07 November 2023
20:41 WIB
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Nofanolo Zagoto
JAKARTA - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menangani 127 kasus kekerasan di satuan pendidikan tiga tahun terakhir. Ratusan kasus yang ditangani meliputi kekerasan di jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK.
Rinciannya, sebanyak 52 kasus ditangani pada 2023, 68 kasus ditangani pada 2022, dan tujuh kasus ditangani pada 2021. Sebanyak 52 kasus merupakan perundungan, 50 kasus kekerasan seksual, dan 25 kasus sisanya berupa intoleransi.
"Yang terbanyak adalah perundungan dengan lokus terbanyak di sekolah menengah," ujar Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang, dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR RI di Jakarta, Selasa (7/11).
Ia menjelaskan, saat ini strategi penanganan kekerasan yang dilakukan Kemendikbudristek diawali dengan memastikan pembentukan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di sekolah. Ditambah, memastikan pembentukan satuan tugas di tingkat Dinas Pendidikan (Disdik).
Hal ini sesuai dengan amanat Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP).
Setelah itu, pihaknya menindaklanjuti setiap laporan yang masuk melalui kanal aduan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek. Mereka juga menindaklanjuti kasus yang diberitakan oleh media-media nasional.
Tindak lanjut itu berupa pemantauan, fact finding ke daerah, dan Focus Group Discussion (FGD) bersama Disdik, Ombudsman, dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Selain itu, ada kerjasama dengan kementerian/lembaga lain dan organisasi masyarakat sipil untuk pendampingan penanganan kekerasan.
Sedangkan dari sisi preventif, sebutnya, digunakan pendekatan literasi berupa penerbitan sejumlah buku terkait pencegahan kekerasan. Pada 2022, sebanyak 19 judul buku terkait ini diterbitkan. Lalu, pada 2023 sebanyak 11 judul buku diterbitkan.
Ia juga mengungkapkan, selama ini penanganan laporan kekerasan tidak selesai sampai diberikannya sanksi kepada pelaku. Sebab, selepas pemberian sanksi, korban masih berpotensi mendapatkan perundungan dari kelompok pelaku.
"Ini terus kami dampingi untuk memastikan bahwa korban dapat belajar lagi dengan suasana aman dan nyaman," pungkas Chatarina.