiga kios air bersih.

Meski dinilai jumlah kios yang dijanjikan kurang untuk memenuhi kebutuhan lebih dari empat ribu warga, mereka bersedia menunggu. Namun, realisasi janji pemerintah hanya berbuah dengan dibangunnya satu kios.

Tak sabar, perwakilan warga datang ke Balai Kota pada Februari 2022. Membawa jeriken, mereka menagih lagi janji. Setelah aksi, mereka pulang dan kembali menunggu.

Ancaman Dunia
Kondisi warga Muara Angke hanya satu cerminan akan minimnya akses air bersih di ibu kota. Banyak daerah punya masalah sama. 

Soal keberlangsungan ketersediaan air, Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) mengingatkan adanya ancaman krisis air global. Penyebabnya karena perubahan iklim.

Menurut laporan PBB melalui Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), bertajuk “The State of Climate Services 2021: Water,” ada 3,6 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses memadai ke air bersih setiap bulan selama 2018. Pada tahun 2050, jumlahnya diperkirakan akan melebihi lima miliar orang.

Celakanya, sebagian besar negara tidak siap menghadapi krisis air bersih. Karena itu, badan khusus PBB itu menyerukan kepada seluruh pemimpin dunia untuk mengambil langkah mitigasi perubahan iklim. 

Ada banyak hal harus disiapkan, mencegah risiko global, mulai dari banjir hingga kekeringan ekstrem.

“Situasinya semakin memburuk dengan fakta bahwa hanya 0,5% air di bumi yang dapat digunakan dan tersedia air tawar,” demikian laporan itu.

Data WMO menunjukkan frekuensi ancaman yang berhubungan dengan air telah meningkat selama 20 tahun terakhir. Sejak tahun 2000, bencana terkait banjir telah meningkat sebesar 134% dibandingkan dengan dua dekade sebelumnya. 

Sementara, pada periode yang sama jumlah dan durasi kekeringan juga meningkat sebesar 29%.

Sebagian besar kematian karena kekeringan terjadi di Afrika. Menunjukkan, perlunya sistem peringatan menyeluruh yang lebih kuat untuk kekeringan di wilayah itu. 

Sementara itu, sebagian besar kematian terkait banjir dan kerugian ekonomi tercatat di Asia.

Badan khusus PBB itu menyarankan, ancaman krisis air global harus disikapi secara bersama melalui pendekatan komprehensif. Tak bisa pula ditangani melalui pendekatan yang terpisah-pisah.

Seruan BMKG
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Urip Haryoko mengamini, perubahan pola curah hujan, kenaikan suhu dan kenaikan muka air serta iklim air bersih akan memperburuk produksi air bersih di Indonesia. 

BMKG telah mengeluarkan proyeksi adanya bencana hidrometeorologi atau bencana yang dampaknya dipicu oleh perubahan iklim. Bencana hidrometeorologi inilah akan menjadi salah satu penyebab minimnya air bersih di Indonesia.  

“Proyeksi BMKG lalu ditelaah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan kemudian lahir kajian. Hasilnya, perubahan iklim berisiko dengan perubahan debit air bersih di Indonesia,” urainya kepada Validnews, Selasa (22/3).

BMKG mengingatkan, jika proyeksi tersebut tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah, akan berdampak pada kelangkaan air bersih. 

Menurut dia, BMKG dan BRIN bisa saja menangani kelangkaan air dengan metode modifikasi cuaca. Namun, harus ada syarat minimal untuk melakukan metode itu, yakni kelembapan udara di atas 60%. 

Strategi Pemerintah
Pemerintah sudah mencoba untuk mengatasi akses air bersih di beberapa daerah. Kepala Biro Komunikasi Publik pada Kementerian PUPR, Endra S Atmawidjaja mengatakan, salah satunya dengan strategi membangun bendungan dan embung. 

Untuk kasus Muara Angke, pemerintah tengah membangun bendungan Karian di Banten. Targetnya, air di bendungan ini bisa mencukupi kebutuhan di Jakarta Barat, Tangerang Selatan hingga Serang, Banten. Termasuk,  pemenuhan air di Muara Angke untuk muslim dan ribuan warga lainnya di sana.

“Secara nasional, ada 61 bendungan dibangun pada era Presiden Joko Widodo. Era Susilo Bambang Yudhoyono, 215 bendungan,” ungkap Endra pada Validnews, Sein (21/3). 


Pada 2024, PUPR menargetkan ada 275 bendungan di seluruh Indonesia sehingga pemerintah bisa memenuhi kebutuhan air minum aman untuk rumah tangga. 

Dengan target itu, akses air minum diproyeksikan bisa mencapai 100% rumah tangga. Sementara saat ini, ada di kisaran 90% lebih.

Endra menuturkan, ada sejumlah wilayah yang menjadi prioritas pemenuhan air bersih. Utamanya wilayah yang memang daerah minim air bersih. Seperti beberapa daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Mulai dari daerah Alor, Rote. Ada juga wilayah Maluku dan Pulau Kei dan beberapa wilayah lainnya.

Selain itu, pemerintah juga mengutamakan pemberian air bersih di wilayah yang termasuk sentra pangan. Misalnya, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, Sumatra Selatan, Sumatra Utara.

Endra menyebutkan, setidaknya Presiden Jokowi sudah membelanjakan Rp105 triliun untuk membangun bendungan. Bendungan juga menjadi fasilitas untuk tercukupinya irigasi tanaman.

Terkait kebutuhan air minum aman, pemerintah juga menggandeng swasta. Terutama untuk wilayah potensial dengan kemampuan ekonomi tinggi untuk pemenuhan air ini karena dibantu oleh para investor.

