27 Juli 2024
15:00 WIB
Kemenag Sebut Penghulu Dan Penyuluh Agama Harus Mampu Cegah Konflik Di Masyarakat
Sebagai aktor resolusi konflik, penyuluh agama dan penghulu diharap Kemenag tidak hanya mendakwahkan ajaran agama, tetapi juga mampu melihat dan memperhatikan konteks sosial masyarakat
Penulis: Oktarina Paramitha Sandy
Editor: Nofanolo Zagoto
Foto ilustrasi penghulu. Shutterstock
JAKARTA - Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama (Kemenag) Adib meminta penyuluh agama dan penghulu dapat memahami konteks sosial masyarakat. Karena, sebagai garda terdepan Kemenag, keduanya harus mampu mencegah terjadinya konflik di masyarakat.
“Aktor resolusi konflik ini tidak hanya mendakwahkan ajaran agama, tetapi juga mampu melihat dan memperhatikan konteks sosial masyarakat,” ujar Adib dalam keterangan yang diterima, Sabtu (27/7).
Adib menjelaskan, konteks sosial yang harus dipahami oleh penyuluh agama dan penghulu mencakup kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat. Konteks sosial-budaya dapat dilakukan dengan memberi mediasi terkait keagamaan, adat, kebudayaan, dan kearifan lokal masyarakat yang sedang berkonflik. Sementara, dari sisi ekonomi konflik dapat terjadi akibat pembangunan industrialisasi atau pariwisata.
Sebagai aktor resolusi konflik, penyuluh agama dan penghulu harus mampu duduk bersama dengan pihak yang berkonflik dan memediasi agar tidak terjadi kesenjangan sosial. Aktor resolusi konflik juga mesti punya wawasan tentang ketenagakerjaan jika hidup di suatu masyarakat yang sektor industrinya berkembang.
Dengan demikian, konflik yang terjadi tidak berangsur lama di masyarakat, sehingga tidak berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat. Sebab, jika konflik berangsur cukup lama di masyarakat, ia yakin konflik akan semakin membesar dan bisa membuat perpecahan di masyarakat.
“Jadi ketika kita berdakwah, menyampaikan ajaran agama, kita harus memahami konteks dan sekaligus bagaimana berkolaborasi dengan stakeholder yang lain,” ujar Adib.
Adib menambahkan, hal yang perlu diingat penyuluh agama, konflik berdimensi keagamaan memiliki kerumitan tersendiri, karena tidak hanya dipengaruhi dari aspek keagamaan. Namun juga dipengaruhi oleh sejumlah faktor lainnya seperti aspek politik, ekonomi, sosial budaya, sejarah, pengaruh media, hingga kebijakan yang berlaku di Indonesia.
Untuk itu, dalam menyelesaikan konflik berdimensi keagamaan memerlukan pendekatan yang sensitif dan menyeluruh, mengingat kompleksitas dan kedalaman masalah yang terlibat. Aktor resolusi harus bisa membangun dialog dan komunikasi yang terbuka di antara pihak berkonflik, serta membangun kepercayaan di berbagai komponen masyarakat.
“Yang paling penting para aktor resolusi ini bisa mengidentifikasi akar penyebab konflik, yang mungkin melibatkan aspek agama, politik, sosial, atau ekonomi, serta menyiapkan solusi yang terintegrasi,” ujar Adib.