20 Juni 2025
20:48 WIB
Keracunan MBG Terus Berulang, Pemerintah Dinilai Lakukan Pembiaran
Menurut catatan FIAN Indonesia, total sebanyak 1473 siswa mengalami keracunan karena Makan Bergizi Gratis (MBG)
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Program Makan Bergizi Gratis atau MBG. AntaraFoto/Yulius Satria Wijaya
JAKARTA - Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Marthin Hadiwinata, menyesalkan kasus keracunan makanan makan bergizi gratis (MBG) terus berulang. Pemerintah, menurutnya, seperti melakukan pembiaran, lantaran tidak belajar dari berbagai kejadian keracunan yang terjadi.
“Saya kira ini lebih kepada pembiaran yang dibiarkan oleh negara,” jelasnya, dalam diskusi Makan Bergizi Gratis: Konvergensi Antara Kebutuhan, Kewajiban Pemenuhan Hak Atas Pangan, Dan Tata Kelola, di kawasan Menteng, Jakarta, Jumat (20/6).
Dalam catatan FIAN Indonesia, sebanyak 1473 murid keracunan MBG. Rinciannya, di Penukal Abab Lematang Ilir 174 murid, Bandung 342 murid, Nunukan 30 murid, dan Takalar 12 murid.
Kemudian, di Tasikmalaya 400 murid, Pandeglang 40 murid, Bogor 210 murid, Batang 60 murid, Cianjur 76 murid, Sukoharjo 40 murid, Sumba Timur 29 murid, dan Bombana 60 murid.
FIAN Indonesia, disampaikan Marthin, sejak awal sudah skeptis MBG akan berhasil. Pasalnya, proses perencanaan program ini tidak transparan, dan tidak melibatkan publik.
“Tidak ada desentralisasi dan termasuk tidak ada pelibatan publik,” katanya.
Publik yang dimaksudnya seperti organisasi tani, nelayan, masyarakat adat, dan organisasi masyarakat sipil. Program MBG murni hanya melibatkan birokrat, teknokrat, dan aparat keamanan.
“Organisasi tani yang saya dengar pernah ada yang disurvei. Salah satu organisasi tani disurvei untuk menjadi penyedia bahan pangan. Tetapi setelahnya yang menjadi supplier bahan pangannya bukan organisasi tani tersebut. Jadi ada manipulasi dalam proses penentuan sumber bahan pangannya,” katanya.
Masalah program MBG lainnya, kata Marthin, adalah tidak terintegrasi dengan kurikulum pendidikan. Ia juga menyebut program ini berpotensi masuk dalam jerat korporasi.
“Konsep yang uangnya dulu baru programnya dijalankan seperti itu dan itu menjadi jerat korporasi untuk mendapatkan keuntungan,” kata dia.