Pembagiannya, pemerintah pusat membangun bendungan di sejumlah wilayah. Kemudian, pemerintah daerah dan swasta mendistribusikan air itu dengan sistem pipanisasi ke seluruh wilayah yang membutuhkan. Warga yang memanfaatkan diwajibkan membayar kontribusi.

“Pemerintah tak tinggal diam mengantisipasi krisis air yang diperkirakan terjadi pada 2030,” tambah Endra.

Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Bappenas, Josaphat Rizal Primana mengatakan senada. Pemerintah terus mencari solusi untuk menyelesaikan persoalan air bersih ini.

Dia menjamin, solusi pemerintah akan terintegrasi dengan baik dari hulu ke hilir. Dari hulu, pemerintah akan membenahi persoalan catchment area (daerah tangkapan air) melalui program penghutanan kembali dan mencegah penggundulan hutan.

Selanjutnya, pemerintah memelihara badan sungai dan penataan ruang di kawasan sekitar aliran sungai untuk mengurangi tekanan sungai. Di hilir, pemerintah melakukan penampungan air sungai dalam bentuk waduk-waduk.

Solusi lainnya, pemerintah akan melakukan pembendungan teluk (estuary dam) untuk diubah menjadi air tawar sebagai langkah penyediaan air baku. Cara ini, telah dilakukan oleh pemerintah di wilayah Pulau Batam. Seluruh sistem itu akan didistribusikan ke masyarakat dengan cara pipanisasi.

“Ini semua untuk pemenuhan capaian air bersih ke masyarakat. Sejauh ini capaian akses air minum layak 2021 sebesar 90,78% dari target 100% di 2024,” terang Josaphat, kepada Validnews, Selasa (22/3).   

Belum Serius
Sebaliknya, Koalisi Rakyat untuk Hak atas Air (KRuHA) memandang, pemerintah belum mengambil langkah serius untuk mengantisipasi kelangkaan air. Koordinator KRuHA, Muhammad Reza Sahib menyebut, banyak kebijakan yang diambil pemerintah justru mempersulit produksi air bersih.

Misalnya, pemerintah membuat proyek kereta cepat, pembukaan kawasan hutan lindung untuk kota-kota komersial. Pembangunan rel kereta MRT dan berbagai kebijakan lainnya. 

Bahkan, mengubah kawasan ekosistem air di Kalimantan Timur menjadi tempat Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Berbagai proyek pemerintah ini ditudingnya, turut menghambat produksi air bersih di Indonesia.

Belum lagi, deforestasi atau aktivitas hutan pun kian tinggi. Dulu, rata-rata sejuta ha per tahun. Kini, deforestasi kian cepat. Apalagi, difasilitasi oleh kebijakan pemerintah seperti  pembukaan hutan lindung. Termasuk, pembukaan tambang panas bumi dan tempat paristiwasa.   

Selain itu KRuHA menganggap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) yang dibuat oleh Bappenas pun keliru. Di dalam RPJM itu pemerintah menargetkan pemenuhan layanan 100%, 0% kawasan kumuh dan 100% akses sanitasi. Padahal, hingga saat ini, pemerintah baru membangun seluruh layanan air bersih dan sanitasi itu sebesar 20%.

KRuHA memprediksikan, pada 2035 sebanyak 75% penduduk akan tinggal di wilayah perkotaan atau melakukan urbanisasi besar-besaran. Situasi ini membuat permintaan air semakin tinggi. Sementara, neraca air di sebagian negara seperti NTT itu terus menunjukkan defisit.

Harusnya, untuk mengantisipasi kurangnya air bersih di masa mendatang, pemerintah mengevaluasi sejumlah kebijakannya. Kemudian, mulai memperbaiki debit air bersih dan menyalurkannya kepada masyarakat luas.

“Jadi, krisis air ini akan makin parah. Tapi kebijakan pemerintah abai dengan itu. Padahal Indonesia punya air berlimpah nomor empat terbesar di dunia. Tapi pengelolaanya buruk,” tutup Reza. 

Anggota Komisi IV DPR Bambang Purwanto juga meminta pemerintah gencar mitigasi dampak serius perubahan iklim terhadap ketersediaan air bersih.

"Pemerintah harus mengambil sikap jangan sampai terjadi karena itu sudah hasil kajian BMKG terkait dengan temperatur yang akan naik terus dan dampaknya terhadap ketersedian air tanah," kata Bambang kepada Validnews, Selasa (22/3).

Dewan beranggapan, seluruh pihak abai soal masalah air bersih ini. Lahan kosong di kota-kota besar pun kian minim. Hal ini pun membuat sumber resapan air pun berkurang karena maraknya pembangunan. 

Atas dasar itu, Dewan mendesak pemerintah harus membuat sebuah kebijakan komphensif. Salah satunya, membangun sumur resapan seperti embung dan cekdam khususnya di wilayah Jawa, Bali dan NTT. Ketiga daerah tersebut menjadi tiga titik fokus BMKG. Sumber-sumber resapan ini setidaknya akan menyelamatkan krisis air bersih yang terjadi.

Apalagi wilayah Jawa merupakan sumber utama pertanian di Indonesia. Bila krisis air benar terjadi maka akan berpengaruh besar terhadap proses pertanian dan mengakibatkan kerugian besar. Baik dari sektor pertanian dan sektor lainnya.

"Pemerintah harus buat satu kebijakan dan serius. DPR juga akan mendorong pemerintah dan besok kita ada RDP dengan Kementan dan akan kami ingatkan karena kalau Jawa nanti krisis lumbung padinya selesai," kata Bambang. 


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar