23 September 2021
17:20 WIB
JAKARTA – Tingkat kematian bayi yang masih tinggi di Indonesia, jadi kekhawatiran tersendiri. Kecukupan gizi dan nutrisi yang mempengaruhi kesehatan ibu dan janin pun perlu jadi perhatian bersama.
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) Erna Mulati mengatakan, sebesar 84% kematian pada bayi yang baru lahir di Indonesia, diakibatkan karena bayi lahir secara prematur.
“Sebanyak 84 % terjadi karena lahir prematur. Ini menjadi sangat tinggi, karena terjadinya preeklampsia (kelainan pada kehamilan) dan eklampsia (kejang pada kehamilan) yang angkanya terus meningkat dari tahun ke tahun,” kata Erna dalam acara Peluncuran Program USAID Momentum Kemitraan Indonesia dan Amerika Serikat yang diikuti pada Youtube Kemenkes RI di Jakarta, Kamis (23/9).
Erna menjelaskan 50% kematian pada bayi, terjadi pada 28 hari pertama semenjak bayi itu lahir. Sedangkan bayi yang meninggal pada usia tujuh hingga 27 hari mencapai 11,4% dan 38,2% bayi meninggal kurang dari umur tujuh hari.
Tingginya angka kematian pada bayi itu, kata dia, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2019, diakibatkan oleh 17% ibu hamil mengalami kekurangan energi kronis. Penyebab selanjutnya adalah hampir 50% ibu hamil mengalami anemia.
“Hampir 50% ibu hamil itu mengalami anemia berdasarkan Riskesdas 2019 dan sekitar 17% ibu hamil dengan kurang energi kronis. Inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya prematuritas,” ujarnya.
Ia mengatakan, untuk dapat mencegah kematian pada bayi semakin meningkat, perlu dilakukan perbaikan dimulai dari tingkat puskesmas.
"Itu sebabnya dilakukan penguatan untuk pelayanan bayi baru lahir dan juga penguatan untuk perawatan baik di level keluarga, di level tingkat puskesmas dan rumah sakit untuk bayi-bayi prematur dengan berat badan lahir rendah," kata Erna.
Ilustrasi pemeriksaan kehamilan. dok.Antara FotoKematian Ibu
Selain kematian bayi, kata Erna, angka kematian ibu melahirkan juga sudah selayaknya jadi perhatian. Data menyebutkan, 50% angka kematian ibu di Indonesia disumbang oleh enam provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Banten, Sumatera Utara, dan Aceh.
Ia menjelaskan, penyebab kematian ibu antara lain gangguan hipertensi (31,9 %). Faktor lain yang menyebabkan kematian ibu, imbuhnya, meliputi perdarahan obstetri (26,9%), komplikasi non-obstetri (18,5%), komplikasi obstetri lain (11,8%), serta komplikasi pasca-keguguran dan infeksi pada kehamilan (9,2 %).
Pada masa pandemi covid-19, ia mengatakan, infeksi virus corona tipe SARS-CoV-2 juga berkontribusi pada peningkatan angka kematian ibu.
“Tentunya perlu dilakukan audit kematian ibu apakah murni disebabkan oleh covid-19 atau ada faktor lain yang jadi penyebab," cetusnya.
Menurut Kementerian kesehatan, selama pandemi covid-19 kasus kematian pada ibu mengalami penambahan cukup tinggi di 24 provinsi termasuk Jawa Timur, Sumatra Utara, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan.
“Tentunya hal ini berkorelasi sangat erat dengan tingginya kasus-kasus covid-19 di daerah ini,” kata Erna.
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha mengakui, angka kematian ibu di Indonesia masih jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Ia mengutip data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), Sensus Penduduk, dan Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 yang menunjukkan, angka kematian ibu masih berada di angka 305 per 100.000 kelahiran hidup.
Sementara itu, pemerintah dalam PRJMN tahun 2024 menargetkan angka kematian ibu bisa diturunkan menjadi 183 per 100.000 kelahiran hidup. Target penurunan angka kematian ibu dalam SDGs 2030 lebih rendah lagi, 70 per 100.000 kelahiran hidup.
“Untuk itu perlu terus menerus melakukan upaya-upaya untuk menuju ke angka yang menjadi target kita dan dukungan, support, dari semua pihak ini sangat penting saat ini, kemudian juga ke depan,” demikian Kunta Wibawa Dasa Nugraha.
Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan, para calon ibu perlu melakukan skrining kesehatan terlebih dahulu untuk mengetahui status gizi dan nutrisi yang dimiliki sebelum menikah. Dengan begitu, dapat diketahui lebih cepat kondisi seorang ibu bila mengalami kekurangan gizi atau memiliki anemia.
Menurutnya, seorang perempuan harus memenuhi syarat untuk hamil. BKKBN sendiri, lanjutnya, tidak akan melarang orang untuk melakukan menikah karena bukan kewenangannya.
“Tetapi BKKBN ingin melakukan skrining sebelum nikah, sudah diperiksa dulu status nutrisinya,” kata Hasto beberapa waktu lalu.