28 Agustus 2023
08:07 WIB
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Pemerintah memberikan fasilitas keimigrasian bagi para eksil korban pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu di luar negeri untuk pemulihan hak-hak korban melalui penyelesaian nonyudisial.
Menteri Hukum dan Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly fasilitas khusus itu tertuang dalam Keputusan Menkumham Nomor M.HH-05.GR.01.01 Tahun 2023 tentang Layanan Keimigrasian bagi Korban Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat. Produk hukum ini diterbitkan pada 11 Agustus 2023 melanjutkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat.
“Bagi saudara-saudara kita eks mahasiswa ikatan dinas (mahid), memberikan fasilitas dan kemudahan keimigrasian kepada teman-teman bapak ibu korban pelanggaran HAM berat yang berada di luar negeri,” kata Yasonna dalam konferensi pers daring pertemuan dengan para eksil di Amsterdam, Belanda, dipantau secara virtual di Jakarta, Minggu (27/8).
Yasonna menjelaskan, Kemenkumham memberikan fasilitas keimigrasian berupa "Multiple Entry Visa" atau Visa Kunjungan Beberapa Kali Perjalanan (VKBP) selama lima tahun dengan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang digratiskan.
“Tanpa 'Golden Visa', tanpa 'Second Home Visa', kami menyediakan 'Multiple Visa Five Years' kepada bapak/ibu dengan PNBP nol, berarti gratis,” ujarnya.
Dia menyebut VKBP bisa ditingkatkan menjadi izin tinggal sementara (Itas). “Kalau nanti sudah berwaktu-waktu di sana, ingin memohon Itas kita bisa berikan izin tinggal sementara dengan PNBP nol, gratis,” jelas Menkumham.
Eks Mahid adalah para mahasiswa era 1960-an yang dikirim ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan oleh Presiden Sukarno. Namun, saat peristiwa G30S/PKI dan pergantian pemerintahan, paspor mereka dicabut sehingga menjadi ‘stateless’.
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengakomodir dwi kewarganegaraan saat ini masih menjadi perdebatan panjang di parlemen karena pembahasan harus dilakukan bersama-sama antara pemerintah dengan DPR.
Yasonna menuturkan bahwa perlakuan khusus fasilitas keimigrasian kepada eksil korban pelanggaran HAM berat masa lalu di luar negeri menjadi salah satu upaya pemulihan hak korban dengan pendekatan menyembuhkan luka.
“Jadi itu 'gestur' dari pemerintah ‘we are serious’ Pak, kami maksudkan adalah mencoba kita kembali memperbaiki luka-luka lama akibat kebijakan-kebijakan yang pernah dilakukan Pemerintah Indonesia (terdahulu),” kata Menkumham.
Yasonna lantas secara simbolik menyerahkan visa izin masuk kembali kepada salah seorang eks Mahid bernama Sri Budiarti. Di mana pada kesempatan tersebut hadir 59 eksil dari Belanda, enam dari Jerman, serta sejumlah eksil dari negara Eropa lainnya yang hadir secara virtual.
Untuk mendapatkan fasilitas keimigrasian itu, eks Mahid harus mengajukan permohonan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di tempatnya menetap. Selanjutnya, KBRI akan memroses dengan meneruskan permohonan ke pemerintah pusat.
Permohonan visa bagi eks Mahid itu diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM atau pejabat Imigrasi yang ditunjuk, setelah mendapatkan rekomendasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
Dalam pertemuan tersebut, Yasonna beserta jajaran hadir didampingi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD beserta jajaran, Duta Besar RI untuk Kerajaan Belanda Mayerfas, perwakilan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM) lainnya.