JAKARTA - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko, menanggapi kekhawatiran soal tumpang tindih peran BRIN dan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek).
Menurutnya, kedua lembaga tersebut sudah memiliki porsi riset yang berbeda. Kedua lembaga itu juga bersepakat untuk mengikuti best practices di luar negeri, yaitu semua negara wajib memiliki lembaga riset besar.
"Perbedaan utamanya adalah riset yang dilakukan lembaga riset besar itu menjadi payung untuk big science. Jadi, riset yang memang skalanya besar dan harus multiyears," ujar Handoko dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR RI di Jakarta, Kamis (17/7).
Dia mencontohkan, riset kelautan yang menggunakan kapal riset dilakukan oleh BRIN. Namun, riset tersebut dilakukan bersama perguruan tinggi karena seluruh riset BRIN wajib mengikutsertakan perguruan tinggi dan industri.
Contoh lainnya, riset terkait nuklir dan advanced bio technology diselenggarakan oleh BRIN karena fasilitasnya dikelola oleh BRIN. Meski begitu, peneliti dari perguruan tinggi bisa memanfaatkan fasilitas tersebut karena tidak ada kampus yang memiliki fasilitas itu.
Handoko juga berkata, BRIN mengadakan riset dengan Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), salah satunya melalui program degree by research. Program ini membuka kesempatan bagi mahasiswa S2 dan S3 untuk mendapatkan gelar akademik dengan melakukan riset di BRIN.
"Secara umum kami selalu bersinergi (dengan Kemendiktisaintek)," tambah Handoko.
Penjelasan tersebut merespons pernyataan Anggota Komisi X DPR RI, Sabam Sinaga. Dia menyarankan agar ada pemisahan antara riset yang dilakukan oleh BRIN dengan riset yang dilakukan Kemendiktisaintek. Tanpa pemisahan, dia khawatir kedua lembaga itu mengadakan riset yang sama, sehingga menimbulkan penganggaran ganda.
"Kami dari Fraksi Demokrat berharap ada semacam koordinasi antara Kemendiktisaintek dengan BRIN supaya tidak terjadi overlapping penelitian," tutup Sabam.