23 September 2025
18:58 WIB
Kenaikan Cukai Dinilai Perlu Untuk Kendalikan Konsumsi Rokok
Kenaikan cukai rokok dan HJE rokok diyakini Koalisi Pengendalian Tembakau mendapat dukungan kuat dari masyarakat
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Nofanolo Zagoto
Warga berjalan dengan latar depan poster informasi kawasan bebas asap rokok di permukiman padat penduduk di Kayu Manis, Matraman, Jakarta, Rabu (22/11/2023). Antara Foto/Rifqi Raihan Firdaus
JAKARTA - Koalisi Pengendalian Tembakau mendesak Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Sadewa, untuk menaikkan tarif cukai rokok dan Harga Jual Eceran (HJE) rokok secara signifikan. Kenaikan ini perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keterjangkauan, penerapan tahun jamak, dan penyederhanaan golongan tarif cukai secara bertahap.
Anggota koalisi sekaligus Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Aryana Satya menjelaskan, kenaikan cukai dan HJE itu penting untuk mengendalikan konsumsi rokok yang merupakan produk berbahaya. Kebijakan ini kian dibutuhkan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang sulit.
"Kami mendorong pemerintah melalui Kementerian Keuangan berpihak pada rakyat ... Dengan memahalkan harga rokok, masyarakat dapat terhindar dari penyakit dan lebih tangguh secara finansial," ujar Aryana, melalui keterangan resmi, Selasa (23/9).
Dia meyakini, kenaikan cukai rokok dan HJE rokok mendapat dukungan kuat dari masyarakat. Pasalnya, survei publik PKJS UI pada tahun 2018 menemukan mayoritas responden mendukung kenaikan harga rokok.
Aryana juga menyampaikan, kenaikan cukai rokok dan HJE rokok diperlukan bukan hanya karena amanat Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Namun, juga mengingat studi PKJS UI pada 2018 yang menunjukkan ketersediaan beragam rokok murah mendorong kalangan pra-sejahtera, kelas menengah rentan, dan usia muda, untuk beralih konsumsi ketika harga rokok naik secara signifikan.
Sementara itu, anggota koalisi lainnya sekaligus CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Saminarsih, menyayangkan langkah pemerintah yang tidak menaikkan cukai rokok pada 2025. Menurutnya, tidak naiknya tarif cukai bukan hanya mengurangi potensi penerimaan negara, tapi juga berdampak serius bagi produktivitas dan kesehatan masyarakat.
"Pada 2019 ketika tarif cukai tidak naik, CISDI menghitung biaya ekonomi akibat merokok mencapai Rp410 triliun atau 2,59% PDB Indonesia akibat meningkatnya biaya kesehatan dan hilangnya produktivitas masyarakat. Bahkan penerimaan cukai rokok saat itu tidak mampu menutupi biaya kesehatan tersebut,” terang Diah.
Selain itu, dia juga menyoroti isu peredaran rokok ilegal yang sering dijadikan alasan untuk menunda kenaikan cukai rokok. Menurutnya, hal itu tidak memiliki bukti ilmiah.
Sebab, studi CISDI pada 2024 menunjukkan kenaikan tarif cukai sebesar 45% berpotensi menurunkan konsumsi rokok kretek hingga 27,7% dan rokok putih sebesar 19,5%. Lalu, penerimaan negara meningkat hingga Rp7,92 triliun dan lebih dari 148 ribu lapangan kerja tercipta.
“Kenaikan cukai bukan penyebab utama maraknya rokok ilegal. Survei CISDI di enam kota menunjukkan faktor rantai pasok lokal dan lemahnya penegakan hukum yang lebih berperan mendorong peredaran rokok ilegal," tutup Diah.