c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

10 Maret 2023

15:09 WIB

Kematian Akibat Leptospirosis Lebih Tinggi Dari Covid-19

Kematian akibat leptospirosis berdasarkan CFR, lebih tinggi dibanding covid-19 sebear 2,4-3,4%.

Editor: Leo Wisnu Susapto

Kematian Akibat Leptospirosis Lebih Tinggi Dari Covid-19
Kematian Akibat Leptospirosis Lebih Tinggi Dari Covid-19
Ilustrasi penyakit leptospirosis. rskariadi.co.id.

JAKARTA - Direktur Pasca-Sarjana Universitas YARSI, Tjandra Yoga Aditama mengemukakan, angka persentase kematian akibat leptospirosis di Indonesia secara umum lebih tinggi dari covid-19.

"Di Indonesia, kasus leptospirosis cenderung meningkat setiap tahunnya. Pada 2020 sebanyak 1.170 kasus dengan 106 kematian atau setara angka persentase kematian (Case Fatality Rate/CFR) 9,06%, jauh lebih tinggi dari angka kematian akibat covid-19," kata Tjandra Yoga seperti dikutip dari Antara di Jakarta, Jumat (10/3).

Tahun 2021, kasus kematian sebanyak 84 jiwa dari total 736 kasus leptospirosis (CFR 11,41%), dan pada 2022 berdasarkan laporan dari 11 provinsi terdapat 1.408 kasus leptospirosis dengan angka kematian 139 jiwa (CFR 9,87%).

"Persentase CFR covid-19 pada umumnya berkisar 2,4-3,4% berdasarkan data Public Health Emergency Operating Centre (PHEOC) Kemenkes," lanjut dia.

Tjandra yang juga mantan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Kepala Balitbangkes Kemenkes mengatakan, pada kurun Januari hingga Maret 2023, beberapa daerah sudah melaporkan adanya peningkatan kasus leptospirosis.

Kasus itu dilaporkan dari Kabupaten Pacitan di Provinsi Jawa Timur sebanyak 114 kasus dengan enam orang meninggal. Jawa Tengah sebanyak 111 kasus dengan 18 orang meninggal, Kabupaten Bantul Provinsi DI Yogyakarta 41 kasus dengan tujuh orang meninggal. Lalu, Jawa Barat sembilan kasus dengan dua meninggal.  Kabupaten Pangkep di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak empat kasus dengan satu orang meninggal, dan Banten dua kasus dan belum ada data meninggal.

Menurut Tjandra, penyakit leptospirosis disebabkan oleh bakteri yang disebut leptospira. Kali pertama dilaporkan pada 1886 oleh Adolf Weil, sehingga disebut juga sebagai penyakit atau sindrom Weil.

"Penyakit ini termasuk salah satu penyakit zoonosis, karena ditularkan melalui hewan atau binatang. Di negara kita hewan penular terutama adalah tikus melalui kotoran dan air kencingnya," lanjut dia.

Tjandra mengimbau masyarakat untuk mewaspadai sejumlah lokasi penularan, terutama kawasan banjir. Sebab, pada musim hujan banyak tikus yang keluar dari liang tanah untuk menyelamatkan diri.

"Tikus tersebut akan berkeliaran di sekitar manusia, di mana kotoran dan air kencingnya akan bercampur dengan air banjir tersebut," lanjut dia.

Seseorang yang mempunyai luka, kemudian terendam air banjir yang sudah tercampur dengan kotoran maupun kencing tikus dan mengandung bakteri leptospira, maka berpotensi terinfeksi dan bisa jatuh sakit.

Menurut Tjandra terdapat empat langkah antisipasi mencegah penularan leptospirosis. Yakni, dengan menekan dan menghindar dari aktivitas tikus yang berkeliaran di sekitar tempat tinggal. Selalu menjaga kebersihan, hindari bermain air saat terjadi banjir, terutama jika mempunyai luka.

Cara berikutnya adalah menggunakan pelindung, misalnya sepatu, bila terpaksa harus ke daerah banjir. Terakhir, segera berobat ke sarana kesehatan bila sakit dengan gejala panas tiba-tiba, sakit kepala dan menggigil.

"Jika terlanjur tertular, maka pengobatan dilakukan dengan memberikan antibiotika yang sesuai baik secara oral maupun suntikan, di mana antibiotika saat ini masih efektif untuk pengobatan leptospirosis," lanjut dia.

Gejala dan tanda klinis penderita leptospirosis secara umum adalah demam mendadak dengan suhu tubuh lebih dari 38,5 derajat Celcius, sakit kepala, nyeri otot betis sehingga kesulitan berjalan, lemah, kemerahan pada selaput putih mata atau conjunctival suffusion, serta kekuningan (ikterik) pada mata dan kulit.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar